Bab 129
Seluk-beluk Rumahtangga,- bagian Satu,-

Dulu ketika kami masih tinggal di Tebet, di sebuah gang yang namanya sungguh indah, Gang Anggrek, yang padahal jalannya tidak diaspal dan bila hujan langsung segera becek! Isteriku punya beberapa tetangga dan teman-temannya yang sering-sering rapat perkumpulan wanita. Terkadang mereka juga rapat di rumah kami. Dan kalau rapat dengan beberapa orang kaum ibu, maka aku-pun harus menghindar, harus pergi sampai rapat mereka selesai dan bubar. Tentu saja aku juga kenal dengan kaum ibu teman-teman isteriku itu. Tetapi hanya kenal begitu saja, tak ada urusannya dengan rapat mereka sesama satu organisasi. Di antara kaum ibu itu, tentu saja ada yang merasa saling dekat dengan isteriku. Sehingga bisa saling mencurahkan pikirannya satu sama lain. Terkadang mereka begitu gembira, tertawa sampai seperti menangis karena airmatanya keluar. Terkadang juga berbicara berbisik-bisik dan pelan sekali. Biasanya tentulah yang dibicarakan soal-soal serius atau justru yang agak rahasia, dan jangan sampai diketahui orang lain.

Di antara kaum ibu itu, ada yang masih muda, ada yang setengah baya. Ada juga yang cantik sekali dan seksi. Diam-diam, aku sering memperhatikan ibu Neni yang cantik dan seksi itu. Dia masih muda, punya anak dua. Satu laki-laki dan satu perempuan. Kulitnya kuning, kalau pengarang lama mungkin menuliskannya kuning-langsat, atau kuning-duku, atau kuning-kencana. Rambutnya tebal, dan matanya hitam besar, alisnya juga tebal. Bila tertawa ada lesung pipitnya, dan tampak berbaris gigi yang putih mengkilat, dan bibirnya, bibirnya bercahaya basah, penuh delima merkah. Dan dadanya penuh mengemban dua bukit yang tajam. Betapa cantiknya dia. Terpikir pada saya, betapa suaminya ini bahagianya. Betapa beruntungnya suaminya itu, dapat isteri yang demikian cantiknya, begitu menariknya. Dan pula menurut cerita isteriku dan juga yang kuketahui, Bu Neni orangnya sangat baik, bertanggungjawab kepada keluarga dan setia kepada rumahtangga dan seluruh keluarganya. Maka lengkaplah kalau begitu kebahagiaan suaminya itu, mau apalagi!

Suaminya itu kami panggil Pak Radi, seorang pegawai biasa di suatu bank swasta. Samasekali tidak kaya, tetapi bukan pula orang miskin. Dan agak tidak begitu sejajarlah kalau mau memperbandingkan Pak Radi dengan Bu Neni. Bu Neni sangat cantik. Tapi Pak Radi orangnya gemuk, pendek dengan kepala agak botak. Sulit membayangkan dulu itu, bagaimana kok jadinya Bu Neni dan Pak Radi jadi suami isteri! "Semestinya" Bu Neni itu suaminya gagah, besar tinggi, berkumis, dan kaya atau berpangkat. Ini kok hanya Pak Radi, pegawai biasa, dan tidak pula gagah dan menjadi idaman para wanita muda atau gadis-gadis kota seperti Jakarta ini. Bahkan dalam pikiran saya "yang tidak bersih ini" alah berapa lama sih tahannya rumahtangga itu, nanti juga siapa tahu Bu Neni dilarikan orang lain, tinggallah Pak Radi. Atau Bu Neni kecantol sama pria gagah dan kaya serta berpangkat, lalu Pak Radi merana membawa cintanya yang menyedihkan.

Kalau Bu Neni ke rumah, selalu saja dia membawa apa-apa, oleh-oleh buat kami. Oleh-oleh itu makanan kecil, seperti rempeyek, goreng singkong, buatannya sendiri. Dan mereka berdua di dapur omong-omong sangat akrab, ini sebelum ibu-ibu lainnya datang. Biasanya Bu Neni akan selalu datang lebih dulu, lebih cepat datangnya, barangkali agar bisa ngobrol lama.

Suatu kali Bu Neni datang ketika tidak ada acara rapat. Mereka ngomong-ngomong di dapur seperti biasa. Tetapi agaknya sekali ini tidak begitu gembira. Karena omongannya agak pelan dan tidak ada acara tertawanya. Lalu kudengar suara agak keras, dan lalu melemah dan lama berdiaman. Sepertinya suasananya suram. Dan ketika aku melintas pura-pura lewat mau mengambil sesuatu di dapur, tampak Bu Neni menyandarkan kepalanya kepangkuan isteriku. Dan terdengar isakan tangisnya yang tertahan-tahan. Lalu tangan isteriku membelai kepala dan wajah Bu Neni, dan berusaha menghapus airmatanya. Wah, Bu Neni sesenggukan menangis, agak tertahan bunyi isakannya. Isteriku terdengar membujuknya. Rasa mau tahuku, mendesak ke leher dan mulut, tapi kutahan, nanti juga akan tahu apa sih soalnya. Orang secantik begitu kok punya soal berat, tak mungkinlah! Demikian pikirku.

Lama mereka berdua. Lalu isteriku mengantarkan Bu Neni pulang ke rumahnya dan hampir malam barulah isteriku kembali ke rumah kami gang Anggrek itu. Dan aku sudah menanti mau tahu ada cerita apa. Dan isteriku bagaikan terpukul. Dia juga merasa sangat kecewa dan sangat sedih. Dan tampak isteriku juga barusan menangis dan tampak sangat sedih dan marah.

"Cobalah Pa, kau pikir. Masuk akal nggak, Pak Radi itu diam-diam ada main sama pembantunya, sama babunya sendiri, mbok Iyem gadis yang masih mengkal itu!". Aku terdiam lama, menjadi bodoh dan bengong. "Jadi bagaimana kelanjutannya, dan apa yang sudah terjadi?". "Ya, si Iyemnya sudah bunting, dan Pak Radi harus bertanggungjawab, harus mengawininya secara sah", katanya sambil dengan suara keras. "Apa Pak Radi mau, dan apa Bu Neni sedia dimadu atau dicerai?",- kataku. "Ya harus, dua-duanya. Pak Radi harus mengawininya, dan Bu Neni harus merelakannya atau dicerai. Itu saja, jalan lain sementara belum ada. Dan kami harus segera mengadakan rapat buat itu. Ini kan soal keluarga dalam satu organisasi juga",- kata isteriku dengan suara membela dan tegas.

Dan aku lagi-lagi bingung, bengong dan mungkin juga bodoh. Orang secantik Bu Neni yang dengan dada penuh, bibir basah, kulit kuning langsat, delima merkah melekat di bibirnya yang menggairah itu, lah, kok suaminya sampai ada main dengan babunya, yang pakai lipstik saja tak bisa! Jadi apa kurangnya Bu Neni yang begitu cantik itu. Jadi apa tidak cukupnya Pak Radi yang gila seks itu! Apa sih Pak Radi yang gemuk - pendek dan agak botak itu? Di mana sih menariknya dia! Tak cukup dengan Bu Neni lalu mbok Iyem jadi korban? Yang tadinya kusangka mula-mula, Bu Neni-lah yang punya bakat akan segera meninggalkan sipendek gemuk botak itu. Eh malah Bu Neni yang kelimpungan, menangis tersedu-sedu akan jadi korban dipermadu atau jadi janda kembang.

Sehari suntuk itu kami berdua isteriku masing-masing dengan pikiran yang mungkin berlainan. Isteriku penuh berkonsentrasi bagaimana memecahkan solusi rumahtangga ini dengan teman-teman wanitanya, agar dapat diselesaikan dengan baik, dan bisa diterima kedua belah pihak. Sedangkan aku lain lagi, lah, kok bisa terjadi hal-hal begini. Orang yang secantik Bu Neni dan setia pula, baik lagi, dapat suami yang berlawanan daripada tampan dan kaya serta berpangkat, Pak Radi. Dan Pak Radi dengan dia punya sabetan, bisa memainkan peranan yang begitu "mengagumkan", sehingga gadis mengkal yang baru 17 tahun saja bisa dia apa-apakan, di rumahnya sendiri, di rumahnya Bu Neni yang cantiknya minta ampun itu! Akhirnya pikiranku pelan-pelan bertambah, menjadi sedih, kasihan, dan bersimpati pada Bu Neni, dan menjadi benci, muak terhadap Pak Radi. Juga kasihan pada mbok Iyem gadis yang bekerja mencari kehidupan di rumah majikannya yang gemuk-pendek-botak itu. Kataku dalam pikiran saja : terlalu banyak yang tak disangka-sangka terjadi di dunia ini. Terlalu banyak terjadi hal-hal di luar dugaan pikiran kita, dan ini baru saja dalam persoalan sebuah keluarga saja.

Paris 15 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.