Bab 8 :
Perkara Peruntungan

Ini tentang kisah perkara peruntunganku, mungkin orang lain akan lain pula
halnya. Mungkin tiap orang
takkan sama "nasib peruntungannya". Sebaiknya aku harus pikir-pikir panjang
dan tenang kalau diajak orang atau sendirinya mau pergi mancing. Perkara
mancing ini sudah berkali-kali kucoba sejak puluhan ta-
hun yang lalu, tetap saja nasibku paling buruk dari orang lain. Pernah aku
mancing di pelabuhan di kota
kami Tanjungpandan, ramai-ramai dengan teman-temanku, nama tempat itu kami
sebut boom, sebuah pelabuhan kecil. Barangkali ada belasan orang duduk
berderat di pinggiran tembok-galangan kapal sepanjang boom itu. Ketika
selesai, dan mau pulang, kami saling memperlihatkan hasil berjam-jam duduk
mancing. Dan ada teman yang memperoleh sekira 3 sampai 4 kg, ada yang
termasuk "sial" hanya mendapatkan satu kg saja. Dan ternyata aku hanya
dapat tiga ekor ikan kecil namanya bebulus, yang kalau ditimbang mungkin
ada 3 ons. Jadi akulah yang paling sial dari yang "tersial". Malu juga
rasanya.

Suatu kali aku diajak mancing ke pulau, dengan teman dari abang-sepupuku
Ratman. Aku mau, karena bukan soal mancingnya itu, tetapi akan ke sebuah
pulau itu, jauh dari kampungku, dan harus bermalam, naik perahu lagi! Ini
yang pokok yang, bukan soal mancingnya. Tetapi bagaimanapun aku mau ikut
mancing walaupun tahu kira-kira takkan seberhasil orang lain. Dan teman
Ratman masih ada pertalian keluarga dengan kami, karenanya aku mengenalnya
juga : Bang Amat. Nama Amat atau Akhmad di kampung kami bukan main
banyaknya. Nama abangku yang tertuapun namanya Amat, kupanggil Bang
Amat. Kami bertiga, Amat, Ratman dan aku. Menjelang petang dengan perahu
nelayan milik Bang Amat kami menuju sasaran-mancing. Laut sangat tenangnya,
angin baik, alim, gelombang tak garang, perahu kami tak banyak geraknya.
Bang Amat memang nelayan, itulah pekerjaannya. Itulah kehidupan
sehari-harinya.

Dengan dayung perahunya, dia dengarkan suara yang entah suara apa, tetapi
dengan teliti sekali, seakan-akan suara sesuatu yang memang ditunggunya.
Aku melihat saja dengan rasa aneh. Gagang dayung itu dia masukkan kedalam
air-laut, lalu dia dengarkan baik-baik, agak lama. Lalu dia berkata " kita
pindah ke tempat lain, tak ada apa-apanya di sini, tak ada ikannya",
katanya. Barulah aku tahu, kalau begitu dia mau mendengarkan suara ikan.
Bagaimana bisa terjadi, bagaimana bisa menjelaskannya mendengarkan suara
ikan melalui gagang dayung. Dan setelah kami berdayung agak jauh dari
tempat semula, kembali Bang Amat seakan menancapkan dayungnya ke dalam
air-laut, dan lagi-lagi mendengarkan di ujung gagang da-
yung itu. Lama juga, tetapi lambat-laun tampak wajah Bang Amat berseri-seri
dan senyum, dan lalu berkata kepada kami. "Nah, ini dia, di sini kita
lempar jangkar, bukan main banyaknya ikan, banyak jenis-
nya pula", katanya. Dan aku diam saja. Dalam hatiku, apa benar apa yang dia
katakan itu?!
"Bang Amat", kataku.
"Aku mau dengar seperti apa sih yang ikam dengarkan itu?" ( Ikam = artinya
kamu tetapi buat orang yang lebih tua dari kita ).
"Coba sini, kau dengarkan baik-baik, bukan main bergalaunya bunyi ikan-ikan
berbagai jenis", katanya sambil mengunjukkan dayung kepadaku. Dan aku
melakukan gerak-gerik seperti dia tadinya. Kudengarkan melalui gagang
dayung. Baik-baik dan teliti-teliti, agar tahu baagaimana dan betapa
bunyinya. Tetapi tak ada yang terdengar aneh padaku.
"Bang, bagaimana sih cara mendengarkannya? Tak ada apa-apa yang bisa
kudengar, bunyi desau air saja, dan imbasan gelombang", kataku.
"Sini kuajari", sambil diambilnya gagang dayung itu dan melekatkannya di
telinganya.
"Nah, bukan main banyaknya ikan. Ayoh cepatan, siapkan pancing, lekas kita,
jangan sampai ikan-ikan
itu keduluan pindah", katanya. Dan dia mulai melemparkan pancing, juga
Ratman, dan juga aku. Kami diam dan menunggu pancing disentak ikan. Bang
Amat segera menyentak tali pancing ditangannya, dan ditarik, agak tegang
talinya. Dan seekor ikan-bulat, besar, kira-kira dua kilo. Bukan main
senangnya. Lalu segera pancing diganti umpan baru dan segera dilemparkan.
Belum lagi dua tiga menit, Bang Amat menarik-sentak tali pancing, dan dapat
lagi ikan-ketarap besar. Bang Amat sibuk menyentak tali pancing, mengganti
umpan baru, dan selalu berhasil. Perolehan Bang Amat sudah kira-kira 7
kilo, dan Ratman sudah memperoleh dua ekor ikan-seminyak, dan aku termangu
saja di tempatku. Pancingku tak disentuh seekor ikanpun.
"Bang Amat", kataku, "ikam pindah ke tempatku, dan aku ke tempat ikam". Dan
kami berpindah tempat. Pikirku pastilah di tempat Bang Amat banyak ikannya,
sedangkan di tempatku tak ada ikannya, walaupun jarak kami duduk tak sampai
tiga meter. Tetapi sungguh sial! Malah Bang Amat dapat ikan yang jauh lebih
besar di tempatku tadi. Dan aku begitu pindah ke tempat Bang Amat, tetap
saja nganggur dengan tali pancing yang tak pernah bergerak.
Pokoknya sepanjang malam itu, Bang Amat dapat kira-kira 15 kg, dan Ratman
kira-kira 4 kg. Dan aku tak perlu kusebutkan karena sangat memalukan,
masaksih seekorpun tak nyentuh umpan, tak lewat di mata-pancing.

Mancing begini, baik di laut maupun di air tawar, danau, sungai, tidak ada
sedikitpun keberuntunganku. Selalu sial dan dapatnya nihil! Capek-capek
tidak keruan. Sebenarnya sejak dulu sekali aku sudah tahu bahwa aku tidak
punya keberuntungan buat urusan pancing-memancing. Tetapi kenapa masih mau
terus?
Hanya mau coba saja, ikut saja, sebagai rekreasi. Lalu lapangan apa saja
yang aku tak punya keberuntungan? Ternyata juga dalam soal bertani, tak
banyak aku mendapatkan hasil jadi-bertani. Hasilnya tak sesuai dengan
tenaga yang dikeluarkan, jauh berbeda dengan orang lain. Kata orang kampung
kami,"tangannya sih panas, bukan lapangannya, bukan rezekinya", entah benar
entah tidak, tapi sering terjadi begitu adanya. Dan setelah banyak
coba-coba berbagai lapangan, ternyata kemungkinanku punya "rezeki" adalah
pada bidang : peternakan dan perburuan, berburu, nembak. Rasanya lapangan
inilah yang "ada dan punya rezeki". Tetapi aku kini hidup di kota besar, di
Paris. Mau nembak di mana, mau beternak di mana! Di apartemenku, pelihara
ayam saja dilarang, tapi pelihara anjing dan kucing boleh dan dihormati.
Tapi kan pelihara anjing dan kucing tokh bukannya beternak, dan peternakan.
Dan lagi aku tidak suka anjing dan kucing. Aku suka beternak, karena
hasilnya bisa dimakan dan dijual, ini yang pokok.

Tahun 1946 aku pernah beli dua pasang serati, mungkin namanya bebek-manila
atau itik-manila, entok atau mentok. Kubeli di kampung Mempiyu, 17 km
jauhnya dari rumahku di Pangkallalang. Serati ini berkembang-biak, banyak
anaknya. Lalu tetangga dan orang-orang kampungku ingin memeliharanya juga
dan mereka mau beli barangkan sepasang dua, buat bibit. Serati disukai
orang karena bisa menjaga rumah seperti angsa. Dan ular pada takut dengan
serati. Tetapi telornya tidak begitu dicari orang sebagaimana telor bebek,
itik. Dan ternyata dari satu rumah ke rumah yang lain, para tetangga dan
keluarga dulu itu, sudah pada punya peliharaan serati. Ketika aku pulang
berlibur panjang dari sekolah pada tahun 1954, sampai hampir seluruh
kampung sudah ada peliharaan serati. Dan katanya semua itu adalah dari
bibit yang berasal dari Mempiyu dulu itu, dari rumahku. Dan ketika terakhir
aku pulang buat tidak pulang selama 30 tahun, yaitu pada tahun 1961,
Umak(ibuku) membenarkan memang bibit yang
bermula adalah dari rumah kami dulu itu.

Bukan main lamanya baru berhasil mendapatkan pengetahuan yang mungkin saja
belum pasti mutlak akan kebenarannya, dalam lapangan apa keberuntungan kita
dalam kehidupan ini. Diceritakan, ada seseorang yang datang kepada orang
pintar, dia ini minta petunjuk ( ini bukan Harmoko!) dalam lapangan apa dia
akan dapat rezeki dan kehidupan yang baik. Orang pintar itu setelah
"memantau" keberuntungan orang di hadapannya, mengatakan " hanya benda cair
yang Anda harus usahakan dalam hidup Anda, dan akan membawa Anda dalam
kehidupan yang gemilang", katanya. Okeylah, orang itu mulai berusaha dengan
pesan itu tadi. Mula-mula dia berdagang besin, pompa bensin. Tetapi rugi
dan bangkrut. Lalu dicobanya jualan minyak-tanah, ke mana-mana dan di
mana-mana. Masih juga rugi terus. Maka dia datang lagi ke orang pintar itu.
Orang pintar tersebut tetap saja dengan pendiriannya, yang akan memberinya
keberuntungan hanyalah air dan benda cair itu saja. Dan lagi-lagi orang itu
berusaha lain, tetapi tetap benda cair. Dan pada akhirnya dia berjualan es!
Dan sangat laku, akhirnya dia mendirikan pabrik es. Pabrik es ini pernah
sangat jaya cukup lama dan cukup terkenal, namanya Perusahaan Ijs Petojo,
atau Petojo Ijs, sangat terkenal di Jakarta pada tahun 40-an sampai 60-an.

Begitulah katanya akan perihal Liem Siu Liong, Sudono Salim. Dia akan
sangat beruntung kalau berjualan yang sifatnya makanan. Dan katanya konon
entah benar entah tidak, betapa banyaknya keuntu-
ngan yang diraihnya kalau dia hanya membatasi diri dengan jualan, dan
pabrik yang sifatnya makanan seperti berjenis mi, indo-mi dan pabrik
bogasari, tepung terigu. Tetapi karena merasa sudah sangat sukses, lalu dia
pindah ke per-bank-an, pertambangan, dan lainnya yang lebih wah lagi.
Katanya malah akhirnya menuju ke bangkrutan bila dibandingkan ketika dia
menguasai hanya di bidang makanan saja, berupa mi dan pabrik tepung terigu.

Lalu perkara aku tadi yang ada sedikit peruntungan di bidang peternakan dan
perburuan itu tadi, mungkin ada masalah suka dan tidak suka. Aku tidak suka
yang sifatnya diam saja, kurang gerak. Misalnya ada beberapa hal yang aku
tidak suka. Tidak suka mancing, karena statis, diam saja. Tidak suka cukur
rambut, hanya diam saja beberapa puluh menit sampai setengah jam lebih.
Tidak suka nonton filem, karena harus duduk lama, rasanya sangat tersiksa.
Nah, berburu dan beternak, di sana ada gerak, dan harus gerak, mungkin
begitu, tak tahulah aku!

Paris 25 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.