Bab 75 :
Cerita Sebuah Judul Buku — Bagian Dua, Habis

Di antara beberapa tujuan dan niatku datang ke Jakarta, Indonesia, antara lain yalah mencari buku-buku. Dan beberapa toko-buku yang kudatangi, aku mendapatkun buku-buku yang memang sudah lama kucari. Dan toko-buku itulah yang agak "menghabiskan" uangku. Kalau dituruti, bisa bangkrut, belum lagi kalau kelebihan timbangan batas bawaan seorang penumpang, maka juga turut menguras uang.

Di Holland ada sebuah pasar-malam yang setiap tahun diadakan di Den Haag. Namanya Pasar-Malam Tongtong. Kenapa dinamai Tongtong aku tidak menelitinya. Tetapi inisiatif pertama dulu yang mengadakan dan menciptakan yang sampai kini masih ada,- kalau tak salah yang ke 42,- adalah Tjalie Robinson, seorang peranakan Belanda-Indo. Tjalie Robinson juga adalah seorang seniman yang banyak mengetahui tentang Indonesia. Boleh dikatakan dia adalah seniman segala rupa, bercabang banyak, banyak tahu musik, tarian, sastra, dan ada beberapa lagi. Dan pecinta budaya adat Indonesia. Karena itu banyak yang menamakan Pasar-Malam itu adalah nostalgia Tempo Doeloe. Dulu Pasar Malam selalu diadakan di Gambir - Batavia, namanya Pasar Malam Gambir, sekitar Lapangan Banteng yang luas.

Nah, dalam pasar-malam yang biasanya diadakan setahun sekali ini, sangat banyak didatangi para pengunjung dari seluruh Holland, bahkan dari Eropa Barat. Lamanya antara 7 sampai 10 hari. Isi pasar-malam itu berbagai rupa yang sifatnya ke-Indonesia-an. Kerajinan tangan Indonesia, batik, patung-mematung, makanan dan minuman, buah-buahan Indonesia, seperti nangka, durian, cempedak, dan pertunjukan budaya, seperti wayang golek, wayang kulit bahkan wayang orang. Semua ini antaranya didatangkan dari Indonesia. Keroncongan dari tahun 30-an dapat dilihat dan disaksikan di pasar-malam ini, lengkap dengan lagu-lagu setambul duabelasnya. Pokoknya pasar-malam ini menggambarkan semua hal-ihwal ke-Indonesia-an, adat-budaya, kesenian, makanan, dan pertunjukan. Dan seperti juga ketika setiap aku ke Jakarta, pasar-malam inipun tak pernah kulewatkan. Sasaran utama yang sangat langka dan yang kucari-cari adalah : buku! Dan buku-buku sastra-budaya.

Banyak buku-buku yang di Indonesia dilarang, yang tidak ada lagi, di pasar-malam ini terkadang selalu ada saja. Beberapa buah buku yang kudapatkan di pasar-malam Tongtong ini sudah tak terdapat lagi di toko-buku di Jakarta, sudah lama tak dijual lagi, atau sudah habis, atau dilarang. Buku-buku yang ada dijual di toko-buku di pasar-malam inilah yang cukup banyak "menghabiskan" uangku. Perkara makanan memang juga punya peranan penting, tetapi perut kan terbatas isinya. Sedangkan nafsu membeli buku tak terbatas pada perut tapi pada isi kantong. Nah, jadi ada dua sasaran buatku memburu mencari buku, yang di Holland setiap tahun sekali itu, dan ketika datang ke Jakarta.

Di Jakarta sudah tentu sasaran pokoknya di toko-buku Gramedia, atau toko buku lainnya yang banyak menjual buku sastra-budaya Indonesia. Di Tim juga ada sebuah toko-buku kepunyaan seorang penyair masakini, juga banyak sekali buku yang patut kita baca dan punyai. Lalu di Utan Kayu yang lokasinya sangat strategis, sebab di kompleks itu yang juga dinamai TUK, Teater Utan Kayu, sebagai persinggahan para seniman, budayawan dan ilmiawan. Juga di kompleks ini ada beberapa kantor redaksi majalah-majalah penting budaya-sastra seperti KALAM, dan penerbitan lainnya. Dan enaknya di TUK ini juga ada warung yang kecil-mungil tetapi sangat menyenangkan dan menarik, sebab susananya sangat kekeluargaan - familiare.

Di toko-buku itulah aku juga sering mencari buku-buku yang kuperlukan. Sambil menunggu janji ketemu seseorang teman atau janji dengan relasi lainnya, maka kita bisa masuk toko-buku yang ada di situ.

Suatu kali memang aku bermaksud mencari majalah Kalam, majalah khusus tentang sastra-budaya. Banyak sekali buku-buku yang memang sudah lama kucari, buku-buku penerbitan lama dalam cetakan yang kesekian. Sudah lama terbit tetapi belum pernah kubaca, seperti tulisan Kuntowijoyo KHOTBAH DI ATAS BUKIT. Buku ini dapat hadiah pada zamannya, kini sudah pada cetakan yang kesekiannya. Penulis ini banyak menulis cerpen, novel, novellette yang bagus-bagus dan pernah berturut-turut selalu dapat hadiah karena tulisannya terbaik. Aku termasuk seorang pengagumnya, sangat menyukai tulisannya.

Juga banyak buku-buku yang tak pernah kita lihat dan kita baca iklannya di suratkabar atau di majalah, tetapi ada di toko-buku ini. Terkadang pusing juga dibuatnya, sebab sudah dipegang dan sudah mau dibayar, tetapi ada lagi buku lain yang mungkin lebih menarik. Lalu lepaskan lagi, mengingat isi kantong sudah mau cekak! Dan aku meratai lagi ke bagian lain. Tak terasa akan bertemu "dengannya" dan agak kaget, ada sebuah buku kumpulan sajak yang namanya MENCARI LANGIT. Dalam hatiku, apa betul dia? Kupegang, kubalik-balik, dan memang betul, dialah itu.

Seperti dalam baris sajak yang di dalamnya, "ada juga kau di sini, apa yang kau cari? mencari langit?", kataku mengingatkan diri sendiri dengan perjumpaan buku itu. Tetapi dalam hati ini selalu ada pertanyaan, apakah ada orang yang mau membelinya? Sekarang kira-kira ada enam buku jumlahnya. Apakah dulu mula-mula juga enam buku ketika dipajang pertama? Ataukah ada yang sudah terjual? Aku tahu benar, buku apa saja kalau tentang puisi, kumpulan puisi, tidak akan banyak laku! Penggemar buku puisi itu sangat sedikit, dan sangat sulit buat laku. Barangkali hanya W.S. Rendra yang buku kumpulan puisinya sangat laku, sehingga dicetak-ulang berkali-kali. Dan kalaupun ada penyair lain yang bukunya sangat laku, maka jumlah orangnya takkan banyak, paling-paling hanya hitungan sebelah tangan saja.

Karena itu aku tidak punya ilusi buat memperkirakan bahwa buku itu akan laku, dan ada yang mau membelinya. Mana ada orang suka puisi sehingga mau membeli buku puisi, begitu pikirku selalu. Dan lagi-lagi kuperhatikan letak buku tersebut, dan kuperhatikan orang-orang yang ke luar-masuk, tak seorangpun yang tertarik dan mau membelinya. Rupanya penjaga toko-buku memperhatikan gerak-gerikku, yang mungkin bisa mencurigakan, atau mau membantu mencarikan buku yang mungkin sudah lama kucari-cari. Penjaganya seorang wanita muda itu mendekatiku, lalu bertanya apa yang bisa dia bantu. Baik juga pikirku penjaga yang satu ini. Karena itu sudah kepalangtanggung berdialog, teruskan sajalah :
"Dik, numpang tanya ya, boleh?"
"Ada soal apa pak?", katanya ramah.
"Ini, buku ini", kataku sambil menunjuk Mencari Langit,-
"Ada nggak yang laku. Apa ada orang yang membelinya selama ini", kataku ingin tahu.
Rupanya pertanyaanku itu lama sekali dipikirkannya, dan tampak dia tidak begitu bersenanga hati.
"Apa maksud bapak bertanya begitu?", katanya agak curiga.
"Ndak, saya hanya mau tahu saja, sebab orang kan sangat jarang suka buku puisi. Benar nggak perkiraan saya, tentu adik kan tahu selama ini", kataku lagi.
"Yang saya tahu, selalu ada saja orang yang membeli buku apa saja, ya, termasuk buku ini", katanya sambil menunjuk buku itu.
"Malah yang saya ingin tahu, kenapa kok bapak tanyanya secara begituan.
Seakan-akan buku-buku yang kami jual ini, termasuk puisi pada nggak laku. Ada-ada saja pak yang beli dan mau beli", katanya menegaskan.

Rupanya pertanyaanku tadi benar-benar menjadi kecurigaannya, sehingga kalau diteruskan dialog ini akan naik ampernya, bisa-bisa tidak baik kesudahannya. Karena itu aku memutuskan lebih baiklah berterusterang saja. "Begini dik, maafkan saya, tadi saya bertanya begitu karena saya kuatir kalau-kalau buku ini nggak laku barang satupun! Mengapa saya kok ada keperdulian menanyakan begitu, karena sayalah yang menulis buku ini", kataku. Lalu dia mengawasiku lama sekali, dan tampak ragu-ragu apakah dia akan percaya. Rupanya Tuhan sedang menolongku, seseorang yang kutunggu masuk ke toko-buku itu. Dan teman ini adalah yang bekerja di TUK ini, dan mengenal semua pegawai toko-buku itu. Kulihat penjaga wanita itu bertanya kepada teman yang berjanji denganku itu. Dan tampak sekarang langit itu jernih dan gembira, lalu menyodorkan buku itu minta agar aku menandatanganinya, sebagai penulis buku tersebut. Rupanya dia sendiri memiliki buku itu, atau baru saja dibelinya, akupun tak tahu.

"Bapak kok tanyanya ada-ada saja sih! Maafkan ya pak kalau saya tadi itu agak kurang ramah", katanya. "Bukan adik yang harus minta maaf, tetapi sayalah yang tanyanya usil dan nggak sopan. Tentu saja pemilik toko-bukunya akan marah dong!", kataku berusaha mencairkan rasa kebekuan yang tadi. Ketika aku ke luar toko-buku, kami bersalaman, kebekuan tadi sudah mencair, dan kini siapapun yang mencari langit, akan dapat terlihat, langitnya jernih, awannya putih, hatinya bersih,-

Paris 12 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.