Bab 42 :
Pulang? Pulang Ke mana?

Untuk menyingkatkan kata dan pengertian, kutuliskan saja kata Jakarta, buat Indonesia, Nusantara dan kampunghalaman, tapi maksudnya keseluruhan itulah. Kupikir-pikir selama aku selalu pulang ke Jakarta ini, apakah benar-benar pulang? Ternyata kalau dipikir dengan nalar yang jernih, sebenarnya bukan pulang tetapi datang. Datang ke Jakarta. Lalu apakah aku atau banyak yang menanyakan apakah kami tidak ingin pulang? Lebih dari 95 persen di antara kami sangat ingin pulang, benar-benar pulang, bukannya hanya datang. Bahkan banyak yang menginginkan buat mati di kampunghalaman sendiri. Kehendak begini samasekali wajar dan normal, manusiawi.

Seorang Kaisar, diktator besar saja, kepala-negara seperti Chiang Kai-shek bukan main inginnya mati dan berkubur di tanahairnya sendiri, Tiongkok daratan. Tetapi tidak kesampaian, dia berkubur di Taiwan. Juga Marcos, malah lama dikuburkan-sementara di Hawai, bukannya bisa langsung ke Filipina. Tentu saja tak ada secuilpun kesamaan antara kami dengan dua diktator itu. Mereka penguasa nomor wahid di negerinya, sedangkan kami puluhan tahun sebagai orang yang terpinggirkan, dikuasai, dikenai hukuman dengan undang-undang yang tidak kentara dan tidak secara cespleng langsung.

Kalau aku ketika sedang di Jakarta, sudah lebih dua minggu saja, yang kurasakan yalah, mau pulang, mau cepat pulang. Kalau kupikir lagi, lalu mau pulang ke mana? Mau pulang ke Paris! Apakah Paris dan Perancis menjadi tanahairku? Tidak, samasekali tidak. Tanahairku tetap Nusantara, bagaimanapun dan betapapun, dan aku tetap mencintainya. Lalu kenapa berpikiran begitu jadinya, kok, pulang saja harus atau mau ke Paris? Ya, tentu saja, kalau diriku setengah mati cintanya kepada tanahair, kampunghalaman, tetapi diriku tidak diterima, tidak diperdulikan dan tetap terus menerus dipinggirkan, diikuti, dibenci, ditakuti, dimusuhi, lalu apa enaknya aku berlama-lama di tengah kehidupan yang terus-menerus menyakiti diriku? Apa enaknya aku terus hidup di situ itu? Betul, betapa kangennya aku kepada banyak teman, banyak sahabat, banyak keluarga, betapa rindunya aku kepada mereka. Tetapi undang-undang yang dulu itu, yang meminggirkan kami dulu itu tetap saja terpancang erat dan tak pernah dicabut. Lha, tentu saja ada perasaan tidak enak, tidak sah, tidak mendapat tempat, tidak tercatat.

Ketika aku pulang ke kampunghalamanku, tempat kelahiranku di Belitung, tak seorangpun yang berani menawariku buat menginap di rumahnya, termasuk keluarga dan teman-temanku. Dan aku sangat mengerti dan memahaminya, mereka bukanlah membenci kami, tapi sangat kuatir akan keselamatan diri mereka. Bisa-bisa mereka akan kehilangan pekerjaan, kehilangan kemerdekaan, kehilangan matapencaharian, disebabkan hanya mengenal dan berbaik-baik dengan kami. Semua keadaan ini kami mengerti sepenuhnya, dan tak secuilpun rasa dendam ada pada kami. Tetapi rasa-sedih, rasa-malu, rasa-terpinggirkan ya tetap saja ada. Aku bersama cucuku yang berumur 10 tahun ketika itu, terpaksa menginap di sebuah hotel yang ada di kampunghalamanku sendiri! Betapa menyedihkannya! Tak diterima di kampunghalaman dan tempat kelahiran sendiri, bukankah cukup tragis?

Tapi itu dulu, jauh sebelum reformasi. Katanya sekarang ini sudah tentu sudah berlainan sangat.

Sampai di manakah kecintaanku akan Paris dan Perancis? Sebenarnya sudah banyak kutuliskan, aku mencintai Paris dan Perancis bukan karena memang ada dan timbul rasa cinta yang sejak dulu, bukan! Tetapi melalui proses perkembangan, sebagaimana halnya hal-ihwal pada manusia. Paris dan Perancis adalah tanah orang-orang yang terpinggirkan. Betapa banyak kami berkumpul di Perancis dari berbagai negeri, seperti Asia, Vietnam, Laos, Kampuchea, Srilangka, India, dan Afrika, Senegal, Botswana, dan bahkan dari Eropa sendiri seperti Russia, Polandia, Rumania, dan kosovo, Albania, dan sangat banyak lagi. Orang-orang ini adalah banyak kesamaan nasibnya dengan kami : sama-sama terpinggirkan, sama-sama terusir, sama-sama marginal dalam segala hal! Jadi menyatu sebagai orang-orang perantaian yang tanpa belenggu, orang-orang terpenjara tanpa gedung penjaranya. Dan Paris serta Perancis memang benar-benar tanah perlindungan buat kaum terpinggirkan, yang terusir dari negerinya masing-masing. Di sini kami merasakan menjadi manusia, dimanusiakan, diorangkan. Menikmati demokrasi dan undang-undang serta hukum yang berlaku bagi siapa saja, tak mengenal derajat-pangkat.

Dulu, semoga kini berubah sudah,- cukup banyak aku menulis surat dan mengirimkan tulisan, buku-bukuku yang kami terbitkan sendiri, mengirimkan salam perkenalan dan persahabatan serta kekeluargaan kepada banyak teman, banyak penerbitan dan persuratkabaran dan majalah dan banyak orang. Tetapi ketika itu tak serambutpun berjawab, bagaikan batu jatuh ke lubuk, hilang tanpa bekas, tidak diperdulikan. Mengirimkan karangan, tulisan, buku-buku, tak satupun berjawab, tak satupun mendapat perhatian. Tetapi okey-lah, mungkin orang-orang itu masih kuatir dan segan berhubungan dengan kami, karena ketika itu belum ada reformasi, masih dalam kekuasaan-lama yang usang. Dan inipun kuanggap hasil yang sangat luarbiasa hebatnya dari rezim penguasa presiden dua dan tiga yang lalu. Bukan main hebatnya hasil penanaman rasa-ketakutan kepada banyak orang, sampai kinipun tetap membekas dan cukup lama barulah akan hilangnya.

Sebenarnya yang aku mau yang kami mau bukanlah kami datang ke Jakarta, tapi kami maunya pulang! Bukan sebagai turis dan sekedar kangen-kangenan, sekedar melepas kerinduan, tetapi benar-benar pulang. Tapi belum ada undang-undangnya buat membebaskan kepulangan kami. Yang ada itu baru taraf kami bisa datang tapi samasekali bukannya pulang. Dan itulah jadinya, Mau Pulang, lalu Pulang Ke mana? Sementara ini tentulah pulang ke masing-masing negeri yang memberi perlindungan, dan entah akan berapa lama, hanya pemerintahan yang sekarang inilah yang dapat menentukan bisa pulang tidaknya,-

Paris 12 November 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.