Bab 92 :
Catatan Seorang Pensiunan,- Bagian Tiga

Belum kutuliskan untuk apa sebenarnya aku minta agar pensiun dini itu. Aku mau mengerjakan suatu pekerjaan yang kusukai, kucintai, dan yang menjadi cita-citaku sejak kecil. Aku mau menulis, menulis dan menulis, bercerita, bercerita dan bercerita. Untuk itu semua, aku harus banyak membaca, banyak belajar, banyak berpraktek dalam masarakat kongkrit. "Menenggelamkan diri" dalam arena masarakat nyata secara lebih intensif. Mensenyawakan kehidupan dengan denyut nadi masarakat kongkrit. Kata Glinka kompuser musik terkenal orang Rusia itu, bahwa musik itu sebenarnya ada dalam masarakat itu sendiri, kita hanya menggalinya, menyimpulkan dan menghimpunnya. Tanpa kita menerjunkan diri dalam masarakat itu, kita tidak akan mendapatkan apa-apa.

Juga Maxim Gorki penulis Rusia yang lalu Sovyet itu, bahwa sekolah besar dan arena besar praktek sosial itu ada dalam masarakat kongkrit itu sendiri. Lu Hsun ( Lu Sin ) seorang pujangga Tiongkok tadinya bersekolah dokter di Jepang, tetapi setelah dipikir-pikirnya dengan keadaan negerinya yang sedang diagresi Jepang, lalu segera putar haluan. Menurutnya sebaiknyalah dirinya tidak usah jadi dokter obat-obatan, mengobati penyakit biasa. Tapi jadilah dokter jiwa-masarakat, mengobati sakitnya masarakat, dengan menyadarkan dan membangunkannya. Caranya tidak lain, menulis, mengarang, mengungkapkan kebenaran, berani menyatakan kebenaran. Bersuara lantang dan memaparkan keburukan akibat feodalisma dan penjajahan. Maka Lu Hsun lalu menjadi seorang pengarang yang terhebat pada zamannya.

Mereka itu bagaikan contoh kongkrit, bagaimana dan betapa peranan pokoknya sebuah masarakat untuk kita belajar di dalamnya, mengambil hikmah dan menimba pengalaman. Sampai kini bukan main terkenal dan populernya buku Das Kapital dari Karl Marx itu. Tetapi apa kata Marx? Yang saya tulis dan saya simpulkan itu, sebenarnya semua orang juga sudah pada tahu, sebab ada dalam masarakat itu sendiri. Saya bukan menciptakan sendiri, tetapi masarakatlah yang memberikan semua itu, sedangkan saya hanya menyimpulkan, mempolakan, mengkristalisasikan semua yang sama-sama kita lihat itu. Apa itu, yah, seperti teori nilai lebih, tentang arti penghisapan, tentang gerak, tentang graduil dari kuantitas ke kualitas, bahkan sampai watak materialisme dialektika historis. Bukankah semua itu sebenarnya semua orang juga tahu, ada di depan kita bersama? Sama-sama bisa kita lihat semua, kita saksikan bersama, kita jalani bersama? Bedanya memang Marx bisa dan trampil secara genius menyimpulkannya, mengangkatnya dan meningkatkannya menjadi suatu teori. Sedangkan kita tidak!

Semua ini sangat mendorongku agar aku harus banyak belajar, banyak membaca, banyak meneliti, di atas dasar itu tadi, banyak menulis. Jadi sudah ada dalam rangka pikiranku. Begitu aku memasuki usia pensiun, itu artinya akan betapa banyak pekerjaan yang harus kukerjakan, betapa banyak waktu kuperlukan buat membagi semua itu. Tetapi kontradiksi yang paling besar pada diriku yalah, kalau dulu aku bekerja mendapat uang, gaji, yang dapat membuat kehidupanku secara phisik terpenuhi sandang-pangan, maka kini samasekali lain persoalannya. Ditinjau dari mata-acara-pekerjaanku sesudah pensiun dengan cita-cita tadi itu, maka proyek yang mau kulaksanakan ini samasekali hanya membuang-buang uang, bukan mendapatkannya, tapi membelanjakannya kepada begitu banyak keperluan buat itu semua. Sedangkan aku bukanlah orang penting atau orang yang banyak 2, 6, dan 7, artinya re la si, hubungan-hubungan khusus!

Ada segi lain setelah aku pensiun ini, sesungguhnya ada kengerian tersendiri mengingat nantinya bagaimana aku harus hidup. Dengan pemasukan dari uang pensiun hanya sepertiganya dari gaji lama dulu itu, samasekali aku tidak mungkin bisa hidup, tidak mungkin. Harus bayar sewa apartemen, listrik, air, tilpun, disamping harus makan dan belanja lainnya. Dan aku tekor defisit lebih sekian ribu setiap bulan. Lalu bagaimana? Teman-teman resto menawari aku kerja dua kali seminggu, pendapatan inipun tentu dapat sedikit meringankanku. Tetapi pendapatan dua kali kerja dalam satu minggu itu, ternyata hanya dapat dua soal. Aku dapat membeli tiket bolak-balik ke Holland dan bayar pengobatan tusuk-jarum kepada dokter Isabelle Liauw, dokterku yang datang ke rumah juga dua kali dalam seminggu. Artinya pendapatan satu bulan dengan 8 kali sampai 9 kali kerja itu, hanya dapat membayar ongkos tiket dan pengobatan tusuk-jarum secara bulanan.

Tetapi itupun sangat memadai. Maka benarlah kebanyakan pendapat orang yang menghadapi usia pensiun, betapa menakutkannya menghadapi usia pensiun itu. Lalu bagaimanakah denganku setelah dua tahun dalam keadaan pensiun ini, yang mestinya baru tahun ini kualami? Sudah tentu aku tak pernah menyesal akan keputusanku, karena jauh sebelum itu sudah kuperhitungkan risikonya. Hanya mungkin ada juga kenekadanku ketika memutuskan dulu itu, dengan pikiran masakbodolah, yang nanti ya urusan nantilah!

Dan bagaimana dengan pelaksanaan proyek dalam pikiranku dulu itu? Betul, sejak mulainya aku pensiun dua tahun lebih itu, setiap hari kumulai belajar, membaca dan menulis, menulis dan menulis. Terlalu lama dan terlalu jauh aku ketinggalan dengan zaman, dengan waktu yang terus beredar. Semua ini harus dikejar, menyesuaikan diri dengan keadaan kemajuan zaman. Apa itu arti "menenggelamkan diri" dalam masarakat kongkrit? Menurutku tempat yang paling ideal adalah di tanahair sendiri, dengan banyak orang, banyak teman, banyak sahabat, dan dalam perjuangan buat menegakkan demokrasi sejati. Kukira dan menurut pendapatku, sekarang ini perjuangan yang paling pokok yalah menegakkan demokrasi, menegakkan HAM dan supremasi Hukum dan Keadilan, karena perangkat inilah justru yang paling parah keterpurukannya di Indonesia. Tetapi bagiku menuntut syarat-syarat lain karena aku sendiri ada di tanah pengasingan. Lalu bagaimana? Inipun suatu pemikiran yang rumit dan berliku-liku. Masih terpancangnya undang-undang dan peraturan yang sangat membelenggu kami para korban sejarah-gelap-bangsa dulu itu.

Baru satu saja masalahnya, sudah menemui berbagai rintangan. Bagaimana mau pulang kalau pikiran Orba dulu itu selalu menghadang dan menghalang. Sekarang ancaman kepada kami bertambah banyak. Bukan saja dari aparat resmi, tentara, polisi dan bahkan satpam dan satgas, tetapi juga yang justru bisa lebih kalap : yang berbaju putih, berjubah yang juga mungkin berjenggot yang bergaya Timur Tengah, ke Arab-araban. Bukan main banyaknya penghalang dan penghadang. Tetapi ya itulah perjuangan, kalau gampang mah bukannya perjuangan! Yang kami hadapi dan yang kuhadapi, bukannya barang tetapi orang, yang hidup, yang persoalannya lain lagi karena sama-sama benda hidup. Jadi ada lagi kesukaran ganda, bukannya keuangan, perekonomian, tetapi dari segi keamanan, sekurite, jaminan kehidupan. Di sini, di tanah pengasingan, kami berkutat merebut kehidupan dengan kerja-keras, tetapi tidak ada soal dengan masalah keamanan dan undang-undang, serta jaminan keamanan-diri secara kehidupan. Tetapi begitu kami pulang, kesukaran, selukbeluk kehidupan akan berganda mencakar dan mencengkam. Dan semua itu yang paling pokok berkisar dalam masalah keamanan jiwa, sekurite. Jadi tidak hanya dari segi keuangan dan kesukaran hidup lainnya secara sandang-pangan. Malah yang paling berbahaya adalah aparat-aparat dan yang berjubah putih itu, atau yang loreng-loreng seperti yang menduduki kantor berita di Surabaya kemaren itu tadi.

Paris 10 Mei 2000

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.