Bab 17 :
Mengintip

Mengintip itu enak, mengintip itu nikmat. Dilakukan sekali mau dua kali, nyandu, sungguh! Dulu ketika umur kami sudah belasan tahun, temanku Karim, Harun dan aku tinggal di Kebayoran blok Q tak jauh dari Pasar Santa. Yang jalannya selalu dimulai dengan Ci, seperti Cikatomas, Ciranjang, Ciujung, Cipayung dan lainnya. Bila malam menjelang agak sepi, ada seorang yang kami perhatikan, karena gerak-geriknya mencurigakan. Kami ikuti ke mana dia pergi. Sepertinya selalu sibuk mendekati rumah orang, lalu mendekatkan kepalanya ke arah dinding. Ketika itu rumah-rumah yang jadi sasarannya adalah rumah-rumah yang berdinding papan atau kayu, bukannya rumah gedung yang mentereng. Tentu saja, perumahan mentereng gedongan selalu ada peliharaan anjingnya. Dan anjing adalah musuh para pengintip dan para maling. Setelah kami berdua dengan Karim mengikuti gerak-gerik orang itu hampir setiap malam, maka tahulah kami apa yang dikerjakannya begitu asyik! Ternyata orang itu hanya mau mengintip orang yang ada dalam rumah tertentu, sedang mengapa mereka.

Suatu waktu orang ini kami dekati dan kami tanya baik-baik.
"Pak, setiap malam begini ini, apa nggak capek dan bosan?".
"Akh sudah memang kerjaannya sih, mau apa lagilah. Lagian kerjaan begini memang kesukaan saya sejak dulu", katanya sangat enteng.
"Sebetulnya kalau kami boleh tahu, apa sih yang Bapak cari dan initipin?".
"Akh, biasalah, kadang asyik juga kalau orang rumahnya sedang main, kadang ya asal bisa ngintip saja.Walau mereka dalam keadaan biasa saja, tidak melakukan tugas suami-isteri, asal kita bisa melihat mereka dan mereka tidak tahu bahwa kita ngintipin mereka, sudah puaslah saya".
"Lalu apa bapak setiap malam begini ini?"
"Kalau tidak ada kerjaan lain, ya kerjaan ngeliatan begini ini asyik bangat. Barangkali sudah suratannya begitu Pak, saya terima sajalah apa yang menimpa saya", katanya mengaku terusterang.

Jadi memang pekerjaan ngintip itu sudah sangat menyenangkan dirinya. Setiap malam, dan gilanya lagi, kalaupun hari hujan, dia membawa payung mencari sasaran rumah intipannya! Dengan berpayung dia mengelilingi perumahan sekitar blok Q Pasar Santa itu, mencari sasaran pengintipannya. Orang ini pada akhirnya kami tahu benar, dia bukanlah orang jahat, bukanlah maling dan mau mencuri. Tetapi mungkin sejenis sakit jiwa. Sehari saja tidak mengintip, dia akan sangat resah dan gelisah. Ini kami ketahui setelah lama mengikutinya dan "berkawan" dengannya. Tetapi "perkawanan dan pertemanan" ini akhirnya kami akhiri pada suatu hari. Sebab kukatakan pada temanku Karim, memang pada mulanya kami sangat asyik mengikuti jejak Pak Ukur ini,- demikian namanya. Mulanya kami yang mengintip Pak Ukur. Dan kami sendiri hampir setiap malam mencari dan mengikuti Pak Ukur ini. Dan bila Pak Ukur mendapatkan sasaran intipannya, kami lebih asyik lagi melihat dan menyaksikan tingkah-pulahnya. Dia tahu kami mengintip dan mengikuti dirinya, tapi dia tidak perduli. Dia anggap kami tidak akan mengganggu kesenangannya. Bahkan kami bisa berbicara berbincang dengan bebas dan sangat menarik mendengar cerita hasil intipannya.

Nah, kukatakan pada temanku Karim.
"Hampir setiap malam kita mengintip Pak Ukur dan mengikutinya. Asyik juga, dan lebih asyik lagi kalau kebetulan Pak Ukur sedang menikmati hasil intipannya, di mana tuan-rumah sedang ligat main. Dan kita berbias menikmati Pak Ukur. Jadi kita sebenarnya sudah kejangkitan suatu penyakit baru. Mengintip dan mengikuti seorang yang gila mengintip! Jadi sebenarnya kita inilah yang juga berpenyakit gila mengintip orang mengintip. Jadi bukankah sama saja hakekatnya?! Apa tidak begitu?", kataku pada suatu hari.
Kami pada akhirnya "mengurangi" dulu penyakit kami, lama-lama barulah bisa mengakhirinya. Tetapi karena sudah kadung kenal dan berkawan dengan Pak Ukur, suatu malam ketemu Pak Ukur, dan dia menanyakan kami.
"Kok lama nggak kelihatan Pak? Ke mana aja selama ini? Saya lihat-lihat kok nggak ada, yang biasanya hampir tiap malam ketemu", katanya mau tahu.
"Akh, banyak urusan macam-macamlah Pak", kata Karim temanku. Dan hampir saja kami punya penyakit jiwa yang tidak enteng, menghabiskan waktu tak keruan. Yang pada mula dan asalnya mengintip orang yang suka mengintip, tahu-tahu diri sendiri ketularan penyakit yang dobbel!

Apakah kebiasaan ini ada pengaruhnya dengan dulu ketika kami masih agak bocah, ketika umur sepuluh sampai duabelas tahun? Ketika itu bila di kampung kami akan ada kondangan, perhelatan, misalnya akan ada pesta pernikahan, selalu ramai seluruh rumah keluarga yang akan mengadakan pesta itu. Dan kami anak-anak tanggung sehabis mengaji di surau, dengan beberapa teman kami, pergi mengintip! Dan kepala anak-anak ketika itu adalah Jamal. Jamal orangnya kurus, tetapi berani berkelahi, dan kami selalu jadi sasaran pukulan dan bentakannya. Jamal yang ini kami namai Jamal Bengek. Kenapa? Karena nama Jamal cukup banyak di kampung kami. Ada Jamal Gendut, ada Jamal Pincang, dan yang ini Jamal Bengek, karena mengidap penyakit bengek, asma. Dan kalau sedang kambuh, bunyi nafasnya kedengaran belasan meter jauhnya, seperti orang menggesek biola yang baru belajar! Dan karena penyakit inilah kami punya rasa takut dengan penyakitnya itu. Tidak berani dekat-dekat, geli dan dia itu agak bau, ada sedikit congekan, bau telinganya itu!

Tetapi Jamal terkadang menyenangkan, pandai mengorganisasi, dan juga pandai dan berwibawa kalau menghardik dan membentak kami. Memang dia tertua dan terbesar di antara kami. Suatu kali kami berlima atau berenam pergi mengintip di rumah seorang keluarga Jamal yang akan mengadakan pesta pernikahan. Seperti kebiasaan rata-rata rumah di kampung kami, selalu berlantaikan papan dan selalu ada sela-sela lobang yang berjarak beberapa sentimeter. Sehingga ada lobang buat melihat, mengintip dari bawah rumah itu. Karena rumah panggung, jadi ada ruangan luas buat setengah berdiri di bawah rumah itu, dan kami mengintip dengan bebasnya. Di kampung kami ketika itu, mana pula kaum wanita dan para gadis yang pakai slip! Ini kan tahun 40-an. Ketika itu tahun 1942. Kami mengintip orang sedang asyik masak-masak, menumbuk bumbu, sibuk bekerja. Ada yang sedang menggoreng, ada yang sedang memotong ayam, sayuran, mencuci piring, dan seperti biasanya rumah panggung, langsung saja air bekas cucian piring atau segala perabotan-masak seperti kuali, panci, dandang, langsung saja dibuang ke bawah di sela-sela lobang antara papan itu. Maka menjeritlah teman kami, karena matanya tersiram air agak panas dan pedas itu.

Lalu Jamal akan sangat marah, dan mengancam akan memukulnya, sebab kalau ketahuan orang di atas, mereka akan memarahi kami semua. Dan para keluarga kami tentu akan mencari kami. Untunglah ketika itu orang di atas tidak mendengarkan jeritan Masri teman kami itu. Dan kami kembali asyik mencari sasaran intipan. Banyak para gadis yang umurnya di atas umur kami, mungkin bisa disebutkan perawan tingting ketika itu. Dan kami agak curiga pada Jamal, sebab dia selalu terpaku pada satu titik, tidak bergerak dari tempat berdirinya. Sedangkan kami ke mana-mana mencari sasaran lainnya, dan Jamal tak pindah-pindah tempat, di situ terus. Tetapi ketika kami mau mendekatinya, lalu segera dia sangat marah dan mengusir kami.
"Sana jangan sini. Awas kalau dekat kupukul! Pergi menjauh, sana!", katanya dengan kasar dan mengancam.
"Lalu kenapa rupanya", kata kami.
"Ini, yang di atas ini, adalah kakakku, tak pula pakai celana dalam lagi. Kalian tidak boleh ke sini, awas, kalau ke sini kupukul", ancam Jamal.
Maka tahulah kami mengapa Jamal tak bergerak dan tak pindah-pindah itu. Rupanya dia menjaga dan menjadi pengawal kakaknya yang tak berslip itu. Kami mau ketawa tapi tertahan-tahan karena ancamannya sambil dia memgang sepotong kayu agak besar. Kalau terkena pada orang lain boleh-boleh saja, kalau terkena pada keluarga sendiri samasekali tak boleh, inilah rahasia yang samasekali bukan rahasia!

Paris 13 Mei 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.