Bab 85 :
Bang Taib,- Bagian Dua - habis

Bang Taib sebagai Kepala Bagian Pemberantasan Malaria, dan sebelum itu sudah bekerja di DKR, selama lebih dari 20 tahun, diberi tanggungjawab untuk juga bisa mengobati berbagai penyakit di daerah operasinya. Kepala Dinas Kesehatan Rakyat, seorang dokter bernama Tjoa Peng-lie. Dokter Tjoa dipindahkan dari Jakarta, RSUP ( Rumah Sakit Umum Pusat ) buat membina dan membangun dengan perluasan tertentu beberapa pos kesehatan, yang jauh sesudah itu barulah bernama Puskemas yang sekarang ini. Kerjasama antara dr Tjoa dan Bang Taib sangat serasi dan banyak kecocokan. Ada lagi faktor kesamaan hobby, dokter Tjoa suka mancing juga seperti Bang Taib. Dan mereka adakalanya berjanji untuk mancing bersama. Tetapi dokter Tjoa tidak suka berburu, nembak.

Secara kebetulan aku sendiri mengenal dengan baik dokter Tjoa. Sebab pada tahun pertengahan 50-an, dokter Tjoa-lah yang kebetulan mengoperasi kakiku yang bengkak, lalu infeksi dan ketika kubawa ke RSUP, dialah yang menanganinya, dengan operasi kecil, lalu sembuh dengan baik. Dan ketika dia sudah pindah ke Tanjungpandan, dan aku selalu saja ikut ke mana-mana dengan Bang Taib, kami mula-mula saling mengangguk, lalu dokter Tjoa menanyakan di mana rasanya kita pernah bertemu. Dan kuceritakan bahwa dokter-lah yang mengoperasi kaki saya ketika di RSUP. Dia lalu tertawa dan kubuka kaos kakiku, kuperlihatkan kepadanya, sudah sembuh dengan sangat kecil bekas - guratannya, jahitannya. Dan dokter Tjoa tampak sangat senang. Lalu kami menjadi akrab bertiga. Karena "rasa kekagumanku" kepada dokter Tjoa yang baik itu, kubuat sebuah cerpen tentangnya dan dimuat di HARIAN RAKYAT MINGGU, dan begitu terbit kuberikan kepada dokter Tjoa. Lalu dibacanya. Dengan tertawa dan tampak agak tersipu, diberinya komentar : "you berlebihan menggambarkan saya. Ini lebih banyak pujiannya daripada cerita yang sesungguhnya. Tapi tak apa, ini juga suatu propaganda buat bekerja demi kebaikan rakyat, sesuai dengan nama Dinas Kesehatan Rakyat-nya", kata dokter Tjoa.

Ketika tourne ke pulau-pulau sekitar Belitung, aku ikut dengan Bang Taib. Aku tahu, dia sebenarnya selalu ingin agar aku ikut, tetapi aku tahu juga, dia segan pada ayahku, pamannya sendiri. Sebab datangnya aku ke Belitung adalah buat liburan dan buat keluarga. Tetapi dengan selalu ikut Bang Taib, jadi kurang waktu bersama keluarga terdekat. Keseganan Bang Taib ini kukatakan padanya, ayah tak pernah menghalangiku buat selalu ikut dengannya.

Dan kami dengan perahu berlayar kesekitar pulau Belitung. Mula-mula ke Tanjungtikar, masih bagian dari pulau Belitung, tetapi karena bentuk pulaunya demikian rupa, haruslah menyeberang dengan perahu walaupun masih satu daratan dengan pulau utamanya. Nama penyeberangan itu adalah sama dengan kata kerjanya yaitu Seberang. Lalu terus ke Tanjungtikar, lalu ke pulau Seliu, dan Mendanao. Semua ini dalam rangka memeriksa hasil pekerjaan bulanan yang dikerjakan bagian Pemberantasan Malaria dari DKR. Kami semua berlima, dua orang lainnya adalah memang pegawai dinas kesehatan dari DKR. Ketika sampai di sesuatu tempat, di perkampungan nelayan, penduduk sudah berkumpul jauh sebelum kami datang. Mereka sudah siap buat minta pemeriksaan berbagai macam penyakit, juga pegawai DKR bertiga itu siap pula dengan alat-alat pemeriksaan dan berbagai macam obat-obatan, vitamin, suntikan, dan mikroskop,steteskop, alat-alat laboratorium, buat memeriksa bakteri, amube, dan jenis nyamuk malaria tropika atau malaria sentana, retina, dan sebagainya.

Akh, jadinya betapa juga aku senangnya, banyak yang dapat kuketahui dan kupelajari. Dan banyak yang dapat kulihat dan kusaksikan. Betapa sebenarnya begitu antusiasnya penduduk dan rakyat setempat membutuhkan obat-obatan, dan pengobatan. Juga betapa banyaknya mereka yang sakit, kurang vitamin. Berbagai macam penyakit rakyat seperti kudisan, gatal-gatal, gembung perut, tbc, sakit kuning, batuk-rejan, korengan, mata-rabun, bengek, dan tak sedikit yang membutuhkan dan harus dioperasi. Dan semua ini mereka catat buat menyediakan pengangkutan, dibawa ke ibukota kabupaten.

Karena kesibukan yang hanya tiga orang mereka pegawai DKR, maka aku turut membantu. Dan mereka sangat senang karena aku siap sedia membantu, yang padahal sebenarnya aku sendirilah yang sangat senang, sebab diberi kepercayaan penuh untuk itu. "Kau cari aneurin, 50 cc", kata Bang Taib. Dan aku membongkar dalam tas RS DKR-nya. Jauh sebelum itu karena aku juga sangat senang akan ilmu kedokteran, maka banyak istilah yang aku tahu. Aneurin adalah nama lain buat vitamin B1,- Bang Taib siap menyuntikkan vitamin BI kepada beberapa penduduk. "Jangan lupa alkohol, cari yang 90 derajat, jangan yang 70, sebab orang itu juga termasuk kudisan", kata Bang Taib. Dan aku menuruti perintahnya. Paling baik memang alkohol 90 derajat, sebab disamping bisa mensteril, lalu bisa mematikan jenis bakteri, amube dan mikrobe.

Seorang penduduk yang tampaknya selalu riang-gembira, dan tampaknya sehat dan perawakannya kuat, gagah, yang juga kenal baik dengan Bang Taib, minta suntikan. Aku tak tahu sakit apa dia. Tapi Bang Taib "memerintahkan" padaku. "Ambil ampul a-d", katanya. Nah, tahulah aku, dalam ampul itu hanyalah air biasa saja, bukannya apa-apa, tapi steril dan tak akan membawa efek jelek. Itu artinya aqua-destilata. Ada efek psikologisnya. Orang yang keranjingan suntikan, dengan aqua-destilata saja, sudah merasa sangat sehat dan merasa sangat kuat setelah disuntik dengan "obat" itu!

"Ambil dan bungkus vit C sebanyak C juga" kata Bang Taib. Kubungkus vitamin C menjadi 4 bagian, masing-masing 25, sebab istilah C artinya 100,-

Dua tiga hari itu kami betul-betul sibuk melayani penduduk sakit, minta obat, minta periksa, minta suntik, bahkan ada yang minta operasi, yang padahal belum tentu harus dioperasi. Penduduk dan rakyat setempat itu sangat ramah, baik dan menyenangkan. Dan kulihat Bang Taib betapa senang, gembira dan benar-benar menikmati mata-acara-pekerjaannya. Tourne sekali ini kami banyak melayani penduduk yang sakitan, selama satu minggu. Dalam dinas kerja itu, tak ada jam-kerja. Begitu bangun pagi, sudah ditunggu penduduk dan rakyat sekitar di bangsal pendopo tempat pertemuan kampung. Dan kapan selesainya? Sehabis makan siang, lalu mulai lagi, sampai makan malam. Lalu mau tidur malam barulah selesai. Dan bukan main lelah letihnya, tapi herannya, hati tetap senang dan gembira. Rasanya dada ini ada rasa mongkoknya, sebab merasa sudah membantu orang dan rakyat. Padahal apalah artinya hanya musiman saja, bukannya kerja-tetap,- ini untukku. Tapi untuk Bang Taib dan temannya itu, mereka benar-benar bekerja sambil mengabdikan diri buat kesehatan rakyat dan penduduk.

Semua ini tidak pakai bayaran, gratis, subsidi dari pemerintah. Dengan sendirinya, semua kami, terutama pegawai DKR-nya, tak dapat penghasilan apa-apa. Memang ada selalu oleh-oleh yang diberikan penduduk kepada mereka, seperti ikan-asin, kelapa, minyak-kelapa, singkong, tepung singkong, dan beberapa jenis makanan lagi. Tetapi rombongan kami juga membawa kopi, gula, tembakau, minyak-tanah dan beberapa lainnya buat dibagikan kepada penduduk, terutama di mana kami akan menginap.

Setelah bekerja - memeriksa - tugas-tugas selesai, nah, waktu itulah yang benar-benar kesempatan yang sebaik-baiknya buat istirahat. Kulihat Bang Taib sangat pandai menikmati istirahat yang sedikit waktunya itu. Dia mencari tempat duduk di ketinggian di sebuah batu yang menghadap pantai dan laut. Matanya menyapu pemandangan jauh ke depan. Laut yang tenang, ombak yang jinak dan angin yang semilir, di bawah pohon nyiur. Di depannya beberapa perahu nelayan tampak putih warna layarnya, dan berjalan pelan seperti kupu-kupu di atas kaca-alam. Agak kebelakang, masuk sedikit hutan, riuh bunyi berjenis burung. Dan Bang Taib ketika itu selalu ingin sendiri, jangan diganggu, biarkan dia menyatu dengan alamnya.

Dulu, ketika Bang Taib harus ke Jakarta berhubung dengan tugas yang diberikan oleh DKR, baru beberapa hari saja dia sudah gelisah mau pulang. Selalu saja ingin pulang segera. Dia tak bisa lama-lama meninggalkan Belitung dengan pantai dan lautnya, serta hutannya, dengan kesukaanya akan mancing dan nembak. Lalu tourne, ke berbagai pulau dan bertemu dengan banyak penduduk dan rakyat setempat. Siapakah bisa meramalkan bahwa pada akhirnya nasib Bang Taib jadi begitu?

Tahun 1965, dia ditugaskan sambil berobat dan mewakili organisasi dari daerahnya, turut menghadiri upacara ulangtahun kemerdekaan Tiongkok pada 1 Oktober 1965. Dan ketika terjadinya huru-hara itu, dia termasuk orang yang tidak bisa pulang berhubung dengan keadaan tanahair sedang kacau-balau dengan pembasmian habis-habisan terhadap kaum kiri. Selama itu dia sangat lama berada di rumahsakit dan sanatorium, bertahun-tahun sakit-lever, hepatetis B. Dan pada suatu kali setelah pemeriksaan dokter dengan teliti dan menyeluruh, ternyata dia terkena kangker-hati. Akibat penyakit ini, dia tidak bisa bangun dari pembaringannya, sehingga pada tempat-tidurnya dibuatkan sebuah lobang buat dia buang-air, karena dia sudah tidak bisa duduk lagi.

Namun dia selalu cerita tentang bagaimana bagusnya dan indahnya pulau Belitung itu. Dan dia tetap bercita-cita ingin pulang segera ke Belitung. Ingin ke berbagai pulau, ingin mengobati penduduk dan rakyat setempat. Semua keinginannya ini diutarakannya kepadaku. Dan kami selalu saling bercerita tentang pengalaman lama di Belitung dulu itu. Kami saling cerita bernostalgia tentang kunjungan kami ke pulau-pulau dulu itu. Mengobati penduduk, menyuntik, memeriksa dan soal suntikan aqua-destilata itu, kepada seorang pemuda yang kuat-sehat, tapi keranjingan suntikan!

Kami tertawa mengenangkan semua itu. Tapi begitu aku sampai di rumah kembali, aku menangis. Aku tahu benar, dan sangat kasihan dengan nasib Bang Taib. Umurnya ketika itu sudah hampir 50 tahun, tetapi belum juga berkeluarga. Dan, dan yang ini, yang paling mengenaskan, tak beberapa lama sesudah itu Bang Taib meninggal di rumahsakit Nanchang, ibukota provinsi Ciangxi, Tiongkok Selatan. Betapa cintanya dia akan pulau Belitung itu. Betapa cintanya dia akan pekerjaannya, mengabdi penduduk setempat, mengobati orang dan bergumul, berkutat, masuk-dalam-dalam ke relung-jantung alam sekitar. Dan aku merasa sangat kehilangan, abangku Bang Taib, anak-alam, anak-sungai dan lautan dan anak-hutan yang sangat cinta akan semuanya itu,-

Paris 2 Mei 2000

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.