Bab 121 :
Di Antara Tamu-Tamu Kami,-
bagian Satu,-

Bekerja di restoran, apalagi langsung melayani tamu, adalah mutlak harus ramah-tamah, mudah senyum, pandai bicara, baik, komunikatif, dan sedabrek peraturan lainnya. Kalau tidak begitu, alamat tidak bakalan laku itu restonya. Belum lagi masalah bagaimana rasa makanannya, dan ini kunci dari suksesnya sebuah resto. Untuk melihat sebuah resto enak apa tidak makanannya, dapat dilihat banyak apa tidak pelanggannya yang datang. Orang berduyun-duyun datang mau makan ke sebuah resto, itu menandakan rasa makanannya enak, lezat. Jadi antara enak makanannya, dan baik pelayanannya, enak suasananya, maka mendekati sempurnalah resto itu. Nah, bagaimanakah kalau aku menilai resto kami ini? Artinya aku menilai resto sendiri, kepunyaan sendiri dan yang kami dirikan sendiri hampir duapuluh tahun yang lalu itu?

Sangat sulit, dan sejujur mungkinpun, tetap saja akan ada kekurangannya. Karenanya akan lebih baik tak usah kunilai sendiri, lebih baiklah dia bicara sendiri, menyatakan dirinya sendiri. Yang kumaksud dia itu adalah resto itu sendiri. Kalau sekiranya diadakan semacam perlombaan, siapa yang paling baik pelayanannya ketika melayani tamu, paling ramah dan paling banyak senyum dan paling menyenangkan tamu, maka kalaupun aku ikut pada perlombaan itu, tak ragu-ragu kukatakan, akulah dapat nomor yang paling belakang, alias kalah telak! Dan yang akan menang kukira tentulah Mas Benno, Pak Ramu, Mas Tejo. Mereka itu sangat baik, sangat ramah bila dibandingkan denganku. Untuk menghibur diri, dan untuk sekedar pemaafan diri, kukatakan, ya, kan orang lain-lain. Aku salah seorang pendirinya, tapi begitu resto berdiri harus ada yang sangat pandai buat melayani para tamu, aku kan hanya mencari, membuka, mengusahakan, kalau sudah ada ya kalianlah yang melanjutkannya! Ini hanya sekedar apologetic semata, alasan buat ada-ada saja sebagai pemaafan.

Kalau ada tamu yang "agak cerewet" dan si simon sudah bermuka agak asam dan bersegi empat, maka hal itu biasa! Tetapi kalau sampai Mas Benno atau Mas Tejo atau Pak Ramu, sudah terdengar menggerundel, sedikit saja sudah berhenti senyumnya, maka lihatlah siapa tamu itu. Lebih baik jangan sampai diserahkan kepada si simom melayaninya, rusak nanti nafsu makannya! Artinya tamu itu sudah betul-betul tidak begitu menyenangkan, dalam kamus si simon, sudah kelewatan cerewetnya!

Suatu kali datang tamu yang menginap di sebelah hotel resto kami, hotel Amassadeur. Dia mau menanyakan apakah ada masakan ikan yang dia lupa namanya. Lalu dia datang kepadaku, apakah ada masakan ikan yang........yang.........dia lupa namanya. Lalu dia minta kepadaku, yang ada jenis ikan bagaimana, coba tolong gambarkan, lukiskan kepada saya, katanya. Aku tidak bisa menggambar ikan atau gambar apa saja secara baik. Dulu angka raporku di sekolah merah, jarang tidak merah. Menggambar kuda memper anjing, menggambar kucing memper harimau, begitu kata Pak Jito guru gambar kami ketika kami bersekolah di Taman Madya Kemayoran. Nah, bagaimana aku bisa! "Begini saja Tuan, maunya ikan yang bagaimana? Tolonglah Tuan gambarkan, mungkin Tuan jauh lebih pandai dari saya dalam menggambar. "Okey, okey, tolong kertas dan pensil", katanya. Dan dia mulai menggambar. Ternyata kukenali nama ikan itu, karena dia pandai melukiskannya. Ikan itu serem, banyak giginya ketika menganga, dan dahsyat sekali. Tetapi mana ada masakan ikan yang begitu di resto kami. Siapa tahu di resto lainpun dia tidak akan menemukan ikan itu. "Tuan, ini namanya ikan hiu dalam bahasa kaminya, bahasa Inggerisnya shark, bahasa Perancisnya requin. Tentu saja kami tak punya masakan ikan hiu", kataku. "Ya, ya, betul, shark, saya lupa nama itu", katanya. "Apa tuan tahu kira-kira di mana ada masakan ikan shark itu? Di restoran mana yang bisa didapatkan masakan shark?", katanya mau tahu. "Saya tidak tahu Tuan, dan lagi saya tak pernah dengar ada resto yang punya masakan ikan shark itu", kataku.

Dalam pada itu para tamu lainnya semakin banyak yang datang. Dan aku hanya sendirian di depan, merangkap di bar. Kalau siang, memang begitu, paling banyak kami pasang tiga orang. Satu di dapur, satu mondar-mandir antara sal dan dapur, dan satu lagi di bar merangkap di sal. Kalau tamu-tamu di bawah duapuluh orang, masih cukup enak meladeninya. Tetapi kalau di atas duapuluh orang, sudah mirip akting Charlie Chaplin. Dan kalau sudah di atas tigapuluh orang, wah, Charlie Chaplinnya-pun sudah kehilangan aktingnya!

Dan paling kasihan kepada para tamunya, sebab banyak terbengkalainya. Apalagi service siang, mereka mau cepat, karena jam-kerjanya hanya istirahat satu dua jam saja dari kantor dan toko serta perusahaannya. Sal bawah sengaja tak kami buka, sebab tak ada tenaganya, lagipula resto ini kami pusatkan sebagai resto malam, dan yang paling pokok itu malam hari.

Lalu tamu hotel di sebelah kami itu, lagi-lagi bertanya. "Apakah resto ini halal, tak ada masakan babinya?",- "Ya, halal, kami semua muslim, Islam semua", kataku. "Muslim yang juga sholat?", katanya lagi. "Saya sih tidak, kan masih termasuk musafir, mungkin boleh di kadho-kan", kataku. "Lalu apakah masakan ayamnya, sapinya, kambingnya adalah dari toko-daging yang muslim? Seperti toko orang Turki, atau orang Arab lainnya? Dan bagaimana cara potongnya? Sebab kalau Islam, seharusnya dipotong cara Islam, dan itu biasanya dari toko yang juga dari Muslim. Apakah resto tuan juga begitu?", katanya lagi. Dan barangkali wajahku yang memang tidak bagus alias jelek ini, sudah mulai bertambah buruk! "Ya, kami pesan dari perusahaan daging biasa saja, bukannya dari toko Arab atau Turki", kataku. Dan aku semakin gelisah, sebab para tamu lain juga sudah banyak yang menungguku buat pesan makanan, sedangkan teman lainnya sangat sibuk mondar-mandir antara sal dan dapur. Banyak sekali pekerjaan. Sedangkan tuan yang satu ini masih sibuk bersoal jawab tentang pemotongan ayam, sapi dan kambing apakah cara Islam atau lainnya.

Rupanya tuan ini dari Timur Tengah, tak usah kusebut nama negaranya, tak ada gunanya. Dan ketika para tamu sedang ramainya, aku minta maaf kepadanya, agar aku diizinkan melayani para tamu lainnya, sebab mereka sudah lama menunggu. Dan memang benar dilihatnya sendiri bahwa para tamu lainnya terhalang karena menunggu dia bersoal-jawab tentang makanan, pemotongan cara Islam atau tidaknya dan soal ikan hiu-cucut itu! Pada akhirnya dia hanya pesan nasi putih dengan saus kacang-tanah sebagai kuah sate dan gado-gado, lalu gado-gadonya. Dan itupun harus diantarkan ke sebelah, hotel penginapannya.

Begitu dia pamitan dengan pesanan itu, bagaikan orang terlepas dari himpitan sesak nafas yang sangat, aku mengurut dada, boleh bernafas panjang agak lama. Dan aku harus segera lagi sibuk dengan para tamu lainnya. Untungnya para tamu kami ini sebagian besar bahkan boleh dikatakan semuanya baik-baik, ramah-ramah dan pandai menimbang-rasa. Bahkan seorang pelanggan setia kami, yang bekerja di toko buku dekat resto kami itu, berkata "Ada soal rupanya, kok lama sekali diskusinya",- "Ya, selalu ada-ada saja, untungnya yang ada-ada saja itu sangat jarang. Kalau sering-sering aku pindah kerja di tokobukumu saja", kataku. "Eh, siapa bilang di tokobuku tak ada pembeli yang cerewet! Sama saja, hanya kadar dan nilai kecerewetannya lain-lain",- kata Serge nama teman setia kami itu.

Rupanya orang yang bekerja di service-public, selalu saja akan menemui ragam-macam orang yang bertipe begini. Akh, kalau tidak begitu dunia takkan ramai. Siapa tahu ada perlunya orang begini, agar ada tempat latihan-jiwa, latihan-sabar, latihan-syaraf. Jangan hanya mau berlayar di lautan-tenang saja, di mana tak ada ombak-besar dan angin-topan. Sekali-sekali kenalilah ombak-besar dan angin-topan, asal saja tidak sampai menenggelamkan kapal, demikian kataku dalam hati. Ya, sekali-sekali sih baik, tetapi kalau sering-sering, lalu bagaimana, kataku pula berdialog dengan diri sendiri,-

Paris 8 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.