Bab 9 :
Menjadi Asing di Kampung Sendiri

Terakhir aku berada di kampungku pada tahun 1961, kemudian setelah
"terdampar di luarnegeri" selama 33 tahun, barulah aku datang lagi pada
tahun 1996, artinya aku berpisah dengan kampungku selama 35 tahun. Sudah
banyak perubahan, banyak pergedungan dan perumahan yang dulunya tidak ada,
sekarang ini sudah pada bertingkat. Perubahan baik maupun perubahan tidak
baik. Apanya yang tidak baik?
Banyak soal. Sejak PPTB, Perusahaan Pertambangan Timah Belitung terus
merugi, maka boleh dikatakan perusahaan ini bangkrut. Sedangkan penduduk
Belitung yang jumlahnya sekitar 150.000 orang itu, kebanyakan ada
sangkut-pautnya dengan PPTB itu, baik sebagai buruh( karyawan) tetap,
maupun sebagai honoraire-harian, atau honoraire-lepas, sewaktu-waktu.
Karena kebangkrutan itu, maka buruh dan karyawannya harus mencari pekerjaan
lain. Lalu pindah, ke mana saja, mencari lahan kehidupan di tempat lain, ke
Jawa, Sumatera dan ke Kalimantan. Dan pulau Belitung, terutama yang kulihat
ibukotanya Tanjungpandan, menjadi sepi. Pergedungan dan perumahan sudah
tidak terawat baik. Sekitar perumahan dan pergedungan penuh ilalang, semak,
belukar, dan kotor. Pemandangan yang dulu indah, bagus dan menarik, kini
bagaikan perempuan tua yang sudah sangat uzur, yang dulu bukan main
cantik-menariknya.

Tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi, karena indahnya, karena
banyak mengandung kenangan,
kini menjadi sepi, kotor, penuh semak dan betul-betul menyedihkan. Ada
pantai yang dekat kota atau menyatu dengan ibukota, nama pantainya
Tanjungpendam. Dulu, sampai tahun 1950-an, Tanjungpendam sangat indah.
Pantainya putih-bersih, pasirnya halus-jernih, dan gelombang lautnya tidak
menakutkan, dan malah sangat memikat. Sebab di depan pantai ada pulau yang
bagaikan barriernya. Dulu perangko yang harganya 10 sen, tien cent, zaman
Belanda, adalah bergambarkan pemandangan Tanjungpendam ini, di mana di
depannya berhiaskan sebuah pulau kecil yang bernama Kalamoa, Kelemua kata
kami orang Belitung. Ini dulu. Kini Kalamoa-pun sudah sangat tak menarik.

Pada tahun 1951, dan berturut-turut sampai tahun 1953, kami para pelajar
yang tergabung dalam IPB dan IKPB, Ikatan Pelajar Belitung, dan Ikatan
Keluarga Pelajar Belitung, selalu mengadakan aktivitas bila kami berlibur
selama bulan puasa sampai lebaran lewat. Kami sibuk mengadakan pertunjukan
drama, sandiwara, kabaret, tarian-nyanyian. Antaranya drama "Awal dan Mira"
lalu "Bunga Rumah Makan" dua-duanya dari Utuy Tatang Sontani. Lalu " Dosa
Tak Berampun" saduran karya Jepang oleh Usmar Ismail.
Ketika itu terdengar pada kami, kepala polisinya yang bernama Pak Paloh,
sangat galak dan cerewet. Dan kami belum apa-apa sudah merasa tidak suka
kepadanya. Tetapi begitu kami bertemu muka untuk urusan izin dan segala
sesuatunya mengenai gerakan dan aktivitas pelajar ini, ternyata Pak Paloh
yang komisaris polisi itu sangat baik. Ada anaknya yang laki-laki ketika
itu, dan sesudah puluhan tahun, barulah aku teringat, apakah anak itu
bukannya yang sekarang bernama Surya Paloh pimpinan suratkabar Media
Indonesia? Sebab kebetulan yang kuceritakan semua ini adalah orang Aceh.

Tanjungpandan bila kami sedang berlibur bersama, menjadi ramai, meriah, dan
kotanya menjadi hidup. Selalu saja ada pesta dan perayaan atau makan-makan,
undangan hampir setiap malam, bergilir, antara para pelajar itu. Sebab kami
datang dari berbagai jurusan sekolah, dari Jakarta, Bogor, Bandung,
Yogyakarta, Palembang, Pontianak, dan kota lainnya, bergabung bersama,
berteman, bersahabat dan sebagaimana watak pelajar, selalu gembira,
optimis. Kami mengadakan aktivitas selama liburan termasuk mencari dan
mengumpulkan dana buat memiliki sebuah asrama pelajar Belitung. Yang pada
akhirnya kami dapatkan di Yogyakarta, di Patangpuluhan, lalu di tempat lain
seperti di Bandung dan Palembang.
Kami keliling kota dengan arak-arakan mengabarkan bahwa pada tanggal sekian
malam anu jam sekian akan ada pertunjukan drama, tonil, tari-tarian,
nyanyian, baik daerah maupun nasional. Dan dalam truk yang tak beratap itu,
kami bermusik gembira, suatu publisite, reklame yang sebelumnya tak pernah
di lihat orang. Tentu saja seluruh kota menjadi meriah dan menarik, jadi
tontonan orang dan penduduk Tanjungpandan. Sesudah capek gila-gilaan dalam
truk itu, kami menuju pantai Tanjungpendam, di mana ketika itu hari sudah
malam, dan kami sengaja bergerombolan yang semuanya kaum pria. Mengapa? Ada
maksud lain. Di pantai Tanjungpendam yang sangat indah itu, dengan
pasir-putih, air-jernih dan ombaknya bagaikan membelai-sayang itu, kami
menceburkan diri bulat-bulat telanjang bulat ramai-ramai. Bulan memancar di
sela-sela awan lalu, dan sinarnya menimpa air laut, menimpa badan kami yang
sedang telanjang berenang menikmati pantai kampung kami yang indah itu.
Malu? Mengapa? Tak seorangpun yang melihat kami! Hari sudah jam 22.°°
malam, tak ada orang lagi yang lainnya. Hanya
kami saja bertingkah aneh dan gembira begitu, dan mau-maunya antara kami
"berkomplot" berenang secara alamiah-nudisme begini. Rasanya sangat lucu
dan aneh, tetapi penuh kegembiraan. Kami mau menikmati pantai alam
kampunghalaman kami. Sudah itu satu tahun lagi atau bertahun-tahun kami
tidak akan saling bertemu, kecuali kalau bersepakat buat pulang liburan
bersama.

Ketika aku libur hanya berdua dengan cucuku Loulou yang umurnya baru 10
tahun, pada tahun 1996 itu, aku datang ke tempat-tempat yang kami dulu
pernah bersama, bergembira. Kulihat tempat itu, sudah penuh dengan
semak-semak, kotor dan pantainya butek, pada berlobang, karena ulah-tingkah
para penambang timah yang semaunya menggali lobang buat mengangkat timah ke
permukaan bumi. Tanah dan pantai menjadi rusak-binasa. Pemandangan menjadi
jelek dan menyedihkan. Masa kejayaan keindahan pantai Tanjungpandan sudah
hilang, sirna begitu saja. Dan aku terdiam lama, terpukau, sedih dan merasa
sakit di hati, dan lalu tak terasa beberapa butiran air-mata, mengaliri
pipiku. Dan terlebih sedih lagi, ketika aku mendarat di pelabuhan-udara
Buluh-Tumbang, tak ada keluarga yang menyambut, kecuali yang memang
kupesankan agar tolong mengusahakan penginapan kami. Aku dari jauh, jauh
sekali, kembali ke kampunghalamanku, buat berziarah ke kuburan orangtuaku,
buat nyekar. Dan sudah puluhan tahun tak bersua dengan kampunghalaman dan
keluarga, kini aku datang ke hadapanmu. Tetapi apa yang kudapati? Aku
sendiri, dan tak ada yang menawariku untuk menginap di rumahnya. Padahal
keluargaku cukup banyak. Karena itu kami berdua Loulou terpaksa harus
menginap di hotel, padahal inilah kampungku, tempat kelahiranku, di mana
aku dibesarkan sampai tamat SD. Rasanya sangat sedih, tak seorangpun di
antara keluargaku menawari menginap di rumahnya, tak seorangpun! Betapa aku
merasa sedih dan kesepian. Padahal dulu ketika tahun-tahun 50-an, kami para
pelajar ini bagaikan "merajai seluruh" kota Tanjungpandan. Kami dan
penduduk kota saling bergembira, saling bersahabat dan para keluarga saling
dekat dan akrab. Dan ketika kami pulang ke tempat masing-masing dengan
kapal, ratusan penduduk kota mengantarkan kami di boom pelabuhan
Tanjungpandan. Ada yang bertangisan, sedih karena berpisah buat sekian
tahun lagi.

Cerita itu hanya menjadi kenangan-lama yang sulit digambarkan kini. Aku
sangat mengerti, memahami, mengapa bisa terjadi demikian. Ketika kami
berdua Loulou di hotel, banyak sekali keluarga yang datang menjenguk kami,
bahkan Loulou bisa jarang di rumah ( hotel) karena "diperebutkan" oleh para
keluarga buat mengajaknya pergi main, atau mengunjungi banyak obyek,
menonton pertunjukan atau makan di rumah keluarga. Mereka tentu saja sangat
asing melihat Loulou yang agak sedikit bule itu, karena peranakan Portugis-
Indonesia (Aceh-Belitung), tetapi begitu mereka tahu bahwa Loulou lancar
berbahasa Indonesia, maka jadi rebutan buat saling mengajaknya pergi. Dan
aku sendirian, lebih bebas
buat mencari dan mendatangi obyek kenangan yang dulu kami pernah bermain di
tempat itu.

Keluargaku takut dan kuatir dengan keberadaanku di Belitung, karena takut
tersangkut "tak bersih lingkungan", dan sangat kuatir, gara-gara hanya
ketemu sebentar saja bisa-bisa hilang matapencaharian, hilang pekerjaan, di
PHK-kan. Dan aku sangat mengerti mengapa bisa terjadi tragedi demikian. Aku
sendiri memahaminya, dan aku bisa memafkan semua itu seandainyapun hal itu
perlu ada persoalan maaf-memaafkan. Betapa sedihnya kami, aku dan
keluargaku, tidak ngomong tetapi saling mengerti. Tidak berani mengajak
menginap, tetapi berani datang ke hotel kami buat ngobrol dan berkangenan,
berani mengajak Loulou cucuku. Inipun sudah pertanda bahwa mereka bukannya
tidak ingat, bukannya tidak rindu, bukannya tidak kangen, tetapi ada rasa
takut, kuatir, cemas. Memang yang paling berhasil dan paling sukses
pemerintahan Orba-Suahrto-Abri selama 32 tahun ini, adalah menanamkan rasa
takut, rasa kuatir, rasa tidak tenteram, kepada seluruh rakyat. Dan kini
persemaian yang mereka bibitkan dulu itu mungkin akan berbuah lain. Sebab
ada waktunya orang-orang dan rakyat yang dulu pada takut, pada
cemas-kuatir, kini mulai merasa bahwa sudah waktunya buat bangkit-bangun
dan menegakkan kepala. Betapa ketika itu aku sangat menjadi asing di
kampunghalamanku sendiri, namun demikian aku harus mengerti dan memahaminya
mengapa semua itu bisa terjadi. Ada sumber pokoknya, ada arus pokoknya,
sedangkan yang kami hadapi bersama ini hanyalah arus-arus cabang saja,
hanyalah akibat imbasannya saja. Jadi janganlah sampai lupa arus-pokok dan
sumber-pokok itu tadi. Kita-kita ini hanyalah kalaupun terjadi sedikit
kortsluiting, karena akibat imbas sumber itu tadi,-

Paris 27 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.