Bab 111 :
Suara Hati,-
bagian dua, habis,-

Hampir tiga bulan Wati di rumahsakit. Dalam pada itu aku setiap hari membezoeknya, dan anak-anak paling tidak dua kali seminggu menjenguk ibunya. Ibunyapun berpesan, biarlah papa saja sendirian, kecuali kalau kalian keesokan harinya libur atau tak ada pelajaran yang ditunda dan berat, bolehlah melihat mama, katanya berpesan kepada dua anaknya. Tetapi mereka tetap berhubungan tilpun antara rumahsakit dan kompleks Radio kami.

Penyakitnya bertamabah berat, sudah semakin kurus, dan setiap batuk selalu mengandung darah. Suatu kali dia bisa duduk dan ngobrol dengan kami. Ketika itu hari Sabtu, dan karena keesokan harinya libur, anak-anaknya turut membezoek ibunya. Mereka ngobrol dengan suara berat, mengandung kesedihan dan kerinduan pulang dan bergabung di rumah, bersama-sama berempat seperti dulu-dulu. Karena merasa agak sehat dan bisa duduk di ruangan umum, di mana ada televisi dan buku-buku bacaan, kami berjanji keesokan harinya, hari Minggu akan makan bersama di rumahsakit. Dan aku masak-masak buat kami berempat. Sesampainya di rumah, aku siap-siap ke pasar membeli bahan-bahan buat dimasak dan buat kami berempat besok.

Tapi kulihat Wita, anakku yang pertama samasekali tidak gembira. Bahkan di kamarnya kudapati dia menangis, menangis dengan sangat sedihnya. Dan adiknya Nita juga tampak sedih. Padahal bukankah besok kami akan berkumpul dan makan bersama? Kutanyakan kepada Wita, mengapa menangis, kan besok siang kita makan bersama mama?! Wita tampak sedih bukan main.

"Rasanya tidak mungkin, papa, sebab Tuhan akan segera memanggil mama", katanya sangat yakin. Dan aku tersentak kaget. "Bukankah mama sendiri yang minta dan menjanjikan kepada kita? Kau dengar kan tadi itu, mama ngomong agar besok hari Minggu kita makan bersama?". "Ya, tapi ada perasaan saya, maksud itu tidak akan kesampaian. Semoga saja bisa dan terkabul kita makan bersama. Tapi yang saya rasakan sekarang, rasanya takkan kesampaian", kata Wita tak ragu-ragu. Mendengar kata-katanya terasa sedih benar dalam hati ini. Mengapa anaknya sendiri berkata demikian. Aku tahu benar dan banyak peristiwa membuktikan bila dua anakku ini berkata dari hati sanubarinya, memang jarang meleset, biasanya tepat.

Tetapi bukankah ini masalah jiwa, dan jiwa-nyawa di tangan Tuhan. Tuhanlah yang menentukan dan memutuskan apa yang DIA mau dan tentukan. Segera perasaan sedih dan ragu itu kukikis, dan aku tetap akan masak-masak buat besok kami berempat seperti yang dijanjikan Wati kepada kami. Tetapi dalam pada itu setiap ada deringan tilpun, aku selalu syaraf! Terganggu, ragu dan gelisah. Kukira tahun sepanjang 1980 bagi kami adalah tahun-tahun duka dan penuh kesedihan. Dan ternyata deringan tilpun yang sangat mengganggu syarafku itu, tidak berbuyi untuk yang satu itu. Tetapi entah bagaimana dan mengapa, pagi-pagi sekali ada suara ketukan di pintu kami dan memanggilku. Pagi itu jam 05.00 pagi, dan begitu kubuka, Siao Lie, pegawai Radio, penyiar yang juga muridku mengatakan agar aku dan anak-anak diharapkan datang segera ke rumahsakit. Wati dalam keadaan krisis berat.

Tak tahu bagaimana menggambarkan perasaan kami bertiga ketika itu. Kulihat Wita malah tampak agak kuat, dan tahu serta mengerti lebih dulu bahwa peristiwa puncak kesedihan ini hari ini akan membalut dan membungkus kami. Dan begitu sampai ke rumahsakit, Wati sudah koma, dan tak bisa bicara lagi. Snur, dan segala peralatan aparat jantung, cardiogram dan sejenisnya sudah silang-siur di atas badannya. Beberapa dokter mendatangi kami, mengatakan berita-acara sakitnya sejak malam itu. Dan akupun mengerti sudah, apa yang harus segera kami kerjakan. Kuminta anak-anak segera kembali ke rumah agar menyiapkan pakaian mamanya, kain sarung dan kebaya yang selalu dipakainya ketika upacara kenegaraan. Juga peralatan lainnya seperti melengkapi pakaian resminya ketika resepsi-resmi.

Dan anak-anak segera berangkat ke rumah. Sekarang yang kami pikirkan bukan lagi kesedihan itu, tetapi bagaimana mengurus jenazahnya nanti. Dan dokter sudah mengatakan bahwa sikap dan tindakan kami sangat tepat dan beralasan serta ilmiah. Tampaknya dokter mengkhawatirkan kami kalau-kalau tidak bisa menahan diri dan mengatasi keadaan. Sesudah mereka melihat gerak-gerik kami, mereka merasa bebannya terlepaskan. Dalam pada itu aku berdoa dipinggir ranjangnya, dan juga berdoa agar Wati menunggu anaknya mengambil pakaian resminya. Kulihat matanya sangat kecil memandangiku. Tanpa bicara sepatah katapun, dan nafasnya sangat berat. Jalan garis-garis cardiogram, terkadang melurus saja, terkadang berbelok-belok, terkadang malah macet!

Aku bersukur karena dua anakku datang dan langsung mendekati mamanya dan memeluk mamanya. Wita dan Nita menangis mengisak sangat berat. Jalan kardiogram pelan dan tampaknya keadaan krisis-puncaknya. Kami bertiga memegang dan memeluknya. Dan kami bersukur kepada Tuhan, Wati melepas nyawa dalam pelukan kami bertiga,Inna Lillahi wainna Illahirajiun betapa bahagianya dia!Meninggal dalam pelukan, anak-anak dan suaminya. Semua sudah siap, baik para dokter dan pihak kantor kami, Radio Beijing, maupun pihak Perumahan Akhli-Expert. Pihak tuanrumah kami sibuk mengurus pemakaman, perlengkapan dan semua yang berhubungan dengannya.

Sorenya banyak sekali orang-orang datang ke rumah kami. Dan tuanrumah mengatakan bahwa akan dikebumikan pada tanggal 5 September 1980, dia meninggal pada tanggal 31 Agustus hari Minggu. Jadi seperti kata anaknya Wita, memang benarlah kami tak sempat makan bersama lagi hari Minggu itu. Dan kami begitu sesudah penguburannya akan liburan musimpanas, karena terlambat, terhalang oleh musibah ini. Dan malamnya, aku sangat heran dan sampai kini sulit terpecahkan. Malam itu tidurku sangat nyenyak, lelap luarbiasa. Kenapa? Mungkin selama tiga bulan Wati sakit dan di rrumahsakit, tidurku selalu kurang dan syarafku sangat terganggu, gelisah, resah dan sangat sedih. Memikirkan banyak persoalan. Masa depan yang suram, yang tidak tahu ujungpangkalnya. Harus pergi dari Tiongkok, tetapi belum tahu mau kemana dan kapan persisnya. Mungkin ketika itu kegelisahan dengan meninggalnya Wati ada sebagian pikiran dan beban sudah selesai. Wati tidak menderita lagi, takkan kulihat lagi dia meregang badan dan paru-parunya karena setiap batuk selalu keluar darah segar terkadang kental. Dia sudah melewati krisis sakit dan penderitaannya.

Dan kami mengantarkan dengan memeluknya bertiga. Yang dulu kami selalu berempat kini tinggal bertiga. Puncak kesedihan kini ada pada kami, mungkin sementara ini belum ada puncak baru, dan kami berada pada dataran puncak tertinggi itu. Dan karena pendakiannya sudah kami lewati, maka yang mendominasi kami kini adalah pikiran bukan lagi sepenuhnya perasaan seperti ketika Wati sedang sakit-sakitnya. Mungkin karena itu semua, tidurku pada hari pertama Wati meninggal itu bukan main justru nyenyak dan lelapnya. Aku merasakan bahwa kami sudah mengantarkannya ke depan Tuhan, dan memohon agar Tuhan menerimanya sesuai dengan amal perbuatan isteriku dan ibu kedua anakku.

Apa sekarang? Persiapan pemakamannya. Dan sesudah itu kami akan ke Selatan, ke Selatan membawa dan melarikan duka nestapa seperti yang kutulis dalam sebuah puisi-duka:

PERJALANAN DUKA

Kereta melancar senja
ke Selatan
membawa duka-nestapa
kelap-kelip lampu berlarian
duka tiba pada puncaknya
seminggu kini tambah terasa.

Matamu yang sayu
lama tak beranjak menatapku
tak sepetah kata terucap.

Aku tahu, mama
dengan matamu kau pamitan
lalu jantung itu berhenti
dua putri kami kehilangan ibunya
aku ayahnya kehilangan isteri.

Aku tahu, mama
kaupun takkan rela
seandainya aku masih juga
mendekat-dekat ke lautan itu
berenang-renang dalam lautan duka.

Aku sungguh hapal dirimu
beruntunglah anakku mempunyai kau
sebagai ibunya
yang selalu berlapang-dada
luhur, jernih, selembut sutra
tapi malanglah kami bertiga
hanya kenang membenam duka.

Kereta melancar senja
ke Selatan, ke Selatan
melarikan diri
membawa duka-nestapa.-
------------------------------------Beijing November 1980,-

Setelah kami sepuluh tahun hidup di Paris, kami datang ke Beijing, tahun 1990 musimpanas. Ketika kami pergi dulu, anakku Nita masih gadis remaja. Kini kami datang dengan anaknya, gadis kecil, Laura, cucu-pertamaku. Dan kami bertiga ziarah ke kuburan Wati, sudah tiga generasi, cucuku yang tak pernah mengenal neneknya, tetapi selalu tahu menujukkan mana neneknya kalau dalam setiap foto yang ada gambar neneknya, ibunya Laura dan aku kakeknya. Kami nyekar dan berdoa bersama. Terkenang dulu ketika mau berangkat dari Kemayoran bulan desember 1963, mengapa Wati menangis begitu berat! Rupanya dia tahu, berangkat buat tidak kembali lagi ke kampunghalamannya di Aceh, di Tapaktuan. Dan kami bersalaman sangat erat dengan Bung Nyoto yang mengantarkan kami, yang kini juga sudah tak tahu di mana kuburannya. Sedangkan bang Amat sudah lebih dulu hilang dan terbunuh oleh penguasa militer. Sungguh berat dan tragis nasib tiga generasi kami ini. Tapi namun demikian, kami sangat besar kemauan hidupnya, semangat kami menyala terus walaupun kalian terus berusaha memadamkannya, dan bermaksud membunuhi kami secara tumpas-kelor sekalipun. Kami tidak dendam, tidak memendam dendam, dan tidak memeliharanya tetapi kami patutlah selalu waspada, mungkin eling kata orang Jawa.

Paris 6 Juni 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.