Bab 115 :
Wisata Janda dan Duda, bagian Tiga,- habis

Tanpa berunding dan kompromi lebih dulu, kami bertiga selalu mencari rumah-makan Cina. Dan restorant Cina selalu ada di mana-mana. Tentang cerita ini ada anekdotnya. Dua orang kosmonaut dari Uni Sovyet ( ketika itu ) dan Amerika Serikat, bertengkar di Bulan, siapa sebenarnya yang lebih dulu sampai di Bulan. Dalam pertengkaran itu masing-masing bertahan bahwa dirinyalah, bangsanyalah yang lebih dulu sampai di Bulan. Tak ada keputusan, akhirnya lelah sendiri dan merasa bosan dan terasa sangat haus dan lapar. Bagaimana mau cari restoran di Bulan? Tetapi tak jauh dari tempat mereka bertengkar tadi, mereka berdua melihat kepulan asap agak dari jauh. Tentu ada rumah orang barangkali. Mereka sangat gembira, dan lekas-lekas mendekati lokasi yang berasap itu.

Begitu didekati, memang sebuah restorant dan ada juga tulisan Cina-nya, ternyata sebuah restorant Cina sudah lama berdiri di Bulan itu! Mereka-pun berhenti bertengkar. Untungnya hal ini hanya anekdote saja, tapi ada hikmahnya, lain kali janganlah selalu menganggap dirinya yang paling duluan, paling hebat, paling nomor satu.

Penduduk Belgia lebih banyak menggunakan Bahasa Perancis daripada Bahasa Belanda. Karena itu dua saudaraku itu, selalu menyodorkanku bila ada yang harus berbicara kepada siapapun. Tetapi karena mereka berdua ini juga tahu dulunya aku belasan tahun di Cina, maka lagi-lagi mereka menyodorkanku agar menggunakan Bahasa Cina bila di restorant Cina. Dan petugas resto itu juga kebetulan mengerti Bahasa Cina Mandarin atau Kuo-yu. Sebab tidak sedikit pegawai dan petugas resto Cina tidak mengerti Bahasa Nasional mereka. Mereka hanya mengerti berbahasa Kanton atau dialek lainnya. Sedangkan aku dan kami dari Cina itu umumnya tidak mengerti Bahasa Kanton atau Hongkong. Bahasa Kanton dan Hongkong itu sama saja.

Di sini aku sangat menghormati Nunung, yang walaupun sudah tiga kali naik-haji, dan sholat secara teratur, tetap tidak fanatik. Yang paling penting yalah tidak makan babi, dan selalu kupesankan kepada petugas dan pegawai resto itu, agar bersih dari daging babi, karena kami adalah muslim, demikian kataku. Dulu ketika Ajip teman akrabku itu menginap di rumahku di Paris, dia hanya mau makan ikan saja, atau sayuran, ayam-pun ditolaknya, karena menyembelihnya tidak pakai bacaan bismillah dsb. Tapi itu hanya Ajip saja, sedangkan keluarga lainnya menerima buat makan ayam walaupun sembelihannya tak pakai bacaan Arab.

Ketika di rumah selama hampir dua minggu itu, aku selalu mengingatkan Nunung apakah sudah sholat, sholat magrib, isa dan sebagainya. Terkadang dia memang lupa atau belum teringat. Walaupun aku tidak sholat, tetapi apa salahnya mengingatkan orang lain buat beribadah. Ternyata saling menghormati begini juga banyak baiknya dalam pergaulan. Petugas dan pegawai resto Cina yang ada di Dinant dan juga di Bouillon, jauh di pedalaman Belgia, malah lebih dekat ke perbatasan Perancis, ternyata adalah orang Wenchow. Wenchow adalah suatu tempat di dekat Shanghai. Kebanyakan pedagang dan pengusaha restorant. Di Paris ada dua China-town. Yang terbesar di daerah 13, sedangkan yang agak kecil di Belleville. Tetapi di Belleville adalah daerah campuran, Cina, Yahudi dan Arab. Sedangkan di daerah 13, semunya Cina yang dari Cina, dan Vietnam, Kamboja dan Laos. Yang di Belleville kebanyakan dari Wenchow ini. Mafia mereka sangat kuat, solidaritasnya sungguh mengagumkan. Berita ada sebuah truk-gandengan, trailer yang menyelundupkan orang-orang Cina buat menyeberang ke tanah Inggris dari berbagai tempat, Russia, Cheko lalu melalui Belanda, yang matinya sejumlah 58 orang dari 60 orang, kebanyakan dari Wenchow! Truk-trailer itu ternyata sebenarnya buat membawa daging awetan, lalu dijadikan buat menyelundupkan manusia buat mencari kehidupan dan pekerjaan di tanah negeri kapitalis, yang pada akhirnya mereka sendiri yang jadi korban pengawetan.

Ketika kami jalan lagi meneruskan petualangan ini, terkadang kehilangan arah dan pedoman. Jalannya kecil, walaupun enak dan mulus, jarang ada kenderaan lain. Dan ketika kami sudah tidak tahu mau ke mana lagi karena kehilangan plank-nama tempat-penunjuk, tiba-tiba saja mbak Tati berhenti dan lalu mengubah arah. Ternyata ada bacaan dan tulisan "frontier a la France". Rupanya kami sudah akan memasuki wilayah Perancis, begitu jauh nyasarnya! "Kenapa kok jadi grogi mbak?", kataku, "kan nggak apa-apa, tak ada larangannya", kataku lagi. "Bukan soal itu, yang soal jangan sampai sampeyan melarikan diri ke wilayah dan kampunghalaman sampeyan. Kami kan masih perlu sampeyan. Agar kita selalu bertiga, maka saya hindari jauh-jauh itu wilayah perbatasan, agar sampeyan nggak sampai pulang begitu saja setelah melihat wilayah Perancis itu"; katanya sambil tertawa.

Dan aku baru tahu, itu tokh maksudnya. Aku tidak akan pulang "ke kampunghamanku kok", lebih senang bertiga begini, penuh gurau, gembira, dan selalu tertawa, kataku kepada mbak Tati dan Nunung. Dan kami terus lagi jalan, mencari daerah Spa, yang ada air-terjunnya, dan pemandangan yang sangat bagus. Perpaduan antara pegunungan, sungai dan lembah, di mana di tebingnya ditatah dengan bungalow, motel dan rumah peristirahatan yang kecilmungil. Tanaman berbagai bunga sangat semarak, penuh warna-warni, dan harumnya lembut menyebar sangat beraroma halus.

Pemandangan yang begitu banyak keindahannya, menyebabkan kami selalu berhenti buat berfoto. Ternyata mereka berdua sama kesukaannya, berfoto, dan pasang-aksi dengan berbagai pose turis. Dan aku selalu jadi tukangfotonya, photographer kagetan,- di mana tak ada rotan, maka akarpun berguna! Pada sebuah tempat yang agak aneh tetapi bagus, mbak Tati berhenti, minta diambilkan foto. Aku sempat mengamati lokasi yang mana yang mereka mau ambil. Ada sebuah jalan yang lurus menjauh, tetapi di ujungnya ada dua batu-tinggi yang bagaikan mengapit jalanan yang lurus itu. Dan mereka minta difoto tepat di tengah tembusan antara dua batu pegunungan yang tinggi menjulang. Jadi kalau dalam ilmu perfotoan, latarbelakangnya haruslah super-longshot, sedangkan mereka berdua sedapat mungkin dengan medium-close-up.

"Ya, di sini", kata mbak Tati sambil memperkirakan letak berdirinya dengan memperbandingkan jalan-lurus dengan dua batu-tinggi yang bagaikan tebing yang sangat curam itu, tetapi cukup jauh buat super-longshot. "Dik simon, jangan lupa, harus kelihatan lobangnya, harus tergambarkan", kata mbak Tati. Dan aku agak terhenyak atas permintaannya ini. Kubidik lensa, tak ada apa yang dikatakan lobang itu. "Apa yang mbak katakan lobang, tak ada kok lobangnya!", kataku. Dan lagi-lagi aku mengamati dengan seksama di mana lobangnya itu. Dan ketika aku benar-benar heran dan mencari di mana yang dikatakan lobang itu, sambil agak memiringkan kepalaku, dan batas mata ini menjulur ke bawah kedua badan mereka, lalu meledaklah tertawa mereka tanpa filter. Dan aku terlebih heran lagi.

"Dik simon harus lihat ke jauhan itu, itu lho antara dua batu-tinggi, bukannya badan kami yang harus dilihatin, kalau mau ngelihatan kami sih tak usah jauh-jauh begini susah payah cari tempat berfoto. Ngerti!". Dan aku lagi-lagi memperhatikan apa yang dimaksudkan lobang itu. Dan barulah aku tahu setelah dijelaskannya benar-benar apa maksudnya. Ternyata lobang yang dimaksudkannya itu adalah terowongan antara dua batutinggi itu. Kataku, itu mah terowongan bukannya lobang. Di katakan lobang, tentu aja beta jadi bingung!

Salahpengertian begini tidak hanya satu kali ini saja. Dan tidak hanya di kalangan kami bertiga saja, tetapi sering terjadi perselisihan antara kami di rumah di Holland. Mengapa? Karena soal bahasa semata! Karena kami dan mereka terlalu lama di luarnegeri, amat sulit menyesuaikan kebahasaan, terjemahannya atau tapsirannya sudah berbeda dan kurang cocok, kurang pas. Namun demikian, gara-gara berfoto harus kelihatan lobang itu, teringat akan kelucuan dan bahan tertawaan antara kami bertiga sampai kini.

Sesudah tiga hari kami di Holland lagi, aku menilpun mbak Tati. Dan suaranya sangat berat, sulit berbicara. Ternyata dia jatuh sakit. Sakitnya ini sudah dapat kami perkirakan, dia terlalu lelah-letih, suaranya hilang, dan batuk terus. Kami berdua Nunung menjenguknya dan lama di tepi tempattidurnya, berkelakar, menghiburnya, memberi dorongan semangat agar dia berangsur sembuh. Ketika kelakar sampai ke masalah lobang itu, meledak lagi tertawanya yang mulai cerah lagi. Rupanya dia sangat ingat peristiwa yang begitu lucu karena istilah itu, masaksih lobang segede terowongan. Semua mbak Tati yang mulai dan dia juga yang paling tertawa merasa lucu, tetapi mungkin akulah yang begitu bodoh dan nggak ngerti apa-apa!

Paris 2 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.