Bab 13 :
Mistik di Keluargaku, bagian Satu

Dapatkah dikatakan mistik, atau suatu kepercayaan yang ada di kalangan
keluargaku ini? Aku sendiri tak dapat mengatakannya secara pasti. Biarlah
orang lain sesudah mendengarkan penuturan ceritaku ini, menentukan
pendapatnya sendiri. Yang kumaksud dengan mistik di kalangan keluargaku,
adalah di pihak keluarga isteriku. Sedangkan di pihak kami, di pihakku, tak
ada atau tak terdapat gejala yang demikian.
Misalnya saja ponakan isteriku, Ita, yang dulu selalu denganku ke mana aku
bepergian, adalah seorang paranormal. Rata-rata keluargaku, mereka ini
kenal dan tahu mistik, termasuk dua anakku. Sedangkan aku cukup asing
dengan dunia itu, tetapi terkadang percaya juga, hanya tidak menjadi suatu
keyakinan benar.

Ketika kami di Jakarta bersama anakku yang pertama, si Wit, maka bertemulah
dia dengan saudara sepupunya, si Ita, yang berprofesi paranormal itu.
Tampaknya kedua saudara sepupu itu ada kecocokan dalam dunia mistik. Ketika
ada tamu buat konsultasi tentang suatu perkara, Ita selalu menyertakan Wit,
agar turut serta membahas persoalan yang dihadapi tamu atau pasiennya.
Mereka berdua selalu berbahasa Tionghoa Beijing, karena kebetulan Ita juga
sejak kecilnya disekolahkan yang berbahasa Tionghoa di Medan. Sedangkan
Wit, jauh lebih mahir berbahasa Tionghoa daripada bahasa Indonesia, sejak
umur satu tahun dia sudah di Tiongkok sampai umur 18 tahun. Karena dua
saudara ini selalu saja berbahasa Beijing, maka tamunyapun agak heran juga,
kok tahu-tahu dukunnya ini ternyata bisa berbahasa Tionghoa. Siapa tahu
keadaan ini, menjadikan sang dukun, paranormalnya ini sedikit dapat angka
plus, siapa tahu! Dalam bahasa Beijing, Ita berkata kepada adiknya,
Wit:

"Wit, kau coba juga lihat. Nanti kita cocokkan antara penglihatan kakak
dengan penglihatanmu. Coba sini, kau konsentrasikan, lalu kau pantau
baik-baik, ada apa rupanya, dan dapat tidak terkabul maksudnya?", kata Ita.
Aku dengan Maya, anak Ita, selalu dapat mendengarkan percakapan mereka,
walapun sebenarnya bukanlah bermaksud "nguping". Karena bentuk rumah ini
bagian dalamnya menyatu
dengan ruangan belakang, jadi dapat saja saling terdengar semua percakapan.
Dan tampaknya bagi tamu dan pasien tersebut tak jadi soal benar. Wit dengan
konsentrasi dan meditasinya yang tampaknya saling belajar dan saling tukar
pengalaman dengan kakaknya, sedikit agak serius daripada biasa. Dan agak
lama dia mengumpulkan hasil pantauannya. Lalu berkata kepada kakaknya dan
tamu - pasien itu:

"Saya lihat bisa sih bisa kalau mau dijual, tetapi makan-waktu agak lama
juga. Sebab saya lihat perumahan itu masih penuh semak dan pohonan gula
yang tidak teratur. Saya kira bersihkan dulu baik-baik dan pohonan gula itu
habiskan tebangi rata. Kelihatannya calon pembeli sangat tidak suka akan
semak belukar pohonan gula itu", kata Wit. Dan kakaknya menanyakan dalam
bahasa Beijing, apa itu pohonan gula. Dijawab yang bisa dibikin gula manis
buat kopi dan kue-kue itu. Maka tahulah kakaknya,
yang dimaksudkan Wit adalah pohon tebu yang tak teratur tumbuhnya. Dan
ternyata tamu dan pasien itu bermaksud akan menjual pekarangan berikut
rumah-lamanya di suatu kampung. Dan kakaknya merasa sangat puas akan
pemantauan adiknya, ternyata pendapat mereka sama.

Dan semua hasil pemantauan mereka berdua ini dikatakan kepada tamu tadi.
Dan tamu tadi merasa sangat puas. Kenapa? Memang rumah-pekarangan yang mau
dijualnya itu masih penuh semak-semak kecil yang belum dibersihkan, dan
"pepohonan gula" itu tadi juga adalah benar, banyak tetumbuhan tebu liar,
bukannya ditanam teratur. Pihak tamu dan pihak "pemantau" sama-sama puas.
Dan aku tidak lagi mengikuti bagaimana akhirnya perkara penjualan
rumah-pekarangan yang dimaksud.

Kakak Ita, saudaranya yang sulung namanya As. As ini pernah kirim surat
padaku, bahwa katanya, tantenya, yaitu isteriku almarhum, sering dilihatnya
ada di pohon mangga di rumahnya. Ini benar-benar aneh dan gila! Isteriku
meninggalnya di Beijing, Tiongkok, sedangkan rumah As itu ada di Rajawali
Selatan, Kemayoran - Jakarta. Bagaimana bisa jadi? Tapi sudahlah, dengarkan
sajalah ceritanya. Itulah pula sebabnya, pohon mangga di rumahnya itu
selalu berbuah, kapanpun, tak bermusim, demikian kata-
nya. Suatu waktu ketika kami pulang pertama tahun 1993 setelah genap 30
tahun tak ketemu tanahair, dan kami menginap di rumahnya di Kemayoran Jalan
Rajawali Selatan, betul saja, pohon mangga itu sangat rindangnya dan
bergayutan buahnya lebat sekali. Padahal musimnya samsekali bukan musim
buah
mangga. Sekitarnya semak belukar yang akan segera dibabat habis, karena
rencananya seluruh lokasi Kemayoran sekitar lapanganterbang, akan dijadikan
proyek eksposisi - pagelaran barang-barang industri. Dengan demikian
seluruh perumahan sekitar situ akan digusur bersih dan habis. Termasuk
rumah besar ponakanku As ini. Maklumlah rumah ini rumah dinas AURI,
sedangkan suami As ini, termasuk perwira menengah-tinggi, mana ada rumah
tentara yang berpangkat yang kecil dan jelek!

Keanehan lain, sering sekali seekor burung bayan yang sangat jinak datang
ke kepalaku, ke telapak tanganku. Dan ketika hinggap di kepala cucuku
Loulou, dia terkejut dan berteriak ketakutan, menjerit na-
ngis. Dan bayan itupun terkejut juga dan lari terbang. Tetapi dua tiga jam
lagi, datang lagi dan tetap mau hinggap di kepala kami atau di telapak
tangan kami. Bayan ini sangat jinak, dan sangat menyenangkan.
Biasanya bayan akan selalu hidup di hutan yang besar atau agak besar. Tapi
ini di sekitar hutan semak-belukar kecil yang ada di sekitar Kemayoran itu
saja. Ini cukup mengherankanku. Bagaimana bisa jadi seekor bayan begitu
jinak dan terbang tak jauh-jauh. Ketika kutanyakan siapa yang punya bayan
itu. Katanya tidak ada orang yang memiliki bayan, dia bayan liar saja,
hidup begitu saja. Lalu berkepanjanganlah pikiranku. Betapa kasihan juga
pada bayan itu. Dia sudah kehilangan hutannya! Terlalu banyak kita ini
sudah kehilangan. Orang sekitar situ akan segera kehilangan
rumahtinggalnya, karena akan
segera digusur. Sedangkan banyak binatang sekitar situ juga akan
kehilangan habitatnya, kehilangan
tempattinggal dan sarangnya. Ternyata tidak hanya bayan itu saja, tetapi
juga ada beberapa ekor ayam liar, ayam hutan. Dulunya, dulu sekali, hutan
sekitar Kemayoran cukup lebat, bahkan pernah menjadi tempat bersarangnya
para penyamun dan perampok sebelum Perang Dunia - 2,-

Ketika "kami" akan berpisah, keesokan harinya kami akan berangkat ke Bali
buat terus pulang ke Paris, bayan tersebut datang buat penghabisan kalinya.
Karena "kami" sudah agak akrab dengan bayan itu, terutama Loulou dan aku,
termasuk ibu Loulou, si Nit, maka sedih juga rasanya kami akan berpisah.
Aku ngomong baik-baik kepada bayan itu :
"Bayan, aku tidak tahu kamu akan ke mana. Orang rumah ini akan dan dipaksa
pergi ke Cibubur sana. Sedangkan kamu, tidak mungkin kami bawa. Cobalah
cari hutan yang agak lebat. Mungkin ada, mungkin sangat jauh. Tapi kudoakan
agar kamu selamat cari tempat lain. Sekarang ini tidak hanya kamu dan
ayam-liar itu saja kehilangan habitatnya, kamipun terusir juga, sudah sama
-sama harus pergi dan meninggalkan tempat ini. Besok pagi-pagi kami harus
pergi", kataku kepada bayan itu. Dan kuciumi dan kubelai-belai bulunya yang
licin dan penuh warna-warni itu, merah-hijau-agak kuning, ada putihnya
sedikit, bagaikan pameran warna di seluruh tubuhnya. Dan apa yang kulihat
serta kusaksikan? Loulou cucuku yang berumur 6 tahun itu mengambil bayan
itu dari tanganku. Lalu menciuminya, mengelus-elus bulunya yang berkilat
licin itu, dan tampak airmatanya sedikit ke luar. Kudengar bisikan, dia
ngomong kepada bayan itu dalam bahasa Perancsinya yang pada akhirnya,
demain-------aurevoir bayan ya, aurevoir demain, dan berkali-kali
diciuminya. Melihat adegan begini, terharu juga hatiku dibuatnya. Betapa
akan sangat indahnya apabila segala makhluk di dunia ini baik binatang
maupun manusia, serta alam-lingkungan saling bersahabat, erat dan akrab,
maka sorgalah dunia ini!

4 Mei 1999,- buat ulangtahun cucuku Loulou tepat hari ini 13 tahun

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.