Bab 47
Bacaan-Ringan - Lima

Ketika di ruangan-bawah, lantai-dasar, yang merupakan ruangan-duduk, juga merangkap ruangan-makan dan tamu, biasa kami bercerita satu sama lain. Atau menanyakan tentang berbagai soal baik pelajaran anak-anak maupun pekerjaan-rumahnya dan juga pekerjaan kami, para orang-tuanya.

Ada yang menjadi keherananku, dan agak tidak biasa. Laura selalu menyatakan dia tidak suka akan matematik, wiskunde. Tetapi angkanya selalu baik, bagus. Dengan nilai D, kalau pakai angka biasa sekitar 90 atau 9, sebab nilai yang paling tinggi yalah E, yaitu 100 atau 10 atau exellent. Pada umumnya kalau seseorang sudah merasa tidak suka, maka sedikit banyaknya akan mempengaruhi hasil kerjanya. Jangan jauh-jauh, aku misalnya, tidak suka ilmupasti, matematik, karena itu angka matematikku jelek dan dalam rapor menjadi merah. Juga banyak temanku yang lainnya, bila tidak suka akan matapelajaran tertentu, maka hasilnya juga tidak akan baik. Nah, Laura lain lagi, tidak suka tapi angkanya baik dan bagus.

Ketika kami sedang membicarakan antara suka dan tidak suka ini, tiba-tiba Berry nyeletuk dan nimbrung.
"Berry suka matematik".
"Akh, Berry, tahu tidak apa itu matematik?"
"Berry tahu apa itu matematik", sambil dia menganggukkan kepalanya dan tampak yakin akan dirinya.
"Coba apa itu matematik?", kataku mau tahu apa jawabannya.
" Itu yang itung-itung itu. Twee plus twee is vier, yang begitu itu. Vijf plus vier is negen";
"Ya betul, pintar Berry, tapi tahu tidak apa itu negen bahasa Indonesianya?".
"Sembilan", katanya tidak ragu-ragu.
"Lalu bahasa Perancisnya?".
Dia mulai menghitung dengan komat-kamit di mulutnya.
"Neuf".
"Lalu bahasa Cinanya?". Dia komat-kamit lagi mulai menghitung dari satu dalam bahasa Cina.
"Ciu".
"Ya, betul. Pintar Berry", kataku memujinya. Semua kami tertawa, merasa lucu dengan si badung pintar ini. Kami selalu mengajarkan yang dia masih sanggup dan mau menghafal dan menyebutnya. Kami sesuaikan dengan kemauan dan kerelaannnya, apakah mau diajari dan mau mengulangnya.

Kata-kata yang sulit dan yang agak aneh kedengarannya malah lebih mudah dia menghafalkannya. Tadinya aku tidak sangka bahwa dia kok tahu apa itu matematik, apa itu otomatik, apa itu kata-kata los, los saja semua, dan apa pula dan bagaimana menyebutkan kata keheranan "oh my god, help me please". Dan semua kata-kata ini kami dengarkan langsung dari mulutnya, dan ucapan serta waktunya sangat pas buat diucapkan.

Tadinya kukira hanya kakaknya yang suka nguping dan nimbrung, tahu-tahu dia nyambung ketika pembicaraan kami sedang berlangsung. Dan ngupingnya serta nimbrungnya ini tepat waktu. Tapi kami tetap mengajarinya bahwa kebiasaan nguping dan nimbrung adalah tidak baik, apalagi ketika orang-tua atau orang dewasa lainnya sedang berbicara. Tidak baik mencampuri pembicaraan orang yang bukan urusan kita.

Laura ataupun Berry selalu memperhatikan gerak-gerik orang-tuanya maupun kakeknya atau opa-omanya. Dia akan meniru, maka sangatlah harus berhati-hati, apabila ada atau secara tak sengaja perbuatan kita itu meng-efek-kan negatif pada anak-anak. Mamanya selalu berdoa ketika sedang menghadapi meja-makan dan ketika mau mulai makan. Berry juga ikut berdoa, sambil menampungkan kedua tangannya di depan dada dan tunduk komat-kamit sama dengan mamanya. Dan begitu selesai berdoa, Berry sambil berkata mengakhiri dengan agak keras : " makan!". Ucapan itu serentak dengan ucapan mamanya yang agak terdengar nyata, tapi mamanya bukan mengucapkan kata " makan". Hal ini ditanyakan kepada Berry, mengapa ucapan makan itu keras dan kelihatannya ditekankan. Mamanya mengatakan, yang diucapkannya itu bukan kata makan, tetapi " amien ".

Maka baru tahulah Berry, bahwa ucapan terakhir itu adalah amin bukannya makan. Sejak itulah, Berry juga diajari berdoa ketika mau mulai makan. Dan Berry ketika makan bersama mamanya selalu duduk teratur dan khusuk berdoa yang isinya harapan-harapan dan kemauannya yang juga sesuai dengan anak-anak yang berumur tiga tahun. Sejak itulah pada akhir kata yang dulu agak keras dengan kata-kata "makan" sudah diubah menjadi "amin".

Aku mengerti sepenuhnya kalau dua anak-anak ini, dan apalagi kini sudah semua anak-anak dan cucuku pindah ke Holland, lengkap dua anak dan empat cucu di Holland, mengharapkanku agar bisa dan sedia pindah ke Holland. Yang empat orang para badung itu tentulah dari segi kangen, rindu dan mencintai kakek, mau berkumpul semua. Kali ini mereka menuntutku. "Kakek tidak bersama kami ketika Noel, Hari Natal, tidak bersama kami ketika Tahun Baru millenium itu, maka kami minta agar kakek datang pada hari Sinterklas, 5 desember itu " kata Laura yang diikuti tiga adik-adiknya, Angel, Celine dan Berry.

Dan aku yang "sangat lemah" terhadap kemauan cucu, harus cari uang lagi buat beli tiket yang tak murah itu, yang padahal keberadaanku di Holland hanya dua-tiga hari saja, sebab aku punya acara lain di Paris yang harus segera kembali lagi ke Paris. Ternyata cinta kepada cucu, mungkin lebih hebat lagi daripada cinta asmara ketika pacaran dengan neneknya dulu itu!

Banyak permintaanku dan harapanku kepada Laura dan adik-adiknya. Tetapi Laura juga selalu dan sangat menekankan agar aku jangan sampai ada pikiran mau masuk rumah-jompo, rumah-penampungan orang-tua yang tak ada lagi keluarganya. Yang dilihat dan dibacanya dalam berbagai koran, jurnal, cukup mengenaskan, menyedihkan. Hal ini karena anak-anaknya dan cucunya tak ada lagi yang mau mengurus kakek-nenek itu. Memang tidak semua panti-jompo jelek, ada yang enakan, karena mereka bayar dan mahal. Tapi kalau yang tidak punya, yang miskin, bagaimanapun tetap saja sengsara dan kurang diperdulikan. Kepedulian dan perhatian lebih banyak tergantung berapa kamu sanggup bayar, berapa kamu punya uang yang bisa diserahkan kepada kami setiap bulan! Jadi kepedulian dan perhatian, perawatan dan pemeliharaan tergantung kepada fulus, uang, duit!

Bagi orang miskin, pensiunan yang sangat kecil, masuk panti-jompo berarti memang hanya menunggu urusan pemanggilan terakhir dari Tuhan. Dan ini rupanya sangat ditakuti oleh Laura. "Kami, mama, papa dan kami semua dengan keluarga tante Wita, kan bisa mengurus kakek, apalagi kini tante Wita sudah dekat bersama kami, satu kota, bahkan satu jalan yang sama", begitu Laura meyakinku agar benar-benar membuangkan niat masuk panti-jompo kalau memang ada dalam pikiran. Terkadang aku juga membuat kesalahan yang bisa fatal akibatnya. Kalau aku sedang dongkol dan marah karena cucu-cucu, maka pernah kuucapkan,- "Sudahlah, kalau kalian begini, pada nggak nurut dan sangat tidak mendengarkan orang-tua dan kakek, lebih baiklah kakek masuk panti-jompo saja, biar di sana sendirian menghadapai dinding dengan kesepian yang menyedihkan". Kulihat wajah Laura agak murung, dan mereka kembali tenang dan reda setelah ada "ancaman" itu.

Tetapi kukira "ancaman" begini kalau sering-sering diucapkan menjadi inflasi! Tak ada daya kekuatannya lagi, tak berharga. Dan lagi main "ancaman" begitu sangat tidak pada tempatnya. Karena itu tak pernah lagi kuucapkan kata-kata itu. Tetapi aku tahu benar, Laura dan adik-adiknya sangat tidak akan bersenang hati sekiranya kakek mereka masuk panti-jompo, hanya menunggu akhir kehidupan dalam pengertian pernafasan, nyawa saja. Mereka selalu mengharapkanku agar selalu berada di tengah mereka. Tetapi sampai kini aku belum berpikir untuk pindah ke Holland. Pindah sangatlah tidak sederhana, tapi datang dan tiba, cukup menyenangkan dan mengesankan, termasuk tidak hanya ke Holland, juga ke kampunghalaman sendiri, tempat kelahiran sendiri, Nusantara.-

Paris 20 November 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.