Bab 10 :
Dua Wajah yang Kukenal
Dua Suara yang Kuhafal

Ketika kami berada di lapanganterbang Buluhtumbang, Belitung, untuk pulang
ke Jakarta, dan mendekati
keberangkatan pesawat, banyak sekali orang-orang yang kulihat mengantarkan
kami. Kutanyakan pada Si-
han, ponakanku dan juga pengantar kami, siapa mereka. Sihan menjawab,
hampir semua mereka adalah keluarga kita, katanya, dan memang mereka
mengantarkan keberangkatan kami pulang ke Jakarta dan Paris. Lalu kenapa
ketika mau berangkat begini, barulah mereka muncul. Sebab ketika kami di
hotel selama 5 hari itu, banyak wajah yang kini sulit aku mengenalnya, dan
rasanya banyak yang tak pernah datang ke hotel. Dan kutanyakan lagi pada
Sihan siapa di antaranya. Para pengantar itu tidak bisa mendekat dan kami
tidak bisa lagi ke luar, karena sudah dalam daerah tertutup dan terlarang,
karena sebentar lagi para penumpang akan masuk pesawat. Jadi antara yang
mengantarkan dan yang diantar, hanya berpandangan dari jarak beberapa
meter, hanya saling melambaikan tangan, dan saling senyum-senyum. Lagi-lagi
kutanyakan pada Sihan, siapa-siapa mereka. Dan Sihan menunjukkan seseorang
yang agak tua, yang beda umurnya sekira 3 a 4 tahun denganku. Dan dia dari
jauh melambaikan tangannya, senyum, dan berkata dengan mulut komat-kamit.
Tentu saja kami saling tak bisa mendengar, hanya bisa saling melihat.

"Coba Pak De perhatikan benar-benar, yang berkudung putih itu siapa? Apa
Pak De masih ingat?", kata Sihan. Dan aku lama memperhatikannya, sambil
melambaikan tangan, dan membuka mulut tapi tak satu terucapkan dengan
suara.
"Sihan, aku tahu dia, tapi kira-kira saja. Apakah dia bukan tantemu, Bu
Ngah Hamimah?", kataku. Sihan hampir menjerit karena tak disangkanya bahwa
aku telah dengan tepat mengatakan hal sebenarnya. Malah sekarang Sihanlah
yang kulihat berwajah redup, lalu Hamimah yang sudah jadi nenek itu, dari
jauh tetap melambaikan tangannya padaku, dan kami saling berkata dengan
gerak-gerik tangan, wajah dan muka, tanpa bersuara. Hamimah adalah adik
dari ibu Sihan, dan ibu Sihan serta Hamimah ini adalah anak dari adik
ayahku, jadi kami sepupu. Ayah hanya dua bersaudara saja, dengan adiknya
wanita bernama Zahara. Dan menerawanglah kenangan lama yang ternyata
Sihanpun pernah diberitahukan oleh Bu Ngah Hamimah ini. Pernah orangtua
Hamimah, Pak dan Bu Lik Zahara mengatakan kepada ayahku, bagaimana
sekiranya anak kita ini dijodohkan. Ayahku sebenarnya tidak begitu setuju,
tetapi karena ini adalah harapan adik kandungnya, dan lagi karena sesaudara
tetapi silang tidak sejajar, karena laki-laki dan perempuan, maka
pernikahan itu sah-sah saja adanya kalaupun semua sudah bersetuju. Kepada
kami, Hamimah dan aku, juga dikatakan harapan orangtua kami itu. Mereka
sangat tahu bahwa kami ketika kecilnya sangat dekat dan berkawan, abang dan
adik. Begitu mendengar harapan itu, maka perkawanan kami malah menjadi
tidak seerat dulu lagi, sudah saling malu dan menjauh. Tetapi kami saling
tahu dan
bersepaham, bahwa kami tidak punya perasaan lain, hanyalah benar-benar
seperti abang dan adik. Lalu bagaimana bisa dijodohkan begitu saja. Kami
merasa tidak mungkin, tidak ada alasan, antara kami tidak ada perasaan lain
sedikitpun. Akhirnya kedua orangtua kami "mengundurkan" maksud hatinya. Dan
lama sesudah itu barulah perkawanan kami menjadi erat lagi seperti
sediakala.

Lalu kutanyakan lagi kepada Sihan, mengapa Bu Ngah Hamimah tak mau
menemuiku di hotel dulu itu, dan tidak berusaha mau ketemu diriku? Jawaban
klasik orang-orang kampungku, mereka sangat mau bertemu dan melepas
kekangenan dan rindu, tetapi takut, tidak berani. Akibat hal kecil begitu
saja, bisa hilang pekerjaan, hilang dan berpecahan periuk-belanga,
piring-mangkuk, bahkan bukan mustahil masuk----lagi ke dalam! Dan barulah
aku mengerti dan paham selukbeluknya, mengapa mereka hanya berani me-
ngantarkan pulang dan itupun hanya di lapanganterbang saja. Lama aku
terhenyak dan terdiam tak bisa ngomong. Cerita begini ternyata belum
selesai dan ada-ada saja ekornya buat mempersedih diri.
"Tahukah Pak De, siapa yang diujung sana"? Kulihat seorang wanita agak
tua juga, tetapi tidak setua Hamimah. Dia melambaikan tangannya ke arahku.
Dan aku menjawab lambaian tangannya.
"Coba ingat-ingat, siapa dia"?, kata Sihan mau tahu. Dan seperti tadi, lama
aku memeriksa, membongkar
ingatan dan kenangan.
"Apa bukannya tante Habibah?", kataku kepada Sihan. Dan lagi-lagi Sihan
malah menepuk belakangku dengan agak keras. Rupanya Sihan merasa gembira
dan senang, karena aku masih mengenal dengan baik orang-orang ini, kaum
keluargaku. Tetapi kuharapkan Sihan tidak tahu dan tidak pernah mendengar
cerita panjang yang tak banyak bedanya dengan Bu Ngah Hamimahnya. Habibah
adalah anak dari pamanku. Ayah Habibah adalah adik ibuku. Mereka berempat
saudara, dua laki-laki dan dua wanita. Ayah Habibah adalah adik bungsu dari
ibuku. Dan persis seperti kisah Hamimah tadi, orangtua Habibah punya
harapan agar kami lebih mempererat kekeluargaan, dengan mendekatkan diri
kami menjadi suami isteri. Dan aku merasa sangat beruntung setelah
bertahun-tahun terlepas dari "harapan-harapan" tersebut kedua adik-adiku
itu, tak ada perasaan lain, sama dengan diriku. Kami dekat, berkawan,
semata-mata karena rasa kekeluargaan saja. Bagaimana bisa dipertalikan
dengan pernikahan, tidak mungkin. Jadi mungkin angkatan kami, dengan dua
adikku itu, sudah lepas dari ikatan kekunoan pikiran dulu itu, yang sampai
waktu itu masih dipegang orangtua kami.

Kupuas-puaskan memandangi kedua adikku itu, yang kini katanya sudah punya
cucu belasan. Aku baru punya cucu empat orang saja. Dan katanya sampai
menjelang pensiunnya, adikku Hamimah menjadi guru Taman Kanak-Kanak,
sedangkan adikku Habibah menjadi jururawat di rumahsakit umum. Dua-duanya
memang aku tahu, mereka punya pekerjaan tetap, pegawai tetap pemerintah.
Dan betapa akan fatalnya sekiranya pemerintah dan penguasa dan kaum tentara
tahu, seandainya mereka menemuiku ketika itu. Dan mereka akan dianggap
"tidak bersih lingkungan" lalu ceritanya akan berkepanjangan, yang mungkin
pada akhirnya menjadikan penyesalan seumur hidup. Maka tahulah aku,
setujulah aku dengan sikap mereka, daripada menemuiki di hotel atau di
rumah, lebih baiklah mereka melihat dari jauh saja. Dan kami, dan kita,
adik-adikku, biarlah kita lepaskan kerinduan dan kekangenan ini berjarak
jauh saja. Betapa manusia menyiksa manusia lainnya.

Dan beberapa minggu setelah aku enak-enak dan tenang-tenang di rumahku di
Paris, tak disangka, tak terpikirkan sebelumnya, mereka menilpunku
kedua-duanya, tetapinya berlainan harinya. Ketika salah seorang mereka
menanyakan masih kenalkah dengan suaranya? Kujawab, kan yang kulihat di
pinggir pagar lapanganterbang Buluhtumbang itu kan? Yang kita saling
melambaikan tangan? Ya, tidak? Dan Hamimah tertawa senang. Tetapi sebelum
kami ngobrol agak lama, kuminta nomor tilpunnya, dan segera kumatikan, agar
aku saja yang menilpunnya, agar mereka terbebaskan dengan ongkos tilpun
yang begitu mahal. Tidak, aku tidak lupa akan suara adik-adikku. Dan
ternyata Hamimah sudah jadi haji, hajjah. Sedangkan Habibah pada tahun ini
akan naik hajinya. Kukatakan, abang mendoakan ke hadirat Tuhan, agar
kemauan dan hajatmu diridoi dan dikasihi Tuhan. Karena mereka adik-adikku
yang kini sudah pada tua dan nenek, kutanyakan kenapa berani menilpun?
Katanyanya, sekarang kan zamannya reformasi, jadi tak seperti abang ke
Belitung dulu itu. Kami sudah agak beranilah, berani ngomong, bahkan kalau
abang pulang lagi, kami mungkin berani menemui abang, atau kami minta abang
menginap di rumah kami. Mendengar kata-kata ini, pelan-pelan aku mengusap
dada. Betapa zaman baru-baru ini sudah begitu hebat dan sangat dalam bisa
dan mampu menjadikan kami penduduk dan rakyat biasa begitu dicekam
ketakutan dan kebodohan, serta memendam kerinduan dan kekangenan antara
keluarga. Kuharapkan, dan kudoakan agar adik-adiku dan semua keluargaku,
serta teman-temanku, bisa bertuan atas dirinya sendiri,-

Paris 29 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.