Bab 14 :
Mistik di Keluargaku, bagian Dua

Ketika isteriku sakit berat, diopname di Rumahsakit Persahabatan Beijing,
setiap sore aku menjenguknya. Terkadang kami bertiga dengan dua anakku,
lebih sering aku sendiri, sebab anak-anakku harus belajar dan mengerjakan
PR-nya di rumah. Dari sehari ke sehari sakitnya tak berkurang, malah
tampaknya tambah berat, walaupun banyak jalan sudah ditempuh pihak
rumahsakit. Pada satu sore, dia samasekali tak mau memperlihatkan mukanya,
tak mau melihat kami. Dan hanya menangis dan menangis. Hari itu kami tak
dapat berdialog, dia diam saja, dan hanya terdengar isakannya, karena
menangis sangat sedihnya. Tentu saja dua anakku juga menangis, bingung dan
kesedihan. Aku segera mencari dokter-dinas hari itu, kutanyakan apa yang
sudah terjadi. Paginya beberapa dokter datang memeriksanya, semua dokter
yang ada sangkut pautnya dengan penyakitnya. Penyakit pinggang, nir,
jantung, penyakit kulit, dan spesialis bagian dalam. Hari itulah para
dokter menyimpulkan penyakit apa yang diidapnya.

Belakangan, beberapa hari sesudah itu, barulah aku tahu, sesudah isteriku
menceritakan semuanya, dengan masih terus menangis. Para dokter ketika itu
ngomong dengan tanpa perhitungan lain, bahwa sebenarnya isteriku mengetahui
sifat dan jenis penyakit. Dan lagi dia sendiri adalah dokter geneakoloog
obstretikus, penyakit bagian kewanitaan, dan dengan sendirinya banyak tahu
sifat dan karakter penyakit. Para dokter menyatakan bahwa dia mengidap
penyakit yang namanya LE, lupus erytomatusus. Penyakit ini kalau
diterjemahkan dari bahasa Tionghoanya, sakit-bintik-bintik darah merah
akibat srigala. Sebenarnya penyakit ini sejenis kangker darah yang merusak
ginjal, paru-paru, dan keseluruhan metabolisme tubuh. Dan ketika hari
diumumkan itulah dia menangis sepanjang hari, yang kami datangpun
tak sedikitpun diperdulikannya. Karena dia tahu benar, bahwa penyakit ini
tidak mungkin dapat disembuhkan. Dan hanya menunggu hari-hari terakhirnya
saja. Dan itulah pula sebabnya dia sangat bersedih hati. Dia tahu akan
meninggalkan dua putrinya yang sedang menanjak dewasa, yang sebenarnya
sangat memerlukan asuhan seorang ibu. Diapun tahu akan betapa beratnya
seorang ayah yang harus bertanggungjawab atas dua putri yang sedang
menanjak dewasa, dan pada akhirnya ayah itu harus berfungsi ganda, sebagai
ayah dan juga sebagai pengganti seorang ibu.

Dan sesudah itu, tiap sore kami menjenguknya, semangatnya sudah jauh
merosot, lemah, dan seakan-akan sudah pasrah. Ini juga karena penyakitnya.
Dia sudah sangat sulit kencing, dan bila batuk sudah mengandung
darah-segar. Dan aku melihatnya sangat berat dan sangat memelas, betapa iba
hati kita melihat penderitaannya. Tetapi adakalanya semangatnya baik. Mau
ngomong dan mau banyak tanya ini itu, dan mau menanyakan perihal sekolah
anak-anaknya. Ketika pada sore Sabtu, kami lihat semangatnya cukup baik,
dan sudah berjalan di koridor sekitar situ. Kami sangat gembira melihat
semua ini. Dan kami berjanji buat keesokan harinya mau makan bersama
dengannya di rumahsakit. Kami akan bawa sendiri makanan dari rumah. Tetapi
begitu sampai di rumah, anakku Wit, kakaknya Nit, tiba-tiba saja menangis.
Kutanyakan mengapa? Bukankah besok kita akan bersama-sama Mama makan di
rumahaskit? Wit men-
jawab : "Tidak mungkin lagi. Saya merasa besok Mama sudah dipanggil oleh
Jesus buat kembali ke asalnya", kata Wit. Dan aku merinding buluhalusku
mendengar ucapannya. Anak ini sangat dekat dengan ibunya, sangat perasa,
dan dugaannya jarang meleset. Ini sejak kecil kuperhatikan.

Aku yang dipesan oleh pihak Radio Beijing yang mengurus kami, kalau terjadi
apa-apa, mereka akan menilpun langsung ke rumah, selalu saja aku
mendengarkan kalau-kalau ada deringan tilpun. Dan bagaikan orang sakit
syaraf aku dibuatnya. Kutunggu kalau-kalau ada, kutunggu. Yang kutunggu
deringan tilpun. Tetapi malah yang datang ketokan pintu menjelang jam
05.°°. Seorang petugas Radio menjemput kami untuk segera ke rumahsakit,
bahwa ibunya anak-anak dalam krisis berat. Begitu kami datang, dia sudah
koma, dan sudah tak ingat apa-apa lagi. Kudampingi dia sampai nafas
terakhirnya, sedangkan anak-anak pulang segera buat mempersiapkan
pakaiannya yang terbaik, cara nasional, berbatik kebaya, lengkap. Dan
benarlah kata anakku Wit, tak mungkin sempat memenuhi perjanjian kami
bersama buat makan berempat secara lengkap. Anak-anak menangis sangat
sedihnya, kehilangan ibu yang sangat dicintainya. Aku menahan diri, biarlah
nanti saja, kalau sudah sampai di rumah, dan kalau sudah malam mau tidur.

Dalam rangka ini yang mau kuceritakan yalah peranan arti mistik yang ada
pada anakku. Si Wit tahu betul dan yakin betul bahwa Mamanya tidak mungkin
akan dapat makan bersama berempat dengan kami keesokan harinya. Padahal
jaraknya hanya beberapa jam saja, dan dia sudah terasa dan sudah tahu,
katanya Tuhan Jesus besok akan lebih dulu menjemputnya. Padahal jauh
sebelumnya dua anak kami ini tak pernah mendapatkan pendidikan agama,
tetapi dia sudah menyebut nama Tuhan dan Tuhan itu menurut sebutannya
adalah Tuhan Jesus.

Ketika kami bertiga mau berangkat ke Beijing tahun 1990, Nit, Loulou cucuku
dan aku, buat berziarah ke makam ibunya anak-anak, kami masih sempat
"berkonsultasi" dengan Wit. Kutanyakan pada Wit, coba tolong pantau,
kira-kira ada halangan tidak kami berangkat kali ini. Sesudah dia
berkonsentrasi dan sedikit meditasi, dia katakan dengan tegas dan tanpa
kebimbangan :
"Ada kesulitan dan ada halangan. Tetapi tetap papa dan Nit dan Loulou bisa
berangkat, tidak apa-apa karena memang masih bisa di atasi. Berangkatlah",
katanya. Dia agak sedih karena tak bisa berangkat bersama dengan kami,
karena diapun sangat ingin nyekar dikuburan ibunya di Beijing.

Dan benar saja, kami hari itu tidak bisa berangkat karena pihak
pelabuhan-udara melarang kami berangkat karena kami hanya punya paspor
travel-dokument saja. Padahal kami tahu benar, travel-dokument yang
dikeluarkan atas nama perjanjian Jenewa, berlaku di manapun. Tetapi yang
namanya polisi, tak dapat dan kena kalau didebat! Hari itu juga kami urus
ke Prefektur Pusat, ke Kantor Polisi Pusat buat kota Paris dan sekitarnya.
Pihak Kantor Polisi Pusat segera menilpun ke kantor polisi pelabuhan udara,
yang menyatakan larangan mereka itu adalah salah, salah samasekali! Tetapi
sudah terlambat, dan kami dua hari sesudah itu barulah bisa berangkat,
karena tak ada penerbangan ke Beijing secara langsung ketika hari itu.
Ini yang pertama dugaan Wit adalah benar, benar ada halangan.

Lalu ketika kami kembali ke Paris melalui Pakistan, dan singgah di
Rawalpindi selama 6 jam, dan meneruskan perjalanan lagi, begitu sampai di
Beijing, ada sebuah koper kami yang hilang. Tak bisa ditemukan, sudah
dicari-cari, tetap saja tak ketemu. Oleh pihak penerbangan bersedia
mengganti kerugian, dengan perjanjian berat sekilogram akan diganti 20
dollar AS. Tercatat di dokumen loggage, berat koper yang hilang itu 18 kg,
dikalikan 20 dollar AS. Isinya sebenarnya kalau diperhitungkan dengan uang
tidaklah begitu berharga, tetapi bagiku sangat-sangat berharga, sebab di
dalamnya ada beberapa tulisanku, karanganku selama di Beijing. Sudah
kebiasaanku, membawa mesintik dan mengetik begitu di hotel. Beberapa
tulisan hilang bersama mesintiknya, barang lainnya tak kuingat benar. Dalam
pikiran yang jelek ini, sayang, kalau tahu begitu koper itu diisi batu saja
biar lebih berat, inilah pikiran yang semata-mata kemarahan saja adanya.
Dan hal ini yang kedua adanya halangan dan rintangan yang disebutkan Wit.
Ketika mau berangkatnya ada halangan, dan ketika pulangnya ada yang
kehilangan. Mistik pada Wit kelihatannya lebih besar daripada yang ada pada
adiknya, Nit. Tapi yang paling besar adalah yang dimiliki kakaknya yang di
Jakarta, Ita, paranormal yang aku sendiri selalu minta pemantauan darinya
apabila mau ke Jakarta.

Paris 4 Mei 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.