untuk:
keluargaku,
sahabat,
teman dan kenalan
serta kampung halaman.

Jumpa Lawan I

Abubakar orangnya gemuk. Banyak omong, suka berkelakar. Ramah dan karenanya banyak kawan. Orang kampung kami menggelarinya, Akai. Penduduk kampung kami lazim memberi ragam gelar kepada orang; nama Ismail misalnya pasti dipanggil: Meng. Yang namanya Harpan atau Arpan, akan selalu digelari Lepuk, ikan buntal yang sisiknya tajam, beracun. Begitulah pula kaum wanita, yang nama ujungnya ah akan berubah meniadi ot, misalnya saja Halimah jadi Halimot; Nerisah menjadi Nerisot, dan Isah jadi Isot.

Nah, kembali pada si Akai alias Abubakar tadi. Dia ini sering singgah ke rumah kami di Gondangdia, bersama istrinya. Teman hidupnya itu cantik rupawan, keturunan Cina; kata orang banyak, si Elly itu asal Singapura. Kabarnya dulu Akai pernah merantau ke Singapura, lalu didapatnya Elly, Cina cantik itu. Kalau sudah berkisah tentang masa-masa tersebut, bukan keoalang bersemangatnya Akai.

Dengan lancar Akai bertutur tentang kejadian antara tahun 1946 hingga awal 1948, masa ia menjadi anggota gerilya dan turut mencari senjata ke Singapura dan Hongkong. Tak lupa diselipkannya juga, bahwa yang memimpin penyelundupan ke Singapura dan Hongkong tersebut adalah Dr. A.K. Gani. Siapa pula yang tak kenal Adnan Kapau Gani, orang Palembang-Bengkulu itu, pernah menteri lagi, bahkan pernah main dalam filem. Jadi Akai adalah anggota penyelundupan tadi, kabarnya ia membawa gula, rempah-rempah dan lainnya, untuk kemudian ditukar dengan senjata. Bila Akai tengah bercerita begini, lantas ada di antara kami yang bertanya ini-itu; bukan main senangnya hati Akai. Pasti pertanyaan itu berjawab.

"Katanya ada penyelundup lain lagi yang bahkan punya kapal sendiri, juga untuk mencari senjata buat republik...", tukas seorang dari kami.
"O ya, itu kan untuk bagian timur. Alaahh... si Anu, siapa tu, aaa... si John Lie, dari Sulawesi. Mayor pangkatnya. Eeh, tahu juga kau rupanya", ujar Akai sambil memuji sedikit pada yang bertanya itu.
"John Lie juga hebat rupanya, ia temanku. Terkadang kami sama-sama juga, tapi group kami tetap bersama pak Gani. Tahu kan Pak Gani, yang digelari "the greatest smuggler in Southeast Asia", penyelundup terbesar di Asia Tenggara", tambah Akai, sekaligus memperagakan bahasa Inggrisnya.

Kami remaja tanggung usia limabelasan tersebut, senang juga mendengar cerita Akai, walau pun sedikit-sedikit kami paham juga bahwa Akai gemar membual, acap membohong. Bahkan ada yang menamakan nya "si mulut besar", suka omong gedé. Apalagi kalau bercerita tentang revolusi, tentang pertempuran, wah.... bukan main semangat, menggebu. Seolah-olah dialah yang paling berani.

Anehnya, tak sekalipun kami tampak ia berseragam militer, atau bekerja di suatu kantor. Tak jelas apa pekerjaan sebenarnya. Yang pasti, Akai sering menginap di hotel, khususnya di Hotel Centraal di Jalan Citadel. Pernah juga di Hotel Des Indes, lalu Hotel Transaera, pokoknya masuk hotel, keluar hotel. Ada lagi kabar mengatakan,ia acap diusir kalau sudah terlalu lama tidak membayar ongkos menginap di hotelnya. Malah pernah diadukan ke pengadilan. Namun karena orangnya pandai bicara dan menggertak, cekatan jual obat, kata orang; misalnya menyebut menteri anu, komisaris polan adalah paman atau sahabatnya, maka Akai selalu los dari penangkapan. Janganlah coba mengusik, mencari tahu, apalagi menyelidiki kebenaran cerita dari Akai, sebab kalau sudah tahu latar belakang ceritanya tersebut, tak ada lagi yang menarik dari omongannya itu. Justru karena ketidaktahuan kamilah, maka kami senang mendengar cerita-cerita Akai.

Suatu kali Akai berkisah, ia naik kapai milik maskapai Belanda KPM, Jansens, namanya. Entah bagaimana awalnya, mendadak lampu kamar mandi Akai padam. Ia lantas mengamuk, lampu-lamu dan peralatan lain di kapal di pecahkannya. Kapten kapal tentu saja marah, dan menahan Akai dalam perjalanan dari Jakarta ke Tanjungpandan. Tapi di ruangan kapal khusus untuk anak-buah kapal tersebut, Akai malah menggugat sang Kapten. Akai mendakwa, katanya:
"Tuan tahu, dalam tahun ini juga semua kapal KPM akan saya beli, akan kami ambil-alih. Ini saya rundingkan Pada Jenderal Karmono di Istana saat kami menghadap Bung Karno. Kalau Tuan mengakui kesalahan Tuan, dan berjanji memperbaiki pekerjaan Tuan demi kelancaran kerja kami di republik ini, niscaya Tuan akan saya pakai. Tuan boleh kerja seterusnya di kapal saya ini, nantinya. Ingat itu. Catat nama saya, dan Tuan boleh pikir baik-baik. Pulang ke Holland atau kerja dengan kami."
Mendengar ucapan Akai, sang kapten gementar dan segera melepaskan Akai sembari mohon maaf.

Akai sungguh punya bakat menggertak, ada tampang pula, gemuk gagah, dan fasih berdebat. Pandai menggunakan saat semisal pengambil-alihan kapal KPM menjadi milik maskapai republik, PELNI. Sehingga tanpa ragu orang lekas percaya, konon dikaitkan pula dengan nama jenderal, dan kunjungannya ke Istana segala.

Apabila Akai ke rumah dan kebetulan naik becak saja, ia sering memojokkan ayahku dengan berkata: "Bang, tolong bayarkan becakku, tak ada uang kecil." Dan ayah segera menyuruhku membayarkan becak itu.

Akai segera mengobrol dengan ayah, sambil mmbunuh waktu menunggu makan siang. Terkadang istrinya Elly ikut serta mengobrol ke rumah kami. Obrolannya kebanyakan itu ke itu juga, perihal revolusi, pertempuran di Jawa-Tengah Jawa-Barat,lalu penyelundupan bersama A.K. Gani tadi. Ayah mendengarkan saja, sesekali bertanya ini-itu.

Padahal kami tak tahu apa kerja Akai, tinggalnya di hotel namun sering tak punya uang. Ada yang menyebutkan, pendapatannya kini adalah tabungan hasil menyelundup ke Singapura. Bahkan terbetik berita, istrinya ditawar-tawarkannya, karena dulu pun memang kerja begituan, dan sesungguhnya Elly asli Cina Hongkong. Macam-macam saja.

Tapi satu hal yang jelas, Elly cantik dan di samping itu baik budi, jauh berbeda dengan watak suaminya. Sang istri pun acap tak percaya akan obrolan suaminya, Akai. Ayah juga tidak percaya pada cerita Akai, namun tak pernah mengatakan bahwa Akai bohong atau omong-besar. Ayah tak pernah pula mencela apalagi memaki Akai. Beliau tetap menerima baik kedatangan Akai dan istrinya. Ibuku pun ramah pada mereka. Hanya aku dan para kawanku meragukan cerita Akai.

Cobalah pikir. Bila Akai berdatang ke rumah kami, selalu saja waktunya serba tanggung, misalnya pukul 11.00 dekat jam makan siang, atau pukul 18.00 menjelang makan malam. Akibatnya kami makan bersama kedua suami-istri itu. Walau ayah belum pulang dari sidang - sidang parlemen DPRS, Akai akan menunggunya dengan sabar Dan aku akan mendengarkan kembali obrolan Akai, yang kuladeni juga sembari asyik melirik Elly yang rasanya makin hari semakin cantik dalam pandanganku. Maklum usiaku baru berangkat tujuh-belas, mudah bergetar bila berdekatan dengan wanita cantik harum.

Demikianlah, suatu kali Akai berkisah yang agak seram. Jaman revolusi. Pertempuran di sekitar Krawang. Seorang prajurit gerilya, kena tembakan Belanda. Namanya Sadri, kawan Akai sendiri. Lehernya luka parah, menganga karena peluru telah menembus bagian depan. Darah mengalir terus, dan Sadri jadi persoalan. Akan dibawa, digotong, atau ditinggal saja? Pasukan republik yang menurut Akai dipimpinnya, harus segera lari. Aku harus cepat dan tegas mengambil keputusan, tambah Akai. Bagaimana cara "menyelamatkan" Sadri? Dengan mata penuh belas-kasihan dan mohon maaf, Akai sebagai komandan, mendekati Sadri yang bersimbah darah.

Akai melanjutkan, saat itulah Sadri dengan suara terputus-putus dan perlahan berkata:
"Pak Abubakar, lakukanlah apa yang baik. Segeralah akhiri penderitaan saya ini..." Dengan penuh sesal Akai meletakkan ujung revolver-nya di tentang jantung Sadri. Bunyi "dor" menyelesaikan penderitaan Sadri. Akai beserta pasukannya segera lari dari kejaran pasukan Belanda.

Mendengarkan kisah tersebut, ibuku terlihat ngeri, tetapi Elly, istri Akai, nampak biasa mja. Ayah juga terlihat santai, sedikit senyum menganggukkan kepalanya. Aku yang sejak sekolah rakyat gemar membaca novel, segera ingat kisah begini Pernah kubaca. Seakan memecah keheningan, Elly berkata pada ayahku:
"Alaah ... bang, tak usahlah percaya sama Bang Akai ini."
"Ah, kau mana tahu. Ketika aku berjuang,bertempur dulu, kau kan masih kecil..," bela Akai pada kata-kata istrinya.
"Dia bohong, bang," ujar Elly pada ayah.
"Bang Akai suka berdusta, jangan percaya dia."
Mendadak ayah menjawab :
"Bukan hanya Akai yang suka bohong, sayapun mungkin lebih suka bohong dibanding Akai."
"Mengapa begitu,bang? Rasaku tidak mungkin", saut Elly.
"Ya...", kata ayah. "Selama ini saya sering membohongi Akai, sehingga Akai yakin betul bahwa saya percaya semua cerita Akai, padahal itu tidak benar. Kan saya lebih suka bohong daripada Akai," tambah ayah mengakhiri keheranan si cantik Elly.

Paris, Juni 1991

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.