Bab 84 :
Bang Taib

Ayahku hanya punya satu saudara perempuan. Namanya Zaharah, panggilannya di antara kami yalah Siti, nama lengkapnya Siti Zaharah. Kami panggil Busu Siti. Busu artinya yang bungsu. Sedangkan ayah yang sulung. Jadi kakek-nenekku dulu hanya punya dua anak, satu laki-laki, ayahku dan satu perempuan Siti Zaharah. Ayahku dipanggil oleh keluarga lainnya menjadi Pak Long, artinya yang sulong, sulung.

Pasangan Busu Siti dan Busu Rakhman ( suami Busu Siti ) punya anak banyak, terutama perempuannya. Laki-lakinya dua. Laki-laki yang kecil namanya Sapri. Sapri meninggal ketika umur 5 tahun. Ada bisikan yang kudengar, tante dan pamanku ini tidak beruntung punya anak laki. Lihat, Sapri itu meninggal ketika umur 5 tahun. Lihat Bang Taib itu, sampai kini tidak dapat jodoh, padahal umurnya sudah menjelang 25 tahun,- begitu kata orang-orang sekitar keluarga kami ketika itu.

Aku tidak begitu percaya. Dan aku sangat suka kepada Bang Taib, abang sepupuku itu. Kurasakan dia juga adalah abangku yang tidak beda dengan abangku yang lainnya, dan kami berdua disamping bersaudara juga berkawan baik dan akrab. Memang perbedaan umurnya denganku 5 tahun, tapi rasanya sama saja dengan teman-temanku lainnya yang seumur denganku. Sejak masih di SD, kami sudah dekat, bahkan rumahnyapun bersebelahan. Ayahku sangat baik terhadap semua keponakannya ini, terlebih dengan Bang Taib ini. Mungkin ada hubungannya dengan hobby ayah, yang sama dengan Bang Taib ini. Yaitu suka berburu. Senapang ayah yang dobbel-loop itu diwariskannya kepada Bang Taib. Dan Bang Taib sama dengan ayah dalam tergila-gilanya berburu. Ada yang lainnya dengan ayah, Bang Taib disamping suka berburu, juga suka mancing.

Kasyikan-hidup dan kenikmatan-hidup bagi Bang Taib, adalah berburu dan mancing di laut. Dua macam kesukaan dan hobby-nya ini benar-benar mendarah mendaging. Peluru sejenis dumdum, yang patronnya besar berisi puluhan mimis 5 setengah itu, dibuatnya sendiri atas ajaran ayah. Maka hobby Bang Taib lengkaplah sudah didukung ayah.

Bang Taib punya kedudukan yang sangat baik di daerahnya, di Tanjungpandan Belitung. Dia Kepala Bagian DKR = Dinas Kesehatan Rakyat Tanjungpandan. Dan dia anggota DPRD. Punya mobil dinas DKR, punya tilpun di rumahnya, padahal ketika itu, tahun 1950, sangat jarang, sangat langka ketika itu seseorang punya semua itu. Tapi -, dan ini yang dikeluhkan oleh orangtuanya -, masaksih pemuda seganteng dan segagah itu belum juga menikah dan berkeluarga, padahal umur sudah 25. Umur 25 ketika itu pada umumnya bagi laki-laki sudah berkeluarga atau sudah seharusnya berkeluarga. Ini situasi di kampung kami ketika itu, yang sekarang ini sudah jauh berubah. Umur 25 terkadang terlalu muda buat berkeluarga. Aku sendiri berkeluarga ketika umur 27. Dan mungkin pandangan inilah yang menambah pikiran keluarga sekampungku, mengapa mereka katakan paman dan bibiku itu tak beruntung punya anak laki. Padahal kata hatiku, apa kurangnya Bang Taib, orangnya gagah, ganteng, punya mobil, punya tilpun, anggota DPRD lagi, dan selalu tak kekurangan uang.

Di kantornya DKR, dia punya tugas sebagai Kepala Pemberantasan Malaria. Bahasa kampung kami dia dinamakan mantri-nyamuk. Di kampung kami banyak sekali nama pangkat yang berkenaan dengan tugasnya di bagian apa. Nama-nama seperti mantri-garam, mantri-candu, mantri-kehutanan seperti pangkat ayahku, dan beberapa mantri lagi. Bang Taib mendapatkan kedudukan itu kukira sangat sesuai dengan profesinya. Dia sudah sejak lama menekuni tugas pemberantasan malaria ini. Dan lagi aku tahu benar, dulu ketika Jepang tahun 1943 dia disekolahkan di Bangka dan Bengkulen, juga dalam soal kesehatan rakyat. Lalu tahun 1950 dia disekolahkan di Institut Pasteur di Jakarta, bagian laboratorium Eijkman. Tempatnya di sekitar Cikini - Raden Saleh. Aku sering ke sekolahnya, dan melihat dia praktek ketika pelajaran "mengoperasi nyamuk"! Jadi dia bekerja dengan mikroskop, dan benda-benda laboratorium lainnya.

Maksudku menceritakan ini semua, menyatakan bahwa dia memang benar punya keakhlian buat bidangnya. Pada mulanya dia bekerja menyemprot got-saluran air kotor, tebat-air yang tak mengalir dan penuh nyamuk malaria. Mencari dan menemukan sarang malaria, lalu memberantasnya dengan semprotan sejenis DDT, dan obat anti-nyamuk malaria-tropika lainnya. Karena nyamuk jenis itulah yang menularkan demam-malaria di kampungku, sehingga banyak penduduk sakit bahkan bisa mati kalau tidak segera diobati.

Karena semua pekerjaan dan hobby-nya sangat dekat dengan alam dan hutan, dan perkampungan,- pedesaan, Bang Taib sangat mencintai alam sekitar. Cobalah, dia sangat suka mancing, itu kan di laut. Dia sangat suka berburu, nembak, itu kan di hutan. Dan pekerjaannya mencari sarang malaria, itu kan di kampung-kampung dan pedesaan, dusun-dusun terpencil. Dan kalau bertugas ke perkampungan nelayan, ke berbagai pulau-pulau kecil, atau ketika hari libur bagian berburu dan mancing, selalu harus menggunakan perahu, motor-laut. Dan ketika itupun juga dalam balutan dan pelukan alam sekitar. Maka tidaklah heran kalau Bang Taib tidak bisa berpisah dengan alam, dengan hutan, dengan laut, dengan gelombang dan perahu, dan penduduk rakyat biasa yang sangat dicintainya.

Beberapa kali aku selalu mengikutinya buat memancing dan berburu. Sengsara, sungguh sengsara! Berburu, harus masuk hutan dan harus berjalan, terus berjalan, dari malam jam 20,__ sampai pagi, sampai pagi! Kalau dapat hasil buruan, kijang atau pelanduk, lebih setengah mati lagi, sebab harus mengangkutnya, memikulnya dibawa pulang atau diserahkan kepada penduduk dan rakyat setempat. Dan berjalan menuju rumahnyapun sangat jauh. Tak ada enaknya mengikuti berburu sambil membawa beberapa senapang yang dobbel-loop itu dan senapang-angin 5 setengah, buat menembak pelanduk ( kancil ). Berat, capek, lelah dan loyo. Tapi itu bagiku. Bagi Bang Taib, itulah suatu keindahan, kenikmatan hidupnya. Persis seperti ayahku.

Aku lebih suka nembak daripada mancing. Tapi nembakpun bukannya nembak rusa, kijang dan pelanduk, tapi nembak burung, seperti yang kulakukan di Tiongkok dulu itu. Dan mancing, aku tidak punya "kerezekian mancing". Rezekiku pada nembak dan beternak. Mancing, mengikuti Bang Taib, pernah semalaman aku tak mendapatkan ikan seekorpun. Padahal Bang Taib dan Bang Akil yang membawa kami, mendapatkan ikan-ikan besar yang banyak dan beratnya berkilo-kilo. Tentu saja aku sedih dan malu, sangat malu. Jadi kubenarkan kalau aku tidak punya rezeki mancing,- sangat memalukan.

Keikutan-sertaku menemani Bang Taib mancing maupun nembak dan juga ketika berdinas ke pulau-pulau itu yang dia namakan tourne, mungkin tour of duty, lebih banyak mau tahu saja. Dan mau ikut menemani Bang Taib. Ini biasanya kulakukan ketika liburan sekolah dari Jakarta selama liburan bulan puasa sampai sesudah lebaran. Yang menjadi kesukaanku, bukan pada jenis mancing dan nembaknya, tapi turut menikmati alam, hutan, pegunungan dan laut. Ketika sedang dirundung gigitan nyamuk dan rundungan lalat, memang menderita juga. Tetapi begitu ketika melihat laut, pantai, dan alunan ombak, lalu melihat perahu para nelayan yang hilir-mudik, lalu menyapu pemandangan dengan mata yang mengarah ke darat, maka betapa indahnya perumahan, pondok nelayan dari jauh. Lalu pohon kelapa yang berayun ditiup angin laut, dan sembulan bebatuan sepanjang bibir pantai, dan putihnya alunan ombak yang jinak. Semua itu sangat mempesonakan, nikmat dilihat, nikmat dirasakan.

Paris 1 Mei 2000

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.