Bab 144 :
Untung Aku Jadi Orang Kampung,- Bagian Satu

Karena pekerjaan orangtua sebagai mantri Kehutanan, Boschewezen, maka kami sering-sering pindah tempat dan pindah rumah. Cirinya selalu dekat hutan. Terkadang juga tak jauh dari sungai, pantai dan laut. Karena itu aku merasa bahwa aku adalah anak kampung, anak sungai dan anak pantai. Sebab sekitar situlah ketika kecilku terpusatnya ketika bermain-main dengan teman sebaya. Karena berdiam sekitar kampung, sungai dan pantai, maka semua pengenalan menjadi akrab dengan lingkungan alam. Ketika kecilku masih di SD Belanda yang namanya HIS, Hollandse Indische School, kami tinggal di Air Raya, pinggir hutan. Letaknya 7 km dari kota tempatku bersekolah. Dan kami pergi bersekolah sering jalan kaki. Harus bangun pada sebelum jam 06.00, dan lalu berangkat pada jam 06.20 dan paling lambat pada jam 06.30. Sebab lonceng pertama berbunyi pada jam 07.30. Jalan kaki dengan agak berlari-lari kecil sepanjang hampir 7 km itu harus ditempuh dalam 1 jam sekian menit.

Dulu ketika kecil, bisa saja berjalan cepat sambil lari-lari kecil, ketika berumur 6 tahun. Tetapi setelah 60 tahun kemudian, sekarang ini paling cepat bisa berjalan 4 km dalam satu jam, bedanya jauh rupanya karena beda umur juga sebanyak 60 tahun! Ini karena aku menggunakan pedoman peribahasa Belanda, bagaikan gerobak tua, biarpun berbunyi kereot-kereot karena usang dan kurang minyak, namun akhirnya sampai jua. Biar pelan tapi pada akhirnya harus sampai dan sampai.

Ketika sudah jauh dewasa, sudah mulai mencari kehidupan sendiri, dengan mengajar di berbagai SMA di Jakarta, seperti di THHK, Tjung Hua Hui Koan di Blandongan Kota dan SMA Utama di Salemba, dan Akademi Sastra Multatuli, barulah terasa dan benar-benar merasakan, betapa beruntungnya aku karena menjadi atau berasal dari anak kampung, anak sungai dan anak pantai. Dan ketika dalam satu bacaan terdapat kata-kata yang tidak dimengerti oleh pelajar dan siswa, karena mereka memang tidak tahu, belum mengenalnya, tidak pernah melihatnya. Seperti apa itu "jermal" atau "sero" atau "bubu - lukah - tekalak". Atau apa itu "lunas" dari sebuah perahu, apa itu "buritan dan haluan" atau apa bedanya antara "perahu - tongkang - jung - sampan - katir dan pinisi". Atau nama-nama binatang seperti "pelanduk atau kancil" dan berjenis belalang, atau berjenis nama ikan dan kepiting, rajungan. Bagi anak-anak kota nama-nama itu sangat jarang terdengar, dan kalaupun pernah mendengarnya, belum tentu pernah melihatnya. Dan guru yang menjelaskannya adakalanya hanya melihat dan membaca di berbagai kamus, tanpa pernah melihat dengan matakepala sendiri. Nah, di sinilah terasa bahwa aku sangat beruntung, karena semua itu aku pernah melihatnya, dan tahu serta mengerti beda dan pembuatannya.

Di kampung kami Belitung, dekat pantai ataupun sungai, sangat sering para nelayan, dan orang-orang pelayar, perahu, membuat sebuah perahu, ataupun tongkang, jung dan sampan. Dan kami anak-anak sebaya berumur 5 sampai 8 tahun bermain-main sekitarnya. Menyaksikan bahkan sering-sering disuruh untuk menolong mengangkatkan sebuah papan yang agak berat bersama orang-orang dewasa yang sedang bertukang itu. Beberapa papan besar, keras dan kaku, lalu diasap, di panasi dengan api sabut kelapa. Maksudnya agar papan itu menjadi agak lemas, lunak dan elastis, gampang dibentuk. Lalu dari sebuah lunas yang dari dasar sebuah perahu itu akan tahu kita, pada akhirnya akan menjadi apa nantinya. Ini kalau kita tidak bertanya kepada para tukang pembuat perahu itu. Sebab bila lunas itu tidak lebar, maka pada akhirnya akan menjadi perahu. Tetapi kalau lebar dan agak luas lunasnya, maka pada akhirnya akan menjadi sebuah tongkang atau jung. Sebab sebuah tongkang atau jung memerlukan bangunan badannya sebagai kotak, karena fungsi tongkang dan jung adalah bagaikan truk besar bagi mobil, sebagai pembawa barang, pengangkutan, bagaikan truk muatan berbagai barang-barang besar dan berat. Dan tongkang serta jung biasanya tidak diberi layar, dia ditarik, sebagai gandengan. Pada akhir tahun 50-an, ada yang diberi bermotor tersendiri, sudah lebih modern.

Kami sering melihat dan bermain-main di tempat pembuatan perahu yang besarnya sampai 10 ton bahkan lebih. Perahu kecil yang berkapasitas 3 sampai 5 ton, tidak dianggap proyek besar. Dari mana para tukang yang sangat mahir itu memperoleh bahan-bahan kayu, balok yang besar-besar dan kokoh itu? Juga dari Belitung, sebuah pulau kecil dekat Belitung yang juga bernama Pulau Balok, karena banyak bahan kayu baloknya. Setelah aku banyak membaca sejarah, ternyata Pulau Balok itu sangat penting dan tercatat dalam sejarah. Dulu banyak pelayar dan saudagar dari Tiongkok, mampir di Pulau Balok ini, untuk mengganti bahan-bahan kayu di perahu dan kapalnya. Dan juga mengambil bahan-bahan kayu itu buat keperluan penting bahan-bahan perahu dan kapalnya. Yang hebatnya, siapa saja yang mampir dan mengambil bahan-bahan balok? Pernah ditulis armada Ku Bilai Khan yang menyerang Pulau Jawa yang langung masuk Gresik itu, pernah mampir di Pulau Balok, hanya buat mengambil bahan kayu balok itu dari anaknya Pulau Belitung itu! Lalu seorang akhli navigator Tiongkok kenamaan, Cheng He ( terkadang ditulis Zheng Ho ) juga mampir di Pulau Balok. Cheng He ini banyak catatan istimewanya. Pertama dia lahir dan orang Kunming, Yunnan, yang padahal tak ada lautnya, tanah daratan pegunungan,- tapi dia akhli tentang pelayaran dan navigasi, dan akhli tentang alam semesta. Kedua, dia ini beragama Islam. Ketiga, dia ini dulunya orang sida, orang yang dikebiri buat bekerja di istana raja yang banyak punya para harem yang cantik-cantik. Dan keempat, dari dialah kita banyak mendapat catatan tentang ekspedisinya ketika dia menuju suatu tempat dekat pelabuhan laut di Jawa Tengah yang namanya Sham Pao-lung, yang ternyata adalah Semarang! Cheng He merupakan seorang akhli, pakar yang sangat trampil dalam pelayaran, navigasi, astronomi, dan kelautan. Padahal dia berasal dari tanah daratan yang tak ada lautnya, Yunnan.

Kepada para siswa dan pelajar, ketika aku menjelaskan tentang berbagai nama dan istilah serta beda satu dengan yang lainnya itu, sangat merasakan keuntungan ini. Bahwa karena aku dilahirkan dan dibesarkan serta tempatku bermain ketika masa kecil itu, maka tidak begitu sulit buat menjelaskan semua itu. Bahkan boleh dikatakan tidak perlu menggunakan kamus. Dan ketika punya waktu buat mencocokkan pengertian istilah itu ya sama saja. Dan satu kesulitan besar bahwa diri kita sangat menyayangkan tidak sedikit para siswa dan pelajar itu tidak pernah melihat, tidak pernah tahu begitu banyak hal-hal yang bersifat alam. Kelakuan dan adat-adat kebiasaan alam, dan perihal gerak-gerik binatang dan air laut, pasang naik dan pasang surut, pengaruh cahaya bulan, arus dan gelombang, adalah merupakan petunjuk alam yang sangat membantu. Aku bukanlah anak kampung, anak sungai dan anak pantai yang baik dan pintar. Aku adalah mungkin termasuk anak kampung yang tidak termasuk pandai. Bayangkan anak-anak kampung yang kulihat dan kusaksikan yang pandai-pandai itu, betapa jauhnya kepandaianku ini bila dibandingkan dengan kepandaian dirinya. Mereka sangat menguasai hukum-hukum alam, kelautan, sungai dan pantai, hutan dan berjenis binatang. Apa artinya bila semut beramai-ramai ke luar dari lobangnya? Apa artinya bila suatu pagi yang cerah itu bukan main ramainya kicau berbagai jenis burung? Yang padahal biasanya tidak begitu! Apa artinya bila anjing malam-malam melolong, mengaum dengan suara seakan-akan bersedih hati? Apa artinya bila malam hari terang bulan, tetapi awan-awan sangat deras berkejaran, dan awan-awan bagaikan sisik-sisik ikan yang bagaikan menggambarkan isi lautan, isi samudra?

Semua ini memang ada tamsil ibaratnya. Dan untuk mendapatkan semua itu tadi, kukira hanyalah bergaul dan hidup di antara anak-anak kampung yang hidupnya sangat sederhana itu. Dan para tukang pembuat perahu, serta pelayar yang sangat handal itu, dulunya mereka sampai ke pantai-pantai Madagaskar dan Afrika Selatan. Dan dari merekalah kita bisa memperolah pengetahuan yang sangat berharga dari berbagai kesimpulan pengalamannya dari sepanjang kehidupannya. Ketika itu mana ada catatan tertulis buat keperluan kuliah universtas! Hidup banyak tergantung pada alam, laut, pantai dan sungai serta hutan dan pegunungan. Mereka sangat memahami, bagaimana melekatkan dan bersenyawa dengan alam. Mereka harus berbaik hati dan budi kepada alam karena alamlah yang menghidupi mereka,- ini yang orang kota kurang memahaminya!

Almere - HOLLAND 14 Agustus 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.