Bab 100 :
Perubahan

Hasan, adik saya itu, lebih lama lagi baru bisa datang ke Jakarta dan kampunghalamannya. Saya selama 30 tahun barulah bisa datang ke kampunghalaman, sedangkan Hasan selama 36 tahun barulah bisa menjenguk kaum keluarga dan ziarah ke pekuburan Emak dan Ayah. Beberapa negara pernah ditinggalinya, ini baru orang kelayaban benaran, walaupun juga sama saja dengan saya. Tiga negara dilahapnya sekaligus, Uni Sovyet ( ketika itu ), Vietnam, dan Holland, hidup selama 36 tahun di sana, dan entah sampai kapan lagi jadi orang kelayaban.

Ada kesamaan saya dengannya. Begitu sampai ke Belitung kampunghalaman tempat kelahiran kami, tak seorangpun yang menawari menginap di rumahnya! Keluarga yang dekatnya bagaimanapun, sama-sama pura-pura tidak tahu dan tidak ambil-perduli, seolah-olah ya harus tahu sendirilah. Tentu saja maksud kami-pun samasekali tidak ada maksud buat membebani keluarga dengan mau menumpang menginap. Semua hal-perihal sudah kami perhitungkan, termasuk semua biaya hotel dan perjalanan dan segalanya. Jadi persoalan tak ada tawaran menginap itu hanyalah dari segi kekeluargaan dan kekerabatan saja. Rasanya masaksih sudah pulang ke kampunghalaman tempat kelahiran, tidak ada yang menyambut, tidak ada yang menawari menginap dan makan di rumahnya. Yang padahal keluarga masih banyak, masih tetap dekat, dan masih ada keturunan darah sekeluarga.

Tapi hal itupun tetap saja masih bisa dimengerti, masih bisa dipahami. Orang-orang masih pada takut, kuatir, jangan sampai dianggap, dituduh, dituding tidak bersih lingkungan. Sedangkan kami ini dianggap, barangkali "sumber lingkungan yang tak bersih itu"! Tidak soal. Ini menandakan betapa hebat dan merasuknya itu racun yang ditanamkan Orba dan Abri.

Tapi yang saya tidak mengerti, lebih-lebih Hasan dan isterinya, mengapa tiba-tiba mereka diminta meninggalkan Tanjungpandan Belitung secara tiba-tiba, mendadak. Ketika itu Hasan dan isterinya masih enak-enak beristirahat di tepi pantai Tanjungkelayang, menikmati keindahan alam yang sangat nyaman, indah dan tenang. Mereka baru saja dua hari dan masuk hari ketiga di tepi pantai yang indah itu. Dengan pasir putih dan deburan ombak yang jinak, dan angin semilir yang manja, tiba-tiba ada seseorang yang datang mencarinya. Dikatakan ada tilpun dari Jakarta agar segera kembali ke Jakarta, sangat urgent!

Tentu saja Hasan dan isterinya menjadi heran, terkejut, tak habis pikir. Seperti peribahasa kampung kami, tidak ada angin, tidak ada hujan, tahu-tahu saja menggeledek petir sambar menyambar, ada apa ini? Usut punya usut, panggilan dari Jakarta itu adalah dari abangnya, abang kami yang tinggal di Depok, lepasan Pulau Buru selama 13 tahun di sana, disamping juga lulusan Lumumba, Moskow.

Tentu saja tambah marah dan dongkollah Hasan dan isterinya. Dan sayapun pada mulanya juga turut-turut marah dan menyalahkan Murad abangku itu. Dalam hati sangat keterlaluan si Murad ini! Tetapi seperti biasanya kebanyakan orang yang sedang marah, emosinya duluan yang jalan, sedangkan pikirannya di belakang! Dan lama sesudah itu, barulah jernih persoalannya, dan jelas darimana sumber pemanggilan agar segera kembali ke Jakarta itu. Tadinya sudah sampai kami berpikir, pastilah hal ini ulah tentara, serdadunya Suharto. Agar Hasan segera meninggalkan Belitung, ke Jakarta dan lalu segera pulang ke Holland! Bukankah ini suatu pengusiran? Suatu persona-non-grata yang tidak tertulis, yang sebenarnya adalah suatu pencekalan?

Ketika keadaan sudah agak tenang, di mana pikiran dan penalaran sudah di depan sedangkan emosi sudah mengambil tempatnya yang tepat, barulah kami tahu. Seorang yang boleh dikatakan menjadi penjemput, penunjuk jalan, yang selalu menyertai kami, ketika itu Hasan dan isterinya, adalah termasuk keluarga dekat kami. Namanya Hamdani. Hamdani inilah yang cepat dan segera menilpun Murad di Jakarta agar segera memanggil Hasan buat lekas kembali ke Jakarta, dan pulang ke Holland. Kenapa? Dia pernah ditanya oleh pihak kepolisian, siapa turis yang dalam hari-hari ini yang selalu disertainya itu? Pertanyaan ini rupanya buat Hamdani sudah menjadikannya sumber ketakutan yang amat sangat. Polisi itu hanya mau tahu, dan hanya bertanya begitu saja. Orang-orang kampungku selalu akan bertanya semua hal-ihwal yang mereka merasa asing, merasa mau tahu. Sedang kampung kami itu kecil lingkungannya, semua pada tahu, semua pada mau tahu. Kata orang-orang, di sini jarum jatuhpun kedengaran dan ketahuan, begitulah ibaratnya.

Rupanya bagi Hamdani, ini dirasakannya sebagai suatu isyarat bahwa mereka pihak kepolisian dan juga ketentaraan, sudah mengetahui keberadaan " si sumber tidak bersih lingkungan" itu, berada dikampung halamannya sendiri. Bagi Hamdani, ini dirasakannya bagaikan bom-waktu yang sebentar lagi akan meledak, akan sangat membahayakan. Dapat dimengerti sepenuhnya, apalagi kalau kita mengetahui riwayat sejarah Hamdani ini. Beberapa tahun yang lalu Hamdani terpilih menjadi wakil DPRD Belitung, dari KNPI. Ingat, KNPI itu kan anakbuahnya Golkar! Sebenarnya sangat baik buat Hamdani, harapan smooth sangat besar. Tapi ternyata lain. Setelah di cheque dan recheque, dilitsus, Hamdani ini termasuk tidak bersih lingkungan. Karena pamannya anggota PKI dan matinyapun di Tiongkok. Lalu paman lainnya, sepupu pamannya, adalah orang pertama PKI, bukan main bahayanya! Lalu, tentu saja, Hamdani didepak keluar KNPI, dan tak jadi duduk sebagai wakil rakyat Belitung di DPRD! Dan Hamdani harus keluar dari semua bagian pemerintah, harus keluar dari jadi guru SMP pemerintah! Padahal pilihan secara demokratis cara dan ketika itu, sebenarnya Hamdani sah dan tepercaya, tapi yang paling berkuasa dan menentukan adalah perangkat perang militer Orba dan Abri.

Maka semakin jelaslah dulu itu, siapa yang tiba-tiba memanggil Hasan sekeluarga agar segera pulang ke Jakarta dan terus ke Holland. Yang memanggil dan merekayasa pencekalan itu adalah keluarga sendiri, darah sendiri, sepupu sendiri. Saya lebih-lebih berusaha meyakinkan adik saya itu, agar kemarahan yang dulu itu, tidak usah dipersubur. Hilangkanlah, tanamlah, buanglah. Kita semua seharusnya bisa mengerti dan memahami keadaan trauma yang begitu merasuk dan tertanam dalam di hati banyak orang.

Dan lebih-lebih baru-baru ini ada cerita dan pesan bahkan surat dari kampung, abang kami sendiri Murad, sudah pulang ke kampunghalamannya, di tempat kelahirannya, setelah lebih 40 tahun tidak pulang. Katanya kaum keluarga sekarang ini sudah berani mengundang buat menginap, mengundang makan, dan katanya lagi, mungkin juga ada sedikit dilebihkan, pada rebutan ingin jadi tuanrumah. Banyak yang minta agar menginap dan makan di rumahnya, setiap hari selalu ada undangan makan, pesta keluarga. Dan ramai dengan sukacita, bernostalgia. Dan dimasukkan juga kejadian yang kami alami bersama adikku Hasan itu. Katanya lagi, mereka minta maaf dan agar bisa memahami semua keadaan ini. Dan, katanya lagi, kapan Hasan dan Bang Yom akan ke Belitung lagi? Kami harap datanglah dan menginaplah di rumah kami. Orang-orang yang mengatakan ini, pada mulanya malah seakan-akan ketika itu tidak mengenal kami. Tapi kini pada mengajak dan mengundang menginap dan makan bersama, pesta keluarga.

Saya dalam hati, benar-benar mengerti dan memahami. Soal ada rasa kesedihan mendapat perlakuan begitu dulu itu, sudahlah, lupakanlah. Kita hidup menuju ke depan, lupakan dan jangan sampai dirasakan benar apa-apa yang sudah terjadi di belakang. Tidak perlu menyimpan dendam, tidak perlu memendam kemarahan dan kebencian, apalagi di kalangan sendiri, keluarga dan sahabat. Kukatakan juga kepada adik saya Hasan, walaupun tampaknya sangat berat, dan itupun saya juga mengerti. Sakitnya Hasan ketika diperlakukan yang sebenarnya sebuah pengusiran itu, justru datangnya dari keluarga sendiri yang cukup dekat. "Sudahlah San" kataku pada suatu hari. "Maafkanlah mereka. Anggap saja begini ini, secara seloroh dan agak gampangan,- kita ini apalah, sedangkan presiden Gus Dur saja, berani minta maaf dan berani memaafkan. Dari segi gampangan itu saja dulu. Jangan memperbandingkan yang lainnya, sebab kalau diperbandingkan, payah. Sebab Gus Dur kan tidak mengalami apa yang kita alami. Keluarga kita lebih 60 persen dibunuh atau dipenjara atau mati karena siksaan. Dan sampai kini di mana kuburan Bang Amat, tidak seorangpun yang tahu. Tapi dengan adanya sedikit perubahan sekarang ini, bolehlah kita mulai memajukan perubahan itu agar lebih besar lagi", kataku seperti orang berkhotbah saja layaknya. Tapi adalah benar, apa yang kukatakan itu, mau kulakukan, siap kujalankan, dan hanya itulah yang aku bisa dan mampu.-

Paris 24 Mei 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.