Bab 35 :
Nama dan Kenyataan

Banyak nama yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak usah jauh-jauh. Namaku ada dalam Al-Quran, artinya sabar, kenyataannya sebaliknya, akulah orang yang tidak mampu mengemban nama menjadi kenyataan, karena aku bukanlah orang yang sabar. Dan banyak contoh lagi, tidak usahlah kusebut karena menyangkut orang lain.

Sebaliknya ada nama yang sangat cocok dan serasi dengan kenyataan. Nah, ini yang mau kuceritakan. Namanya Untung, kusebut Mas Untung walaupun dia jauh lebih muda dariku. Nama isterinya Dewi, juga sesuai dengan nama itu, dia betul-betul dewi bagi Mas Untung. Kami berkenalan ketika di udara di dalam pesawat-terbang menuju Jakarta dari Amsterdam. Anaknya dua, semua wanita seperti aku juga. Manis-manis dan lucu, umurnya empat dan enam tahun. Ketika kami bersalaman dan Mas Untung bercerita bahwa dia bekerja di resto di Tilburg, Alphen di Noord Braban, selatan Holland, maka kelakar kami semakin asyik, sebab aku juga "orang resto". Dan dia tampaknya sangat senang sebagaimana aku juga begitu, sama-sama "orang resto". Dan dia baru tahu bahwa di Paris ada resto Indonesia. Tapi aku samasekali tak heran kalau di Tilburg ada resto Indonesia, sebab Holland itu sudah bagaikan "kampung melayu". Di mana-mana ada orang Indonesia, di mana-mana ada resto Indonesia. Di mana dan ke mana saja kita melangkah akan bertemu dengan orang dari Indonesia, mendengar percakapan bahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawa!

Mas Untung sekeluarga sedang berlibur ke Indonesia. Dia bekerja di resto Indonesia yang bernama Resto BUNGA MELATI. Setengah tahun sesudah perkenalan kami ini, tepatnya Tahun-Baru tanggal 1 bulan 1 tahun 1999, kami menuju dan beranjangsono ke Tilburg, Holland Selatan. Ternyata terlalu banyak yang belum diceritakan Mas Untung. Misalnya Resto BUNGA MELATI itu ada dua. Melati Satu dan Melati Dua, dan Chef-Kok-nya hanya Mas Untung sendiri. Tamu resto itu bukan main ramai dan melimpahnya. Deretan mobil yang parking di kompleks resto itu belasan sampai puluhan. Semua pemilik dan teman serta keluarganya makan di resto Mas Untung. Katanya diambil rata-rata, pelanggan yang makan setiap hari, antara 150 sd 200 orang. Pernah terjadi sampai 300 orang. Bandingkan dengan resto kami di Paris, baru pelanggan datang sehari dan itupun pada hari Sabtu, week-end sebanyak 130 orang saja sudah bukan main bangga dan senangnya hati kami. Jadi jangan bandingkan antara resto kami dengan resto Mas Untung itu, seperti kerikil dan bebatuan-gunung!

Bagaimana asal-mula Mas Untung "terdampar" di Holland Selatan itu? Dulu tigabelas tahun yang lalu, Mas Untung jadi guru perhotelan dan resto di Pakan Baru. Dan juga jadi chef-kok di sebuah resto di Pakan Baru. Seorang turis Belanda yang juga punya hotel dan resto di Tilburg, pernah makan dan menginap di hotel di mana Mas Untung bekerja di Pakan Baru. Dan Belanda, Tuan Meijer ini sangat tertarik dengan masakan Mas Untung, dan setelah dia menemui Mas Untung dan bicara-bicara, ngobrol ngalor-ngidul, berjanji akan selalu bertemu. Tuan Meijer sangat tertarik kepada pribadi Mas Untung, masakannya sangat enak, sesuai dengan selera yang dicita-citakan Tuan Meijer, dan orangnya sesuai dengan apa yang dicita-citakan Tuan Meijer buat bekerjasama dengannya. Akhir kata, Tuan Meijer berjanji akan "memboyong" Mas Untung buat menangani restonya di Tilburg. Berjanji akan sangat "menguntungkan Mas Untung". Tapi ada kesulitan kecil, bahwa Mas Untung masih dalam kontrak-kerja. " Tak apa" kata Meijer, kita tunggu, tokh hanya tinggal beberapa bulan saja.

Tuan Meijer barangkali seperti peribahasa kita dulu itu, bagaikan mendapat durian jatuh, matang di pohon, sangat senangnya. Pada waktunya Mas Untung memang diboyong, dan semua janji dipenuhi. Setelah setahun dua tahun, dan resto berjalan dengan mulus dan sangat laku, Mas Untung mengajukan permintaan buat liburan ke Pakan Baru, memenuhi janji pribadinya, memperisteri seorang gadis cantik yang dulu pernah jadi muridnya di sekolah perhotelan dan restoran, Dewi. Betul-betul Tuan Meijer itu sangat menyayangi dan mempercayai Mas Untung, bisa saja mau berapa hari, tapi asalkan dia ikut "menemani". Keikutan ini ada dua hal, mau benar-benar menyayangi dan bersimpati, membantu, ikut merayakan, atau karena kuatir kalau-kalau Mas Untung "minggat" lalu tak kembali lagi ke resto Bunga Melati yang sedang sangat laku karena "tangan-dingin" Mas Untung.

Tetapi ketika proses-mula sampai akhir upacara pesta pernikahan itu, benar-benar Tuan Meijer ikut dan aktif memberikan sokongan moril-materil. Jadi Tuan Meijer sudah bagaikan komunitas keluarga Mas Untung saja layaknya. Dan Tuan Meijer diterima oleh seluruh keluarga kedua belah pihak, baik Mas Untung maupun keluarga Dewi. Dan upacara itupun selesai dengan mulus dan sangat banyak mendapat perhatian. Keluarga Mas Untung menetap di Tilburg dan mengelola dua resto BUNGA MELATI, sampai kini sudah belasan tahun. Resto ini sangat laku, dan pelanggannya berdatangan dari daerah lain dan kota-kota lainnya sekitar Braban Utara itu. Bahkan ada yang berdatangan dari Belgique dekat perbatasan Holland Selatan. Lebih dari itu tidak jarang Mas Untung harus menyelesaikan pesanan katering, nasi bungkus yang terkadang sampai 1500 bungkus! Artinya buat makanan sejumah 1500 orang, dibawa menggunakan camion, truk kecil.

Kalau kami datang mengunjungi keluarga Mas Untung, bukan main mereka senangnya, karena sangat jarang orang Indonesia berdiam di daerah ini. Ini daerah perbatasan Holland-Belgique, sangat terpencil dari masarakat Indonesia, tetapi samasekali bukanlah daerah mati. Seperti kebiasaan di mana-mana, daerah dekat perbatasan selalu ramai dan lalulintas selalu sibuk padat. Yang kukatakan sepi itu adalah dari masarakat Indonesia, boleh dikatakan tak ada masarakat Indonesia di daerah ini, atau sangat-sangat jarang. Tetapi pasal dan perkara orang makan, orang Belanda itu sangat tergila-gila akan masakan Indonesia! Karena itu kalau ada orang Belanda makan di resto kami di Paris, kami sudah pasang kuda-kuda dalam hati, sebab mereka sangat tahu dan menguasai rasa masakan Indonesia. Sedangkan pelanggan kami yang mayoritasnya orang Prancis, tak begitu perduli dengan rasa asli atau tidaknya, yang penting enak! Jadi, nah ini lucunya, bila ada tamu Belanda, kami lalu agak ada rasa dag-dig-dug dalam hati, kuatir dan sedikit cemas, bagaikan ada guru sedang mengawasi murid,- tapi ini dulu, lho, sekarang sih nggak lagi!

Ketika kami ngobrol agak santai, terceruak juga perasaan Mas Untung. Bekerja cara begini, memang sangat capek dan melelahkan. Habis waktu, habis tenaga, kurang dengan keluarga, padahal keuangan tidak juga bertambah kaya. Yang kaya selalu majikan, pemilik resto, Tuan Meijer. Ada terbersit bagaimana kalau kita atau kami mendirikan resto lain. Soal tukang-masak, chef-kok, ada Mas Untung yang keakhliannya, diplomanya, sah dan resmi dan sudah didukung oleh pengalamannya selama belasan tahun ini. Agak berpikir panjang juga aku dibuatnya oleh masukan ide barunya ini. Tetapi sungguh pandai dan cerdik Tuan Meijer itu. Dalam kontrak-kerja ada dituliskan, kalau Mas Untung mau membuka resto sendiri, haruslah jauh jaraknya dengan resto kepunyaan Tuan Meijer, paling sedikit 50 km jaraknya! Soal jarak beginipun masih disebut-sebut dalam kontrak, keterlaluan, tetapi inilah hukum,inilah undang-undang dan peraturan yang harus ditaati. Kalau tidak, hukuman dan pengadilan sudah menganga buat melahap si pelanggar!

Jadi kalau mau buka resto harus di kota lain yang jauhnya lebih dari 50 km, tapi itupun tak soal. Yang sangat soal yalah : dananya, uangnya, modalnya! Lalu tenaganya, tenaga kerjanya. Mencari tenaga kerja memang mudah, tetapi mencari dan mendapatkan tenaga kerja yang benar-benar bisa dipercayai dan diandalkan, bukan main sulitnya. Buktinya kami hadapi dalam kehidupan "ber-resto" selama belasan tahun ini, bersama Mas Untung. Dalam kartu nama Mas Untung tertera nama : UNTUNG - GUUS GELUK, artinya serba untung, gelukkig, beruntung. Dan memang Mas Untung itu sangat beruntung, isterinya Dewi, betul-betul Dewi yang sangat setia mendampingi Mas Untung, yang selalu tertawa, senyum, terbuka dan sangat ramah tamah. Kukira yang tak kurang beruntungya yalah Tuan Meijer, pemilik dua resto BUNGA MELATI itu dan kudengar kabar akan membuka lagi cabang lainnya, artinya akan ada tiga resto. Tuan Meijer mungkin lebih beruntung dari Mas Untung sendiri. Aku yang punya pikiran rasa kasihan pada keluarga Mas Untung, selalu "menghasut" agar minta naikkan gaji! Karena dari kerja mati-matian ini, capek-lelah-kepleh, dan kurang waktu buat menyirami pepohonan-keluarga beruntung ini, sudah semestinya punya hak minta naikkan gaji, minta fasilitas ini itu. Pemasukan keuangan buat Tuan Maijer luarbiasa, tetapi tambahan kerja ekstra Mas Untung juga luarbiasa banyaknya, sangat tak sesuai dengan gajinya yang menghasilkan pemasukan keuangan buat Tuan Meijer bagaikan sumber air yang mengalir sangat derasnya. Terkadang ada rasa sangat sayang bercampur geram pada Mas Untung teman akrabku ini, mbok berani mengajukan permintaan yang memang sewajarnya, yang sudah menjadi haknya!

Tuan Meijer baik sih baik kepada Mas Untung, tetapi dibanding pemasukan keuangan pemilik tiga resto itu dengan tenaga kerja Mas Untung yang "sudah diperas" begitu rupa, sekarang tinggal kepada Mas Untung untuk tetap beruntung punya majikan dan gantungan seperti itu. Namun demikian Mas Untung masih tetap dalam orbit dan kategori itu tadi, Mas Untung masih tetap dalam keadaan beruntung, tetapi capek-lelah-kepleh dan loyonya, harus dibawah keberuntungannya.-

Paris 6 Oktober 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.