Bab 117 :
Hasrat Keluarga Zainab Pulang Kampung,-
bagian Satu,-

Zainab umurnya lebih 60, suaminya Amir sudah 68. Anaknya ada dua, yang tertua lahir di Jakarta, yang kedua ini di Moskow. Semua sudah berkeluarga, dan mereka punya cucu 4, bahkan salah seorang sudah beranjak menjadi remaja putri. Dan kalau cucunya ini nanti punya anak, mereka belum-belum juga bisa pulang, maka penamaannya bukan lagi beranak-bercucu di luarnegeri, tapi beranak-bercucu dan bercicit, tambah pangkat satu lagi. Keempat cucunya ini mana tahu soal tanahair, tanah leluhur, segala macam. Bahasa Indonesia saja tidak lurus, dan sudah banyak melupakan atau terlupa apa yang dikatakan yang serba tanahair dan kampunghalaman itu. Tapi Zainab sendiri bersama suaminya yang sudah lama pensiun ini, malah sangat sulit bisa melupakan Indonesia dan kampunghalamannya yang di Palembang itu. Ingat-ingat begini, Zainab sering-sering menghela nafas panjang, Oi mak nasib, dulu jauh di kampung dekat Komering, kini tersuruk di ujung Woerden, Belanda. Betapa perjalanan nasib dan sejarah orang perorang manusia berbelit dan berselukbeluknya.

Mak Zainab dan Pak Amir sering-sering juga kumpul atau sengaja mencari teman-temannya buat berbincang-bincang akan sesama nasib komunitasnya, sama-sama vloehteling, kaum pelarian politik yang sering-sering juga berkumpul. Dengan alasan arisan, paguyuban, kangen-kangenan, dan perayan-perayaan tertentu. Tidak bisa dilupakan, juga termasuk ketika upacara penguburan salah seorang dari komunitas mereka. Dulu hampir setiap bulan ada saja yang bermatian, karena sakitan, karena tua, siapa tahu tahu karena ngenes tak bisa-bisa pulang. Mungkin saja karena mati kerinduan, kekangenan, demikian pikiran Zainab. Seseorang bisa saja mati karena kekangenan dan kerinduan, demikian dia pernah berpendapat.Pada upacara penguburan ini biasanya pada bertemu, dan lalu melepas kekangenan. Karena yang datang ke upacara penguburan itu tidak hanya dari tanah Belanda saja, tetapi ada juga yang berdatangan dari Jerman, Swedia, Perancis dan Belgia. Dan itulah sebabnya ada suara yang menyatakan orang-orang yang berkumpul bersama-sama mengantarkan jenazah itu disebutnya kaum PKI, tetapi yang artinya Perkumpulan Kematian Indonesia. Ya, bisa-bisa saja menamakannya begitu, mungkin tak ada salahnya, tetapi mungkin saja ada dosanya.

Dari banyak pertemuan begitu, biasanya keluarga Zainab dan Pak Amir akan selalu tanya-menanyakan bagaimana tentang masalah pulang kepada semua teman-teman dan kenalannya ini. Teman-temannya ini ada yang sudah bertahun-tahun tidak saling bertemu, bahkan ada yang sudah belasan tahun bahkan puluhan tahun. Rasa rindu, melepas kekangenan antara teman senasib, sangat menggugah semangat pulang, kerinduan yang tak putus-putusnya terhadap kampunghalaman. Dan dari saling tanya-jawab, saling cerita begini, tahulah keluarga Zainab, ternyata yang mau pulang itu, yang sangat rindu kampunghalaman itu, cukup banyak. Bahkan sebagian besar punya keinginan pulang seperti dirinya juga. Tetapi yang dilihatnya, dirasakannya, ada perbedaan antara dirinya dan keluarganya dengan teman-temannya itu. Tak dilihatnya ada persiapan buat melaksanakan kemauan dan hasrat pulangnya itu. Sedangkan dirinya dalam keadaan siap, misalnya saja tahun ini akan pulang, okey-okey saja, mereka sudah siap secara teknis. Yang dimaksudkanya teknis itu adalah keuangan.

Diam-diam mereka cukup menyiapkan uang. Mengontrak rumah misalnya di Sumedang kampunghalaman suaminya, atau di sekitar Komering, Sumatra Selatan kampunghalamannya sendiri. Bahkan kalau perlu, termasuk membeli rumah, itupun mereka sudah menyiapkan keuangannya. Mereka bukan orang kaya, tetapi bagaimanapun selama puluhan tahun ini, karena keinginan dan hasrat yang begitu besar buat pulangkampung, tentu saja bisa menyisihkan uang buat itu semua. Dan lagipula, harga gulden kan sampai antara 3000 sampai 4000 rupiah per-gulden. Cukup punya walaupun tidak kaya.

Dan karena banyak tanya sana-sini itu, dan juga banyak mendengar cerita-cerita orang lain, bertambah yakinlah keluarga Zainab bahwa soal pulang kalau hanya dari segi keuangan, mereka bisa mengatasinya, tidak menjadi soal besar. Ada tanda-tanya besar pada diri Zainab, mengapa orang-orang lain itu yang sama-sama mau pulang, tetapi samasekali tak tampak persiapan nyatanya. Hanya kata-kata mau pulang saja, rindu kampunghalaman saja, tetapi samasekali tidak kelihatan persiapan pulangnya. Sedangkan mereka benar-benar sudah siap. Misalnya sebuah rumahnya sudah dijual, sedangkan rumah yang kini didiaminya, mereka kontrak-sewa. Dan anak-anak cucunya sudah samasekali tak ada hubungan teknisnya lagi, dan juga tak ada maksud pulang seperti dirinya. Mereka samasekali tak tertarik apa itu kampunghalaman, apa itu kerinduan, bahkan sudah lama tak mengerti dan lupa akan bahasa Indonesia. Tak tertarik akan hasil kerajinan-tangan dan hasil bumi Indonesia. Bahkan mereka benci bau durian, nangka apalagi bau cempedak yang tajam itu. Tak pernah merasa suka akan papaya, apalagi gudeg. Bahkan mereka mencibir kalau memperhatikan ibu dan neneknya membuat masakan Indonesia.

Cucunya tertawa-tawa lucu ketika neneknya membuatkan cucunya ini kue kebanggaan kampungnya, kelepon, dan ongol-ongol serta cucur. Pikir keluarga Zainab, sungguh sudah lain sangat anak-cucunya ini. Pak Amir lain lagi pembawaannya dengan isterinya Mak Zainab. Pak Amir tidak banyak cakap. Lebih banyak diamnya, tapi banyak menyetujui sikap dan maksud serta cita-cita isterinya. Yang penting baginya yalah : hari tua itu seharusnyalah di kampunghalaman, dan sekerat dua kerat tanah, atau rumahtangga milik sendiri, dan sebidang kecil tanah buat penguburan dirinya dan isterinya, itu saja sudah cukup. Pulang buat menikmati hari tua, dan buat dikuburkan di kampunghalaman,- titik itu saja. Dan ternyata maksud dan hasrat tuanya ini sama dengan isterinya, jadi apalagi gunanya banyak cakap lain,- demikian pikir Pak Amir.

Berkehendak mati dan dikuburkan di tanahair dan kampunghalaman sendiri, nyatanya banyak pengikutnya. Tapi lagi-lagi seperti terpikir pada isterinya Mak Zainab, kenapa mereka yang berkehendak sama itu, tidak tampak persiapan mau pulangnya. Tenang-tenang saja adanya. Tidak seperti mereka berdua ini, bahkan sudah menjual rumah buat modal cari rumah dan tanah, dan buat mati. Sampai sekarang mereka berdua belum sampai menanyakan hal ini kepada banyak temannya. Hanya baru menyimpan pertanyaan saja, mengapa selama ini mereka itu belum menyiapkan segala sesuatu seperti dirinya.

Tapi dari cerita-cerita dan omong-omong santai yang walaupun serius itu tak ada kata atau pesan yang kiranya berlawanan dengan kehendak mereka. Bukankah artinya mereka itu setuju dengan cita-cita dirinya? Beda pokok, orang-orang itu hanya pada kata-kata saja, sedangkan mereka sudah sempat siap sampai menjual rumah buat modal segalanya, termasuk yang terakhir : kuburan mereka berdua.

Melihat semua ini, timbul juga pertanyaan pada dirinya, ada apa ini sebenarnya? Mengapa ada kelainan antara persiapan mereka mau pulang itu dengan pernyataan teman-teman tuanya? Suatu kali mereka mau tahu apa sebabnya. Bukankah katanya kalau mau melangkah itu harus serentak, agar seirama? Yang ini, mau pulang ini lain lagi, tak ada bau-bau serentaknya. Pertanyaan dalam hati yang belum terkeluarkan ini, terus menerus menyembul kepermukaan buat diutarakan ke antara teman-teman senasibnya,-

Paris 4 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.