Bab 130 :
Seluk-Beluk Rumahtangga,-
bagian Dua,- habis;-

Kami juga mengenal anggota muda dari organisasi kaum ibu dalam perkumpulan isteriku ini. Gadis ini namanya Savitri. Mungkin juga ada hubungan antara nama dan perawakan tubuhnya. Namanya bagus sekali, dan wajahnyapun ayu, menarik dan sangat komunikatif, mudah bergaul dan hari depannya begitu bagus. Seorang aktivis muda yang sangat cekatan dan lincah, disukai banyak orang dan teman-temannya. Kami semua sangat menyayanginya. Kalau ada gerakan apa saja yang sifatnya buat kemajuan organisasi, maka dialah yang lebih cepat, lebih sanggup dan lebih trampil buat maju ke depan. Tetapi seperti kata orang, tak ada gading yang tak retak. Dan Savitri ini mungkin gading yang retak itu, walaupun keretakannya tak begitu besar atau tak begitu serius. Tetapi juga mungkin saja akan menjadi serius.

Tadinya kami medengar bahwa Savitri ini punya teman pria yang dicintainya, dan banyak teman meramalkan, mungkin inilah jodoh Savitri. Tetapi temannya ini yang bernama Danton itu bukanlah seperti dirinya, penuh semangat dan penuh api perjuangan dan pergerakan. Danton pemuda biasa saja, maksudnya tidak menggebu-gebu, bukan pula penuh api dan semangat aktivis seperti Savitri. Tetapi juga mungkin tidaklah begitu soal, bukankah yang penting itu saling mencintai dan saling menghargai? Lagipula tampaknya Savitri begitu serius akan pergaulannya dengan Danton ini. Dan dia sering-sering pula bercakap-cakap dari ke hati dengan isteriku. Seperti dulu itu, biasalah kalau sudah ada masalah yang serius, dan agak rahasia, lalu mereka akan bercakap-cakap agak berbisik. Tampaknya tak mau diketahui banyak orang. Dalam hatiku, baik juga, biarlah isteriku dapat membantu kesulitannya dan biarlah dia mencurahkan isi hatinya dengan sejujur dan apa adanya terhadap teman terdekatnya, dan organisasinya.

"Bagaimana Ma tentang keadaan Savitri? Ada kesulitan tertentu dalam kehidupannya?",- kataku. "Ya, ada-ada saja orang hidup. Belum selesai yang satu sudah datang yang lain. Bertubi urusan minta penyelesaian. Kau tahu kan Pa, Mas Danton-nya itu?", kata isteriku. "Ya, aku tahu, orangnya sepertinya tidak pedulian, masakbodo hal-hal yang bukan urusannya dan urusan umum ya kan?". "Tidak hanya itu! Tapi sudah meningkat lain, bagaimana akan kelanjutan hubungan mereka keduanya nanti!? Itu yang penting. Tidak bisa seperti sekarang ini!",-katanya lagi. "Lalu apanya yang sulit dan perkaran peningkatan itu?". "Papa tahu, Mas Danton-nya sudah mulai main pukul yang katakanlah bakal isterinya itu! Habislah Savitri babakbelur dipukulinya",- "Apa salahnya, dan apa soalnya sih?". "Bukan masalah kesalahan itu, bukan besar kecil derajat kesalahannya. Tapi dengan main pukul saja sudah bukan antara teman dan bakal teman hidup. Main pukul itu bukan penyelesaian antara teman, saudara dan keluarga. Main pukul itu pelanggaran hak-hak azasi manusia. Ini sudah pelecehan terhadap harkat kemanusiaan. Dan lagi ironisnya, justru Savitri itu adalah bakal pejuang hak-hak azasi kemanusiaan. Dan dia pula terkena, terdepan dan terdahulu mengalaminya",- kata isteriku.

Agak terkejut juga aku mendengarnya. Kami kenal baik dengan Savitri, dan menurut penglihatan kami, Savitri adalah gadis yang bukan hanya baik tetapi juga penuh dengan semangat mengutamakan kepentingan umum dan orang banyak. Dan sangat dikenal sebagai aktivis yang handal, berani dan berapi-api. Apalagi kalau sudah berdiri di barisan terdepan ketika demonstrasi, maka dialah orangnya. Kata orang maka dialah ratunya! Lalu kini, malah babakbelur dipukuli Mas Danton-nya. Rasanya akupun turut tersinggung dan merasa sakit. Zaman ini bukan lagi zaman main pukul begitu. Lalu pandanganku jauh ke belakang. Bagaimana bisa seorang Savitri yang penuh semangat, berani, cerdas, dan selalu argumentatif, lalu babakbelur dipukul Mas Danton-nya yang setengah menganggur itu!

Dan pada suatu senja, setelah Savitri kira-kira satu bulan tak datang ke rumah kami, maka menjelang petang itu, dia datang ke rumah. Sekali ini kulihat mukanya bengkak, matanya sembab, dan wajahnya kuyu tak bersemangat. Dia langsung memeluk isteriku dan sesenggukan kudengar suaranya menangis. Oh, apakah ratu kami itu kena pukulan lagi? Rasanya aku benar-benar tidak sudi kalau Savitri-kami mendapat perlakuan demikian. Savitri itu bukanlah kepunyaan orangtuanya, atau apalagi Mas Danton-nya. Savitri itu adalah kepunyaan kami semua, kepunyaan organisasi, siapa tahu bakal kepunyaan hari depan Indonesia, siapa tahu!

Dan senja itu, benar-benar isteriku terlihat terpukul. Dan sudah tak mau menjawab ketika kutanyakan. Aku merasa punya tanggungjawab buat tahu dan buat bertanya, sebab Savitri ini sudah menjadi saudara dan keluarga kami sendiri. Malam itu isteriku tidak mengizinkan dan tidak membiarkan Savitri pulang ke rumahnya. Mereka berdua sangat rapat dan dekat. Dan saling menyemangati. tetapi setelah kejadian ini, tak tahulah aku bagaiman jadinya nanti. Dan keesokan harinya barulah aku tahu. Kemaren dulu Savitri telah dipukuli begitu rupa, sehingga mukanya berdarah-darah, dan dua batang giginya tanggal-copot, artinya juga cacat! Kukira sudah seharusnya Savitri-kami itu menarik garis pemisah dengan Mas Danton-nya, dan itu pemuda Danton samasekali bukan mas, tapi tembaga rongsokan, atau tembikar bau! Aku benar-benar marah dan sakit hati.

"Ma, kuharap jangan sampai Savitri kawin sama Mas Danton-nya itu. Dia samasekali bukan mas lagi, tapi besi rongsokan! Ingat Ma, ingat nggak beberapa kejadian teman-teman dan kenalan kita. Bila seseorang suami sudah main pukul, maka dia akan menjadi kebiasaan memukul, dan akan terus memukul. Dan gilanya lagi, sang isteri atau pacarnya itu, selalu akan datang-datang buat minta pukul lagi dengan hebatnya! Dan gilanya lagi, si wanitanya menjadi ketagihan buat terus dipukuli. Jadi Savitri harus segera dan dengan tegas memutuskan hubungannya dengan si besi-tua-rongsokan Danton itu",- kataku dengan penuh emosi.

Isteriku tidak menjawab. Tampaknya dia hari-hari belakangan itu sangat banyak menerima pengaduan yang sifatnya kerumitan hubungan rumahtangga. Dan penyelesaiannya pada biasanya tidaklah begitu mudah. Ini soal perasaan, soal kejiwaan bahkan hargadiri. Jadi sangatlah harus berhati-hati. Sedangkan urusan lainnya, yang bersifat regional, lokal dan nasional sangat banyak meminta tenaga, pikiran dan pengorbanan. Yang agaknya "menyelamatkan dirinya" dari begitu banyak urusan, kami harus berangkat pada tahun 1963 ini juga buat mengemban tugas lain. Yang pada akhirnya dia tak sekalipun punya kesempatan buat pulang ke tanahair, karena sudah lama meninggal di Beijing pada tahun 1980,-

Paris 16 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.