Bab 147 :
Untung Aku Jadi Orang Kampung,- Bagian Empat,- habis

Ada pemeo di kalangan kami orang-orang kampung. Terutama mengenai kehidupan dari segi ekonomis, berkecukupan atau tidak berkecukupan. Sering dikatakan bagi seseorang yang hidup sederhana, segala sesuatu keperluan dan kebutuhan hidup, selalu saja : "bila sedikit cukup, bila banyak ya habis",- Ini menandakan bahwa kehidupan itu sendiri bisa mengatur seakan-akan otomatis ya begitu itu, maksudnya bagaimanapun ya dicukup-cukupkanlah, sebab kalau banyak dan berlebihpun tokh akan habis juga pada akhirnya. Hidup ini anggaplah tenang-tenang saja. Mau makan, tokh akan selalu ada makanan, asalkan dirikita cukup usaha buat itu semua. Akan selalu ada-ada saja jalan. Sepertinya begitulah kehidupan kami orang-orang kampung, dijalani atau terjalani juga secara apa adanya. Semuanya disediakan alam ini, dan kita sebagai manusia harus aktive dan bergiat mengolah semua yang disediakan alam ini.

Secara kehidupan, yang paling mendasar adalah soal kebutuhan pokok : makan, sebagai keperluan sehari-hari yang mutlak dijalani. Rasanya selama ini kehidupan kami terpenuhi kalau hanya soal makan, dalam pengertian bisa makan tiga kali sehari. Hal ini baik ketika ditinggalkan ayah pergi ke tanah Jawa karena dia dikejar-kejar kekuasaan Belanda dulu itu, maupun sebelumnya ketika kekuasaan pemerintah Jepang. Kehidupan kami ketika itu biasa-biasa saja, bisa makan tiga kali sehari. Seluruh penduduk Belitung boleh dikatakan tidak ada yang mati kelaparan ketika pemerintah Jepang sedang berkuasa-kuasanya. Tetapi dari segi pakaian, memang sudah ada yang mengenakan kain kasar ataupun malah kain dasarnya bekas karung goni. Namun bila dibandingkan dengan penduduk di tanah Jawa, penduduk Belitung jauh lebih baik keadaannya. Keadaan kehidupannya bukanlah berarti kaya atau makmur, tetapi dengan istilah jujurnya : bisa hidup sederhana, tak ada dengan soal kelaparan. Bahwa ketika masa Jepang orang-orang sudah banyak yang makan singkong, gaplek, atau mengurangi nasi,- itu betul. Tapi tetap saja bisa hidup sederhana atau sangat sederhana.

Begitupan ketika perubahan zaman ke transisi, zaman kemerdekaan, setelah Agustus 45, kehidupan kami, termasuk banyak penduduk Belitung lainnya, tak dapat dikatakan lalu sengsara. Biasa-biasa saja, dijalani dan terjalani sebagaimana adanya saja. Bagi kami, maksudnya bagi kebanyakan penduduk Belitung, asal ada bahan pokok utamanya saja : beras, bereslah sudah! Soal lauk-pauk sudah ada disediakan alam. Asal ada beras, artinya bakal akan ada nasi. Ada nasi haruslah ada laukpauk buat makannya. Ini soal sangat gampang.

Petik saja daun-daunan, sayuran yang tumbuh disepanjang pagar rumah atau sedikit pergi ke belakang rumah. Di sana ada semak-semak, hutan kecil, penuh dengan tetumbuhan yang bisa dimakan. Segala pucuk, dedaunan muda banyak sekali yang bisa dimakan dan disayur, dilalap. Semua ini kami jalani sepanjang kehidupan kami di Belitung. Pucuk muda dedaunan jambu mete, atau jambu-monyet, dijadikan lalap, bukan main enaknya. Lalu pucuk dedaunan pakis yang di mana saja tumbuh itu, digulai dengan sedikit ikan, enak sekali. Dan betapa banyaknya tumbuh pohon-pohon melinjo. Dedaunan mudanya sangat enak disayur. Jenis kacang-kacangan seperti kacang panjang, kacang hijau, kacang ercis, banyak terdapat di mana-mana. Dan bisa disayur, ditumis, digulai, dan semua itu bahan makanan yang cukup sehat dari segi vitamin, mineral.

Mau makan ikan, kerang, hasil laut lainnya? Pergilah ke pantai atau muara sungai yang selalu ada di Belitung. Kita bisa menangguk ikan, udang, dan mencari berjenis kerang, yang banyak jumlahnya dan terdapat di mana-mana. Aku sering bersama orang-orang muda maupun nelayan tradisional lainnya, sering pergi menyuluh. Arti kata dasarnya suluh. Suluh yalah lampu dari sumbu yang disumbatkan ke sebuah batang bambu. Dengan suluh itu kita dapat mencari kepiting, dan berjenis hasil laut lainnya. Pergi ketika laut pasang-surut. Di sana akan terdapat banyak kepiting. Dengan bersenjatakan dan menggunakan sebuah tombak yang sedang-sedang buat menombak kepiting, yang biasanya kalau kami, dibuat dari jari-jari sepeda yang diruncingkan dan dibuat bertangkai dengan kayu sekira dua meter lebih. Lalu mencari kepiting, Banyak kepiting yang pada berlarian dalam pasir putih, dan membenamkan dirinya ke dalam pasir. Kita tinggal membidiknya saja dan menombaknya. Lalu mengambilnya dengan tangan yang harus sedikit berhati-hati agar jangan disepit supitnya. Ada lagi cara kami yang lain. Ketika kepiting itu membenamkan diri, injak pelan-pelan dan hati-hati. Lalu dari arah belakangnya kita ambil dengan tangan, tanpa melukainya tanpa menombaknya. Sebab kalau sudah ditombak, kepiting itu luka dan tembus, lalu dagingnya tidak seenak yang masih utuh, tidak bercacat. Terkadang kami juga sering-sering dapat berjenis ikan, dan juga kerang. Hasilnya sangat lumayan. Dan ini semua bukannya buat dijual, ini betulbetul buat keperluan sendiri, buat makan sehari-hari. Kalau kita mau dan bersedia, memberikan hasil ini kepada tetangga-tetangga dan keluarga kita yang membutuhkan.

Ketika itu begitu gampang penduduk Belitung buat hidup dan menjalani kehidupannya masing-masing. Ini terjadi dan teralami oleh kebanyakan penduduk Belitung antara tahun-tahun 40-an sampai 50-an. Sesudah itu aku samasekali sudah tidak tahu lagi dan tidak berhubungan lagi. Pulau kecil yang bagaikan sedikit bersegi empat kalau di dalam petanya itu, berpenduduk ketika itu hanya 80.000 orang saja. Dan kami penduduk Belitung, mungkin karena kecilnya itu, maka alamnyapun dapat kami jalani dan kami kenali serta kami gauli sebagai teman yang sangat akrab. Hutannya, sungainya dan pantainya, dan lautnya, kami kenali dan sangat baik kepada kami. Dia selalu menyediakan makanan buat kami, tidak pernah kami merasa tidak bisa makan karena tidak ada sayuran, tidak ada ikan, udang dan kerang. Pokoknya sediakan dulu berasnya, soal laukpauk banyak disediakan alam Belitung yang sangat baik kepada kami penduduk yang mendiaminya, yang saling mencintai antara kami dengan alam sekitarnya. Soal Gunung? Di Belitung hanya ada dua buah gunung, dan lertaknyapun aneh sekali. Berdekatan, seakan berdempetan. Oleh penduduk dinamai Gunung Tajam Laki dan Gunung Tajam Bini. Dan tidak pula sangat tinggi. Tingginya hampir 500 meter dari permukaan laut. Barangkali kalau di tanah Jawa dan Sumatera, hanya dianggap bukit saja! Tapi bagi kami, dua buah gunung itu bagaimanapun tidak tingginya, tetaplah dua sejoli itu adalah gunung dan mereka berdua kami namai Gunung Tajam Laki dan Gunung Tajam Bini. Bisa terlihat dari kejauhan, dari laut, dari kapal yang sedang berlabuh. Demikianlah aku sebagai anak dan orang kampung, telah bergaul seadanya dengan alam Belitung yang sangat kucintai, yang begitu dicintai penduduknya, karena telah begitu banyak memberikan kehidupan kepada kami.

Alam begitu baik kepada manusia, dan manusia sewajarnyalah juga berbaik budi dan berbaik hati kepada alam. Kalau mengambil sesuatu dari alam itu, ambillah seperlunya, jangan sampai mubazir, dan jangan sampai dapat dikatakan mengeduk dan menguras alam buat kepentingan diri sendiri dan menumpuk kekayaan hartabenda. Semua ini ketika dulu itu tak ada dan tak secuilpun terniat pada kami penduduk Belitung. Kami, manusia dan alam saling mengasuh, saling memberikan, dan menerimakan. Betapa akan bahagianya sekiranya di dunia ini antara alam dan manusia saling memperhatikan, saling tahu diri dan saling memelihara, saling menyeimbangi,-

Almere - HOLLAND 15 Agustus 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.