Bab 120 :
Mengapa ke Belanda

Sejak tahun 1997 sampai sekarang ini, belum pernah saya tidak ke Belanda sampai tiga bulan. Artinya tidak pernah berada di Paris secara utuh selama tiga bulan. Pernah satu kali satu bulan ke Belanda, bahkan kalau memang perlu bisa dua kali sebulan, tergantung keperluan. Apa sih yang dikerjakan di Belanda itu, ada pertanyaan begini yang diajukan kepada saya.

Pertama, ada keperluan rapat atau pertemuan. Ada-ada saja rapat-rapat dan pertemuan. Kami punya YSBI, Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia. YSBI ini hampir setiap bulan ada rapat, dengan berbagai keperluan dan kebutuhan.

Kedua, ada keperluan belanja buat resto kami di Paris. Kami memerlukan berbagai bumbu, yang di Paris tidak ada. Dan hanya ada di Belanda. Kalau sampai tidak ada bumbu dan bahan-bahan keperluan resto itu, maka kami tidak bisa menjual bahan makanan tertentu.

Ketiga, ada keperluan kerinduan dan kekangenan, kepada anak-anak dan cucu-cucu dan juga kepada banyak teman. Teman-teman Indonesia, yang bisa saling kangenan dan kerinduan, bahkan agak sedikit ngelamun dan mimpi, kebanyakan ada di Belanda.

Tiga masalah inilah yang menyebabkan saya harus selalu ke Belanda setiap bulannya. Dan tiga perkara ini saling berkaitan. Yang mana nomor urutan pertamanya, tergantung pada yang melihat dan menyaksikannya, tapi ketiganya memang saling berkaitan. Ongkos tiket pergi pulangnya? Ditanggung sendiri, tak ada bantuan, tak ada dananya walaupun buat keperluan rapat penting sekalipun! Mana yayasan kami punya uang! Jadi darimana uangnya? Dari uang pensiun yang sangat kecil itu, dari kerja sambilan - gelap itu, dari sisa-sisa tabungan dulunya, yang pada suatu hari pasti akan ludas-das. Nah, bagaimana nantinya, bagaimana buat selanjutnya? Yang nanti soal nantilah, dipikirkan sekarang hanya akan memperbanyak persoalan yang tak pernah berkurang.

Naik keretanya selalu dengan Thalys, kereta-cepat. Beli tiket Thalys selalu harus dengan pesan-tempat, tidak bisa mendadak-sontak. Lama perjalanan sekitar 4 jam, Paris - Amsterdam. Dan ini keistimewaan Thalys, kalau terlambat dari jadwal, pihak Thalys akan membayar kerugian kepada kita! Saya pernah tiga empat kali terlambat keretanya, dan pihak kereta membayar denda. Tidak banyak, tapi lumayanlah, dari tiket seharga 700 francs, pernah menerima pembayaran sampai 140 francs, karena Thalys terlambat setengah jam dari jadwal kedatangan yang semestinya. Hebat kan! Kereta harus membayar kerugian kepada penumpang karena tibanya terlambat,- dulu sih mana ada!

Dan lagi ada kesukaan saya yang mungkin agak kekanak-kanakan. Saya sangat suka melihat mobil-mobil, sedan mewah dan yang jalannya cepat bagaimanapun, tetapi beberapa detik sudah jauh ditinggalkan kereta kami, Thalys ini. Mengapa? Karena kereta kami jalan melaju sampai 350 km satu jam, mana ada sedan secepat itu. Dan kalau kebetulan rel kereta agak berdekatan dengan jalan mobil, akan terlihat perlombaan yang sangat tak seimbang. Kereta bagaikan terbang, dan mobil-mobil dalam beberapa detik saja sudah jauh ketinggalan. Rasanya enak sekali dan bagus sekali pemandangan demikian. Dan saya sangat asik memperhatikannya.

Ketika dua atau tiga hari lagi saya akan pulang ke Paris, selalu saja ada tilpun dari Paris, resto kami. Biasanya tahulah saya, ini ada tugas lagi nih. Mbak Dini atau Mas Parto akan selalu berpesan macam-macam. "Jangan lupa ya Oom simon. Terasi cap-jempol, kalau dapat carilah terasi yang cap-jempol. Kalau sudah tak ada yang cap-jempol, ya apaboleh buat yang cap lain juga bolehlah. Lalu kencur-bubuknya, yang asli! Mbak Ros tak mau kalau tidak asli, tak mau kalau dicampur tepung beras, ingat itu, nanti nggak dipakai lagi kayak dulu itu, rugi restoran. Lalu kalau bisa kecap-manis, dan harus cap-bango dan yang botolnya plastik bukannya beling! Kalau benar-benar tak ada yang cap-bango, yang lainpun bolehlah daripada tak ada samasekali. Kecap ini buat keperluan kurawa, sebab Oom kan pakai kereta, jadi sulit membawanya. Berapa botol sajalah, asal ada. Lalu jangan lupa bawa kemiri, paling tidak satu dua kilo. O ya, lalu jangan lupa bawa tempe, nah, ini mungkin mau agak banyak, sebab banyak yang pesan sih. Tapi seberapa sajal asal Oom masih kuat bawanya",- demikian pesannya. Dan pesanan itu biasanya berentetan, harus dicatat sebab bisa lupa karena banyaknya dan jenisnya serta bungkusan maupun capnya.

Dan tidak aneh barangkali, yang namanya perempuan itu ada-ada saja maunya dan kurangnya. Ini termasuk anak-anak saya, isteri saya, yang almarhum dulu itu, dan juga ibu saya dulu juga begitu. Jadi, mengertilah kalau maunya itu harus sangat persis. Sudah kecap yang harus cap-bango, botolnyapun harus plastik pula, kan dirikita harus dua kali lihat, dua kali kerja. Yang namanya tempe itu, bukan main dikalangan kurawa menggemarinya, termasuk saya sendiri. Ada cemoohan kalau tak bawa tempe dari Belanda, " percuma lama di Belanda, tempe saja lupa bawa!". Kurawa adalah gelaran kami para pekerja dan pegawai resto, artinya orang-dalam, orang-sendiri. Mungkin ini nama wayang, tak tahulah saya.

Dan biasanya kalau kebetulan Bregas menantu saya itu ke Paris dengan mobil, maka bawaan akan cukup banyak. Selalu ada pindakaas, kacang-giling buat bahan saos gado-gado dan sate, kecap-manis sampai 5 drum, satu drumnya 10 liter. Bumbu kacang-giling itu sampai 7 kaleng, yang satu kalengnya 5 kg. Dan berbagai titipan lainnya, seperti kemiri, kencur, tempe, dan lain-lain yang tak kurang beratnya 100 sampai 200 kg. Tetapi kalau saya sendirian dengan Thalys, maka paling banyak beban itu 20 kg saja, belum lagi barang-barang saya yang lainnya, diluar titipan.

Barang seberat 20 kilo, sebenarnya tidaklah berat sangat. Tetapi kalau membawa-nya itu jauh jaraknya dan lama, maka akan terasa makin lama makin berat. Kami di resto saling suka gurau kalau disuruh atau harus mengangkat beras yang beratnya 25 kilo dari lantai bawah ke lantai dasar. "Berat sekali ya, habis barang mati sih, nggak bergerak. Coba kalau yang lain, seberat 50 kilo saja rasanya enak-enak saja mengangkatnya", sambil cekikikan mengucapkannya ini. Biasanya kalau didengar wanita yang bekerja di dapur, mereka pura-pura diam saja. Tetapi kalau dilirik sedikit saja, ternyata mereka juga senyum-senyum senang.

Dan begitulah kalau saya pulang dari Belanda, dua tangan dan dua bahu ini penuh bergerintulan segala macam sangkutan, ransel, tas, bungkusan dan bawaan lainnya. Rasanya bukan main berat dan tersiksanya. Dan saya langsung ke resto dari stasiun Gare du Nord menuju resto kami, yang cukup praktis karena bisa langsung tak jauh dari stasiun. Sesampainya di resto nafas sudah kembang-kempis, dan tenaga sudah mau habis. Tetapi begitu sampai kontan ditanya, dan yang ditanya duluan adalah : "Ada tempe sama kecap-cap bango nggak?". "Ada dong, siapa dulu yang nyariin!". Lalu saling pada senyum, karena berhasil apa yang dipesan. Sedangkan si pembawanya juga merasa senang karena tidak diperenguti orang.

Semua pesanan ini samasekali tak ada di Paris. Kami terpaksa titip dan pesan secara begini, sedikit-sedikit, dan berulang-ulang, tak bisa lain. Dan dengan cara begini, sudah kami lakukan belasan tahun lamanya, sejak resto berdiri pada tahun 1982. Maka akan terasa lengkaplah salinghubungan ke tiga perkara di atas tadi. Kalau memang ada undangan rapat ke Belanda, artinya bisa bertemu anak-cucu dan bisa belanja buat resto, dan sekaligus kangenan sama beberapa teman. Bisa lagi melihat dan menikmati pemandangan perlombaan tak seimbang antara kecepatan sedan dan Thalys yang bagaikan terbang melewati banyak benda-benda seperti pepohonan, gedung-gedung dan perkampungan.

Karena kebiasaan begini, sudah tiga tahun lebih, lalu bila sudah satu bulan lebih ada di Paris, belum juga ke Belanda, maka terasa, kapan ya berangkat ke Belanda. Ada teman-teman mengusulkan "mbok pindahlah ke Belanda, daripada mondar-mandir menghabiskan uang tak keruan. Tokh aktivitasnya banyakan di Holland ini. Lagipula semua anak-cucu kan sudah pindah semua ke Holland",- Ada benarnya kata-kata dan usul baik ini. Tapi rasanya saya belum mau sekarang ini. Nantilah kapan-kapan, itulah jawaban saya bila ditanya,-

Paris 6 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.