Bab 109 :
Sedan Nomor 13 dan 15

Pada umumnya kami sekeluarga menyenangi musik. Suka musik bukan berarti pandai bermusik, nah, ini saya ini. Saya sangat suka musik, tetapi sangat bodoh dalam hal memainkan alat musik, dan matapelaran menyanyi angkanya sangat jelek. Berlainan dengan adik saya Hasan. Dia punya bakat musik yang tebal, dan saya kira kalau dia teruskan belajar musik secara baik, tentulah arah kehidupannya akan lain daripada sekarang ini. Tentulah dan siapa tahu dia menjadi violis yang terkenal atau komponis yang handal. Ketika dia sedang belajar viol dulu itu, pernah saya secara iseng-iseng menggesek biolanya, mau turut belajar juga. Dia melihat dan memperhatikan saya.

Lalu saya mulai menggesek. Tapi aneh, jari saya menekan snar lain, tetapi yang keluar bunyinya adalah snar lain! Dan Hasan tertawa sambil juga dongkol, karena bakal muridnya kebangetan begoknya. Sebab snar yang saya tekan, justru tidak saya gesekkan, dan snar lain yang tergesek, tentu saja tidak nyambung apa yang dimaksud. Begitulah kelemahan saya dalam bidang instrumental.

Bang Amat kalau sudah mendengarkan lagu-lagu klasik, wah, bisa lupa makan. Dan dia biasanya berdua dengan adik saya, Hasan. Hasan tinggalnya di Galur, Senen dekat Tanahtinggi, bersama bang Amat sekeluarga. Dalam urusan musik dan musik klasik, rupanya bang Amat sangat cocok dengan adik bungsunya ini. Diam-diam sebenarnya bang Amat sangat menyenangi Hasan karena punya bakat musik ini. Mereka bisa berdiskusi panjang dan lama sekali mengenai musik dan sekitarnya. Berbagai komponis, musikus, dan riwayat hidupnya mereka saling cerita dari berbagai macam bacaan dan literatur. Pernah aku turut mendengarkan, memang sangat asyik. Kita jadi tahu bagaimana karakter para musisi dan komponis itu.

Semisal Paganini, Mozart anak ajaib itu, dan Beethoven yang tuli itu namun karyanya abadi, sangat asyik mendengarkan cerita dua orang itu. Di sini aku menilai, ternyata bang Amat bukan hanya sebagai politikus ulung yang dapat menyatukan berjuta-juta massa rakyat, dan 25 juta keluarga PKI, tetapi juga pandai dan trampil menghargai musik.

Kebanggaan dan kebahagiaan bang Amat berkembang subur ketika pada suatu hari beliau diundang oleh Yayasan Musik Indonesia buat menghadiri pertunjukan kwartet. Dan kwartet itu ternyata membawa cerita panjang. Dua bersaudara Embut, Mokhtar Embut dan Syafei Embut bersama dua violis, Thio Djin-tjin dan Hasan, adik bungsunya sendiri! Mokhtar dan Syafei Embut ketika itu sudah masuk golongan musikus nasional, sudah mengambil tempat dan tercatat dalam sejarah musik Indonesia. Bagaimana beliau takkan bangga dan senang, sebab salah seorang diantara pemain kwartet itu adalah adik bungsunya sendiri!

Mendekati pertunjukan, saya datang ke Galur bertemu Hasan dan Bang Amat. Mereka katanya sekeluarga akan menonton dan akan bermobil sedan nomor 13 itu, mobil resmi menteri. Wah, Hasan akan diantar dengan sedan menteri nomor 13 itu, bayangkan kata saya dalam hati. Karena sebenarnya saya juga turut senang, bahagia dan bangga.

Ketika hari itu, lagi-lagi saya datang siang-siang. Sorenya akan sama-sama melihat pertunjukan di Gedung Kesenian Pasar Baru. Tetapi rupanya sedan itu sudah cukup penumpang, sehingga saya tak dapat tempat. Dan pokoknya saya harus bersepeda dengan sepeda tua-reot yang sehari-hari menemani saya. Itupun tak apalah, akan menonton permainan musik saja sudah sangat senang, dan apalagi yang turut mainnya adalah adik saya. Dan bersama dua orang musikus nasional lagi. Bang Amat dan sekeluarganya berpakaian sangat rapi, menonton sebagai undangan menteri, menghadiri pertunjukan kwartet yang dipersembahkan oleh Yayasan Musik Indonesia, dan sebagai tambahan kalimat dari saya : yang turut main, adiknya lagi!

Karena aku bersepeda, jadi aku berangkat duluan. Ketika hampir dekat persimpangan Gunung Sahari menembus jalan dari Jalan Garuda, sebuah mobil dari jauh dan di belakang tampak sedan nomor 13. Nah, itulah Bang Amat dan Hasan sekeluarga. Mendekati akan melewati sepeda bututku, tiba-tiba Hasan mengeluarkan kepalanya dari jendela sedan, sambil berseru lantang : "hallo.......hallo......Hallo, bang Yom, hallo.......hei", katanya berseru kepada saya. Saya tahu, maksudnya lihat ini gue naik sedan menteri, lu hanya pakai sepeda tua! Lalu saya juga teriak keras : " Tai kucing kaulah! Mentang-mentang naik sedan menteri, gua pakai sepeda reot!", kataku dongkol didahului mobil mereka.

Dan hari itu kami sungguh menikmati pertunjukan musik klasik ringan, yang notabene turut dimainkan adik kami. Kalau tak salah ingat, mereka membawakan petikan Mendelsohn, Mozart, Bella Bartok, Paganini. Dan tentu saja dan normal, kami memperhatikan gesekan biola Hasan. Menurut kami, baik, dan sudah reprensentatif buat pertunjukan di kalangan terbatas undangan seperti ini. Kelihatannya permainan mereka sangat kompak, tenang, bersih dan menguasai keadaan dan suasana. Sehingga bis berkali-kali. Ternyata mereka berempat juga sudah siap cadangan bila di bis berkali-kali.

Hari itu saya merasa sangat senang, karena bang Amat terlihat puas sungguh dan apalagi Hasan adik saya itu, banyak disalami keluarga, teman-temannya, dan para gurunya dari Yayasan Musik. Banyak juga rupanya orang tahu bahwa pemain viol yang satu itu adalah adiknya bang Amat, sehingga orang lain juga turut menyalami bang Amat karena adiknya ini, padahal sebenarnya tak ada urusan sama semua itu!

Lalu, nah, ini termasuk saya kebagian. Kami makan malam di sebuah resto yang sudah terkenal enak masakannya. Perlu saya perkenalkan lagi, keluarga kami ini memang suka makan enak, karenanya kami pada umumnya berbadan samasekali bertentangan dengan istilah kurus!

Dan ada lagi yang mau saya ceritakan. Soal sedan itu. Tadinya bang Amat dapat sedan menteri nomor 15. Tetapi Pak Idham Khalid yang dapat nomor 13, tidak begitu senang dengan nomor "sial" itu. Lalu menawarkan kepada bang Amat, apakah dia mau dan rela bertukar dengan sedannya yang nomor 13 itu, dan bang Amat pakai nomor 13. Bang Amat mana dia percaya akan takhyul dan mistik. Dan mau saja, rela saja. Apalagi ketika itu sedang semangat nasakom, dan Pak Idham yang a itu, tentu saja disambut kom dengan baik dan ramah. Maka bertukarlah sedan nomor 15 ke 13, dan 13 ke 15. Itulah kisah sedan nomor 13. Tetapi wahai para pembaca, adakalanya untung tak dapat diraih dan malang tak dapat dielakkan. Tak berapa lama, Pak Idham menggunakan nomor 15 yang bekas punya bang Amat, lalu terjadi tubrukan yang merusak kepala sedan cukup berat. Untung saja penumpangnya dan Pak Idham ketika itu tak ada dalam mobil itu, hanya sopirnya saja.

Sedangkan sedan bang Amat yang nomor 13 itu aman-aman saja, selamat-selamat saja sampai kedetik peristiwa Gula Tigapuluh Sekilo ini. Yah, hanya nomor saja dan berbeda dua nomor saja. Bang Amat tidak kecelakaan mobil, tapi jauh lebih dahsyat dari kecelakaan manapun. Karena kecelakaan nasional, sejarah-gelap bangsa akibat sapuan-bersih, tumpas-kelor Suharto-Abri terhadap kami, terhadap teman-teman kami, keluarga kami, sahabat kami dan banyak rakyat, telah membawa kami yang sampai kini tidak bisa pulang ke kampunghalaman sendiri. Dan yang telah menjadi korban lebih dari satu juta jiwa. Ini lebih dahsyat dari kecelakaan manapun. Dan lagi pula akibat dampaknya, sampai kini kita rasakan semua, termasuk para pembaca Serba-Serbi ini,-

Paris 5 Juni 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.