Bab 53 :
SEPUTAR JAKARTA - Tiga

Tahun 50-an Jakarta Kota, atau disebut juga Kota, adalah pusat perdagangan. Dua nama besar seperti Pintu Besar dan Pintu Kecil merupakan pusat perdagangan yang daerahnya sangat tak kentara bahwa daerah itu adalah daerah uang. Banyak orang menyebutkan dua nama itu bagaikan Wallstreet kecil Indonesia, yang ada di ibukota Indonesia. Sekarang sudah banyak berubah. Tetapi tetap masih merupakan pusat perdagangan, pusat uang, pusat hiburan malam, pusat kesibukan, pusat kemacetan dan juga pusat kejahatan, kemaksiatan. Juga termasuk pusat penongkrongan, makan dan jajan.

Daerah ini mulai dari yang dulunya bernama Pintu-Besi, Pasar Baru, Sawah Besar, ketika waktu zaman Belandanya bernama Moolenvliet yang berubah menjadi Gajah Mada dan Hayam Wuruk, tetap sampai kini daerah padat, ramai, sampai ke pusatnya, yaitu Kota. Sampai stasiun Kota, lalu menyebar ke daerah Tambora, Jembatan Lima, sekitar Glodok, yang dulu dinamakan Batavia. Sampai kini nama Batavia merupakan merek dagang yang menarik. Ada café yang namanya Batavia dan laku sekali, termasuk banyak orang asing yang menjadi pelanggan dan pengunjungnya.

Pengertian café di sini ternyata berbeda dengan café di Paris. Café di Jakarta jauh lebih besar dan lebih lengkap daripada di Paris. Sebab ada restorannya, ada hiburan musiknya, musik-hidup dengan seperangkat alat-alat musiknya, yang di Paris bukan lagi bernama café. Dan di Paris sebenarnya betul-betul buat orang ngopi dan ngobrol lama, santai, dan duduk-duduk pada ngeliatan orang lewat, atau rond-point buat janji bertemu karena ada hal-hal yang mau dibicarakan. Tapi di Paris tak ada café yang begitu besar dan begitu lengkap dengan musik-hidup seperti di Jakarta itu, yang sekaligus merangkap restauran besar.

Soal makan tempat nongkrong enak, Jakarta Kota-lah tempatnya, bahkan mulai dari sepanjang jalan Pecenongan lalu menjurus ke bagian Kota Atas, ini istilah dulunya, maksudnya Batavia Centrum. Kota Bawah, yang menuju ke arah Jatinegara, atau Meester Cornelis, ini nama baheulanya. Istilah dulunya Weltevreeden. Jadi bagian Kramat, Senen, Salemba, bukan lagi yang bernama Kota atau Batavia, tapi sudah Weltevreeden, yang keseluruhannya sampai kini tetap bernama Jakarta, atau Jakarta Pusat. Yang di sebut duluan adalah daerah Jakarta Utara sampai Tanjungpriok, termasuk dari Kelapa Gading yang kini sudah sangat ramai dengan daerah perdagangannya, tak jauh dari daerah Kayu Putih dan Pulo Mas, daerah Jakarta Timur.

Jakarta dengan pembagian wilayahnya menjadi Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Barat dan Selatan, Utara, sebenarnya bukan main luasnya. Saya kira jauh lebih luas daripada Paris, kecuali kalau di masukkan Ile de France yang merangkap daerah wilayah 91, 92, 93, 94, 95, 77, dan 78, yang disebut masih Ile de France - Parisien, karena masih dianggap bagian Paris secara keseluruhan. Tetapi kalau hanya Paris Kota, atau Kota Parisnya tok, tidaklah begitu luas. Hanya mengena pada delta yang dilingkungi atau yang dipeluk Sungai Seine itu saja, dengan berpusat pada Cité, Kantor Pengadilan Kota Paris. Tetapi kalau Paris keseluruhan dengan daerah yang saya sebutkan tadi itu, memang cukup luas juga. Hanya tak dapat dengan pasti saya katakan, mana yang lebih luas, Jakarta atau Paris kalau mau dimasukkan daerah-daerah itu. Tetapi kalau hanya Paris saja, Paris tok, dengan kotanya saja, pastilah Jakarta lebih luas, apalagi kalau mau digabung menjadi Jabotabek, Jakarta - Bogor - Tanggerang dan Bekasi.

Karena Jakarta dan sekitarnya itu pusat pekerjaan, termasuk perkantoran, pegawai, dan pabrik - perindustrian, zone industrial, dan juga banyak perguruan tinggi, universitas,akademi, sekolahan SMP - SMA dan sekolah lanjutan lainnya, maka dapatlah dibayangkan betapa banyak dan padatnya Jakarta itu. Orang lalulintas kalau siang hari, sekitar Jakarta, tak kurang dengan angka sebelas juta sampai belasan juta ke atas lagi, kalau menurut catatan kehidupan Jakarta di siang hari. Kota Paris jauh di bawah itu!

Tak heran karena itu orang yang begitu banyak perlu cepat, perlu ringkas dan perlu praktis, dan karenanya banyak tak punya waktu kalau pulang dan lalu menyiapkan makanan dan masak-masak lagi. Cari saja resto, warung, kakilima! Dan kesibukan begini menambah daya tampung dan daya serap rumahmakan dengan berbagai bentuk dan cara penyajiannya.

Ketika menjelang babe jatuh lengser keprabon panditaratu, banyak nama makanan yang disesuaikan dengan bergolaknya situasai ketika itu. Banyak warung, tempat penongkrongan menjual "nasi uduk reformasi" dan "nasi goreng demonstran". Juga ada nama bubur ayam dengan "bubur hostess". Mengapa demikian? Memang ada kekhususannya. Tempat atau resto itu, hanya buka mulai jam 24.°° sampai dengan 06.°° pagi. Yang paling banyak pengunjung dan pelanggannya yalah wanita-wanita muda yang bekerja-malam, yang merasa lapar lalu nongkrong di tempat itu. Lama-lama menjadi populer di kalangan yang suka cari makan nongkrong, karena memang banyak hostessnya, lalu menjadi "bubur hostess atau bubur-ayam hostess". Rasanya sangat enak, murah dan lumayan bersih. Satu mangkoknya antara Rp 5000 sampai Rp 8000, artinya 5 sampai 8 francs. Campurannya berbagai macam yang kita pilih dan kehendaki, bisa dengan ayam dan sotong, cumi-cumi, bisa dengan daging sapi, babi-panggang, bebek, ikan-teri segar-gorengannya, atau jeroan ayam seperti ati-rempla dan lainnya.

Bisa dimakan cara model Tionghoa (sebenarnya nama ini lebih enak diucapkan dengan "cara Cina", tapi sudahlah), yaitu dicampur youtiao goreng.

Rumahmakan yang dulu sangat populer dan laku karena memang enak, tetap masih ada. Padahal sudah lebih 50 tahun yang lalu. Saya teringat dan sering juga nongkrong di rumahmakan yang ketika tahun 50-an namanya "Tung Kong". Letaknya di sekitar Asam Lama dan Asam Baru, dulu namanya Oude Tamarindelaan dan Nieuwe Tamarindelaan, yang ada sekolah Krisnya. Lalu berubah menjadi Jalan Wahid Hasyim. Rumahmakan itu ternyata masih tetap ada, tetapi sesuai dengan kebutuhan zaman, nama Tionghoanya harus diganti, dan huruf Tionghoanya harus dihapus, tapi nama asal hurufnya tetap sama. Ternyata namanya sudah berubah menjadi "Cahaya Kota", ini perubahan dari tulisan Tjahaya Kota, yang asal hurufnya Tung Kong, T dari Tjahaya, atau Cahaya, sedangkan K-nya adalah Kota, jadi Cahaya Kota. Sama kan dengan Lim Siu Liong menjadi Lim, Salim Sudono, bunyi namanya tetap masih ada.

Dan rumahmakan "Cahaya Kota" yang 50 tahun yang lalu itu bernama " Tung Kong" tetap masih bisa mempertahankan rasa sedap enak dan lezatnya sampai kini. Sebab hampir setiap tahun saya berlibur ke Jakarta, saya tetap mengunjungi rumahmakan itu, dan rasanya tetap masih enak, dan pelanggan-pengunjungnya tetap ramai dan laris-laku.

Ada tempat penongkrongan yang dulu bernama Jalan Sabang, tetapi kini berubah. Dan disitulah saya mula-mula makan apa itu "ngohyong", sampai kini tetap ada. Jalan Sabang dulu itu yang berdekatan sekitar Jalan Jaksa, yang ramai dengan turis asing, juga tempat penongkrongan. Banyak pusat penongkrongan menurut wilayah dan daerahnya. Di sekitar Kelapa Gading ada jajan yang bernama Martabak Bangka, ini martabak manis. Sebenarnya saya menyebutnya martabak Belitung, sebab pada tahun 40-an dan saya sudah sangat suka membeli dan makan martabak itu di kota saya di Tanjungpandan Belitung. Sebuah martabak yang digumuli dengan mentega, lalu kacangtanah-halus, atau wijen, lalu coklat, dan penuh minyak mentega, atau gula kristal. Yang di Kelapa Gading harganya minta ampun sudah Rp 22000, tapi tak mungkin dimakan satu dua orang, besar sekali. Paling ideal di makan 4 orang atau 5 a 6 orang, barulah "sedap dan sedang dan nikmat". Sebab kue ini sangat manis, kalau agak kebanyakan lalu enek, nek, sama dengan makan panggangbebek-Peking, kalau kebanyakan rasanya nek.

Setiap daerah akan lain harga makanan itu. Martabak Bangka tadi itu harganya dari Rp 20000 sampai Rp 22000 di Kelapa Gading. Tetapi di Cibubur hanya Rp 2500, tentulah campuran dan adonan serta rasanya sangat berlainan. Dua cucu saya ketika di Bali hanya tertarik makan jagungrebus dan kacangrebus, ada baiknya, ini makanan rakyat dan murah.

Gado-gado yang dulu di Jalan Cemara yang sangat enak itu, sehingga harus pesan tempat dulu buat diambil pada jam sekian, sampai kini masih ada. Jadi sejarahnya juga 40 sampai 50 tahunan atau lebih. Gado-gado sebenarnya tidak sulit kalau hanya mau mempertahankan rasa. Yang sangat disukai orang adalah sausnya yang banyakan dan enakan. Enaknya gado-gado terpusat pada sausnya, barulah sudah itu campurannya, seperti ada emping, ada goreng bawang ,ada kerupuk bahkan terkadang ada goreng tempenya.

Orang Jakarta kalau pasal cari makan enak dan pertongkrongan begini memang jempolan. Dapat dikatakan berselera tinggi, dapat membedakan mana yang enak, mana yang sangat enak, mana yang sebaiknya tak usah makan di sanalah! Bagaiman cara makan yang cepatan, ringkas, praktis, tetapi juga adakalanya bagaimana mau makan yang khusus cari makan enak tok, yang khusus menikmatinya. Dan memang lain-lain rasa dan caranya. Kalau mau cari makan enak, lezat, lebih baik tak usah ke Bali!! Tapi akan lebih baik di Bandung atau yang paling baik tetap saja Jakarta!

Paris 20 Febr 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.