Bab 55 :
SEPUTAR JAKARTA - Lima

Kenapa aku mau ke Jakarta yang justru angka paling keramat, pada tahun 2000 itu, orang namakan millennium? Ya, itu yang pokok, aku mau "merayakan dan memperingatinya" justru di tanahairku. Orang lain berbondong-bondong ke luar, ke negeri asing, tapi aku mau di Jakarta atau dekat dan sekitar teman-temanku, keluarga, para sahabat. Lalu tujuan lainnya, mau mencari, bergaul, melihat, berkenalan dengan teman-teman muda, yang penuh gairah, aktivis SLM dan yang lainnya. Lalu seperti kebiasaanku ketika berlibur ini, aku mau membaca banyak suratkabar, majalah, buku sastra-budaya, dan melihat televisi Indonesia. Aku mau mendengar secara langsung bahasa Indonesia yang diucapkan orang Indonesia yang di Indonesia, mendengar cerita Indonesia, anekdotenya, bahkan gossipnya. Memang asik!

Selama belasan tahun bahkan puluhan tahun, lebih banyak mendengarkan bahasa Indonesia dari orang Indonesia yang bernasib sama seperti aku juga! Yaitu para musafir-abadi, yang hidupnya puluhan tahun di luarnegeri, kan sangat lain?! Sedangkan aku saja, dalam tulisanku saja, banyak yang berpendapat bahwa bahasaku sudah sangat lain dengan bahasa Indonesia yang di Indonesia. Ada bau lain, mungkin bau asing atau "keterasingan, keterpencilan" dan hal lainnya. Semua ini sama-sama bisa dipahami.

Jadi ada tiga perkara itu tadi, mengapa aku mau ke Indonesia ketika millennium 2000. Ternyata yang paling pokok, yang tanggal 1 bulan 1 tahun 2000-nya itu justru aku gagal-total menyambut dan menyertainya! Ketika tanggal 31 desember pagi aku masih di Yogyakarta, dan pagi-pagi sekali dengan Garuda kami terbang ke Jakarta. Selama lima hari di Yogyakarta, tapi sudah dipesan wanti-wanti, awas kalau sampai tanggal 31 malamnya tak ada di Jakarta, tak ada di rumah Oom Hay-djoen, awas, tahu sendiri deh, demikian pesan tilpun ke ponakanku si As dan disampaikan ke Yogyakarta.

Tanggal 24 desember malamnya, karena keluarga tempatku-tinggal adalah keluarga protestan ( walaupun mereka ini orang Aceh ), dan merayakan Hari Natal, dan karena ada pesta-kecil keluarga, maka akupun "menyumbang masakan" tertentu buat meramaikannya. Aku membuat kolak-durian, kinca kata orang. Durian-dagingnya itu diremas dengan gula-jawa, dengan pandan, dengan sedikit cengkeh dan kayu manis, dan dengan santan-tebal, lalu dibuat kolak. Dan kolaknya ini dimakan dengan ketan, nasi-pulut atau roti-tawar. Kulihat begitu lahap para tamu makannya, sehingga akupun tak tahan-hati, ikut juga melahapnya. Dan biasalah kalau enak dan sedap, mana orang bisa tahu diri! Lalu mungkin kebanyakan buatku. Dan sebelum itu sudah ada bibit sakitperut, karena kemarennya aku merasa salah-makan. Sebenarnya salahku, bukannya salah-makan!

Kemarennya kami makan di sebuah resto Padang. Aku memilih kepala-ikan, gulai kepala-ikan. Tetapi rasanya tidak begitu segar, agak basi mungkin karena terlalu lama atau bagaimana, tak tahulah aku. Tapi si rakus ini tetap saja makannya. Dan kukira salah satu penyebab sakit perut itu, ya kepala-ikan dan kolak-durian itu. Maaf seribu maaf, samasekali tak ada maksud menyalahkan restoran Padang!! Ini bukan kesalahan restoran itu, tapi 100 persen salahku, kenapa kalau sudah tahu tak segar lagi kok diteruskan makannya, ini kesalahanku yang pokok! Dan kukira karena dua sebab itulah aku sakit perut, sejak berangkat ke Yogyakarta tanggal 26 desember itu.

Padahal ada tugasku yang lain, akan memenuhi undangan ceramah di depan mahasiswa ASRI di Yogyakarta. Tak dapat dihindarkan, walaupun bagaimana sakitnya perut ini, ceramah harus diteruskan. Selama di Yogyakarta dan juga selama di Jakarta sampai tanggal 5 januari 2000, aku sakit perut. Dan pada tanggal satu Januari itu sakit perut ini mencapai puncaknya. Tetapi janji tetap harus ditepati. Aku hadir di tengah keramaian para teman dan sahabat di rumah Oom Djoen, hampir 100 orang, bersesakan. Karena sakit perut ini, selama satu minggu itu aku punya perasaan aneh dan gila! Kenapa? Aku sangat membenci melihat makanan apapun! Aku sangat benci melihat orang makan dan sedang makan! Dan dapatlah dibayangkan, di rumah Oom Djoen yang penuh makanan, penuh orang melahap makanan sambil ngobrol bersenda-gurau menyambut millennium itu, aku begitu benci kepada diriku kepada mereka. Apa salah mereka, tak ada! Yang salah aku, kenapa harus sakit perut justru sedang menyambut dan merayakan tahun 2000!

Ada teman baikku yang tinggal di Canada, yang produktif sekali. Mereka tinggal di Canada sejak tahun 1969. Menanyakan padaku, apakah aku punya persoalan yang sama dengannya, yaitu selalu sakit perut bila pulang kampung, ke Indonesia, selalu diarhe. Ya. Semoga dengan tulisan ini agak terjawab. Mula-mula sekali aku pulang ke Indonesia tahun 1993, aku juga sakit perut, mencret kagak ketulungan kata orang Jakarta. Lalu tahun 1994, juga sakit perut dan mencret ketika di Yogyakarta dan Magelang dan Solo, ketika itu dengan Mas Oyik, Satyagraha Hurip almarhum. Lalu tahun 1999-2000 ini, dan sekali ini yang paling parah. Selama 9 hari, kehilangan berat badan sebanyak 7 kg. Kalau hilangnya itu normal dan wajar, enak juga dan sukur, tapi ini mah karena mencret tak ada isinya itu perut selama hari-hari itu.

Seorang temanku yang belum pernah pulang ketika itu ( 1993 ), mentertawakan dan agak mengejek. " Tentu saja si simon tuh, mana tahan diri kalau sudah lihat makanan, segala macam gasak saja, nah, tahulah akibatnya", katanya di depan orang banyak, dan aku mesem-mesem saja karena malu.Tahun berikutnya teman saya ini pulang buat pertama kalinya. Dan apa hal? Dia sampai masuk rumahsakit, diopname karena diarhe berat, sampai belasan kali buangair selama satuhari satu malam. Dan lebih seminggu di rumahsakit di Jakarta.

Saya lihat dan amati dan saya tanyakan sana-sini, katanya teman-teman yang pulang setelah puluhan tahun tak pulang-pulang itu, selalu saja sakit perut, mencret, murus. Semua ini karena persoalan makanan dan minuman. Mengapa demikian? Sampai kini aku tidak tahu sebab pastinya. Tapi kukira perut kita ini sudah menjadi perut manja, perut tak tahan lagi dengan perubahan. Perut priyai, perut burjuasi,- tapi juga tidak begitu bangat. Banyak orang asing lain yang ke Jakarta, lha kok nggak apa-apa. Masaksih turis-turis yang baru kalipertama ke Indonesia, lalu sakit perut juga, seperti kita-kita ini, seperti kami-kami ini. Lebih 60 persen teman-teman saya selalu saja sakit perut ketika pulang mudik. Tetapi setelah beberapa hari, lalu ada penyesuaian diri, baik sendiri dan lalu tahan sendiri. Tampaknya belajar adaptasi dululah dengan kampunghalaman yang terlalu lama ditinggalkan.

Beberapa kali saya ke Indonesia, bahkan hampir setiap tahun, begitu pulang kembali ke Paris, selalu berat badan saya turun, baik karena sakit maupun karena memang banyak gerak, banyak jalan dan banyak keluar keringat kepanasan. Berdiam diri saja sudah keringatan dan baju basah, apalagi gerak jalan. Saya suka menyalahkan dirisendiri, dasar perut priyayi dan perut burjuasi, rasain sakit perut, baru begitu saja sudah sakit perut. Nah, dulu bagaimana sih hidupnya, kok nggak apa-apa. Setelah berdiam di negeri orang puluhan tahun, pulang-pulang pada sakit perut, pakai mencret segala!

Sayangnya, begitu beberapa hari lagi di tempat perantauan, lalu badan mekar lagi, meluas, membesar lagi. Padahal persoalan pokok bagi kebanyakan kami, bagaimana bisa sedikit kurus tanpa sangat lapar. Kalau di kampung kita, persoalan pokok bagi saya yalah duduk bersila, lesehan. Makan cara duduk lesehan, duduk bersila seperti di kampung itu, nah, itulah siksaan yang paling berat selama bersama banyak teman di kampung, seperti di Yogyakarta baru-baru ini. Ketika di Yogyakarta, saya minta dengan sangat kepada panitya agar saya diizinkan duduk di kursi, sebab saya sedang sakit perut, dan saya tak tahan duduk di bawah berlama-lama bersila. Walaupun dulunya sayapun bersila seperti itu, tapi kejadian itu sudah lebih 40 tahun yang lalu. Di tengah anak-anak muda yang lincah, segar dan penuh semangat itu, hanya saya yang duduk di kursi, betul-betul sangat memalukan! Tapi apaboleh buat, hanya itulah kebisaan saya.

Namun demikian, dengan latarbelakang sakit perut dan ada bagian-bagian yang tak disukai orang, masih dibenci orang dan teman-teman lama, tak dapat sambutan ketika mau bersalaman Tahun Baru itu, tokh tetap saja mau datang ke Jakarta atau tempat lainnya pada waktunya. Indonesia bagaimanapun adalah tanahair saya. Sedangkan isinya, teman-teman lama saya, atau bahkan keluarga saya, bisa saja tidak senang, belum suka, belum bisa terima keadaan saya, keadaan kami, mungkin masih makan proses lama, lama sekali. Tapi soal datang ke Indonesia, tidak tergantung suka atau tidak suka, terima atau belum terimanya teman-teman atau keluarga tertentu. Semoga pada waktunya akan sama-sama suka dan sama-sama terima, sama-sama lega lahir-batin. Semoga akan sampai dan tiba waktunya.

Paris 21 februari 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.