Bab 6 :
Menggali Kenangan Lama

Di kampungku, Belitung, dengan ibukotanya Tanjungpandan, pasaran secara
umum memang dikuasai
oleh orang Tionghoa. Maksud dikuasai yalah, merekalah yang berdominasi.
Misalnya pasar-sayur, keba-
nyakan etnis Tionghoa yang paling banyak berjualan di sana. Apalagi yang
namanya Pasar-Dalam yang
banyak memperdagangkan berjenis kain, cita, bahan pakaian, dan berjenis
sepatu, jamtangan, piring-mang-
kuk, barang pecah-belah. Semua barang kelontongan, dari batere, lampu,
sapu, sampai sepeda dan motor, semua dipegang oleh orang Tionghoa. Dan
herannya atau baiknya, tak pernah penduduk Belitung cekcok disebabkan oleh
benturan sosial - perbedaan apapun. Ini maksudku dulu antara tahun 40-an
sampai sekarang ini. Kami penduduk "asli" atau "melayu-aslinya" tak pernah
merasa harus memusuhi mereka. Bahkan banyak di antara kami kalau hari
lebaran pada mengantarkan makanan - ketupat kepada teman-teman, tetangga
kami yang orang Tionghoa itu. Sebaliknya merekapun demikian pula bila hari
Imlek, Tahun Baru Tionghoa, juga banyak mengantarkan barang-barang, atau
makanan yang sifatnya bukan daging. Karena mereka tahu, kami beragama
Islam, mereka tidak akan mengantarakan daging ayam yang sudah dimasak,
apalagi babi, takkan mungkin mereka kerjakan. Mereka sangat mengerti dan
paham akan keadaan kami pada umumnya.

Mungkin karena pengaruh sejak kecil itulah, berbaur dengan pergaulan etnis
Tionghoa, lalu terbawa sampai sudah dewasa ketika itu. Pergaulan dan
aktivitasku berkisar dan berputar sekitar situ-situ saja.
Aku aktive di Lembaga Persahabatan Indonesi-Tiongkok. Dari sejak Ketuanya
Pak Prof DR Prijono, lalu Pak Djawoto, dan pernah Henk Ngantung, aku
terus-terusan mengurusi administrasi dan sekretariatnya.
Dan "nasib" rupanya tidak hanya di situ saja, juga aku pernah aktive di
BAPERKI, dan juga kebanyakan anggotanya keturunan etnis Tionghoa. Aku
sangat menyukai pergaulan dengan mereka. Juga kutambahkan, aku
bertahun-tahun mengajar di SMA THHK, Tjung Hua Hwei Kuan di Blandongan -
Kota. Dan semua muridnya ketika itu adalah kewarganegaraan-rangkap, artinya
juga etnis dan warganegara Tiongkok. Dan karena Tiongkok, jadwalnya juga
sama dengan yang di Tiongkok sana. Ada dua liburan tahun-baru, bahkan
lebih. Tahun Baru Imlek, libur. Tahun Baru masehi 1 Januari, juga libur,
dan hari lebaranpun, libur. Juga ada sistim liburan semacam musimdingin di
Tiongkoknya. Karena para muridnya adalah orang-asing(warganegara Tiongkok)
maka begitu aku masuk ke dalam pekarangan gedung sekolah itu, maka akulah
satu-satunya orang asing, orang Indonesia! Ini antara tahun 1957 sampai
dengan 1963,-

Jadi lengkap-sempurnalah pergaulanku dengan etnis Tionghoa ini! Mana di
lembaga persahabatan Indo-
nesia-Tiongkok, mana di Baperki pula, lalu mengajar sekolah Tionghoa pula,
dan ini yang "puncaknya",
begitu aku dikirim ke Tiongkok, tahun 1963, hampir saja tak pulang-pulang.
Ngendon di sana selama 18 tahun! Bukannya sedikit, bukannya sebentar!

Di Baperki dan pergaulan secara umumnya di kalangan etnis Tiongkok ini,
untukku sangat menyenangkan. Ada lucunya, ada kekagumanku, dan cukup banyak
pelajaran yang harus kita petik darinya, disamping juga ada kritik yang
kita harus ajukan kepada mereka. Di Baperki Pusat sewaktu kami mengadakan
rapat, yang isinya nanti Anda akan ketahui, banyak para orang tua, jauh
lebih tua dariku, yang bicara, berdebat, yang terkadang membikin aku pusing
atau ngantuk atau merasa agak lucu bahasa yang diucapkannya.
"Owe sudah bilangin pada dia orang, atawa siapapun temen-teman
koneksiannya. Bahwasanya kita orang kudu ngumpulin itu dana, bisa tiga koma
delapan, bisa tujuh koma sembilan, pokoknya usahakan jangan nyampe
kedodoran kita punya maksud mendirikan ini laboratorium. Ini penting,
namanya Res Publica, ingat itu! Untuk kepentingan nyang luas, nyang lebar,
nyang mencangkupin sak nusantara kalau bisa! Kandaran-kandaran owe sudah
pada aturin, ke mana maunya ke sana kita tujukan, tinggal perintain aja,
klop sudah".

Yang bicara ini seorang tua yang punya modal dan uang banyak, atau yang
bisa mengusahakan keuangan. Walaupun oudeheer ini orang kaya dan banyak
uang, samasekali tak dapat dikatakan dia ini seorang konglomerat. Kenapa?
Dia merangkak dari nol sampai menjadi "orang" dan pada masa itu belum ada
atau belum banyak atau belum membudaya apa yang dinamakan "surat-sakti"
katebelletje
itu, dan bentuk korupsi masih cukup asing di kalangan orang-orang ini.
Dialah yang namanya Ang Yang-goan. Seorang yang sangat aktive, sosial dan
selalu menggebu-gebu semangatnya, semangat sosialnya yang tinggi. Kalau tak
salah dia punya suratkabar Sin Po dulu itu, atau punya saham terbesar di
sana.
Pada menjelang umur 70 tahun, dia dengan isterinya masih keliling dunia
dengan---------keretaapi, menjalani daratan Tiongkok sampai Eropa daratan.
Kemana dan di mana beliau kini? Mungkin sudah lama meninggal, sebab
kalaupun hidup, mungkin sekitar 100 tahun umurnya!

Apa yang kami rapatkan ketika itu? Rapat inilah yang memutuskan buat
mendirikan sebuah bangunan, kampus, dan laboratorium universitas Res
Publica, yang kini menjadi universitas Trisakti. Yang disebutkan berupa
angka tadi itu, adalah angka dalam milyunan sampai trilyunan! Dan angka ini
yang bikin aku pening kepala, apalagi aku hanya bagian budaya saja, sebagai
anggota Pengurus Pusat bagian Kebudayaan,- yang terkenal tak pernah punya
uang banyak. Sekarang harus hadir rapat pada pemutusan untuk membangun
pergedungan, kampus dan laboratorium itu. Pada rapat lain dengan acara
lain, hadir seorang tua yang sangat sukar ngomong tetapi kalau dia menulis,
minta ampun lihaynya. Dia seorang wartawan kawakan yang sangat menguasai
bidangnya. Nama samarannya dalam pojok di Keng Po atau Sin Po,dengan nama
"garem", garam sangat remeh tampaknya, tetapi tanpa garam mana ada masakan
yang enak! Dialah Kwee Kek Beng. Setiap tahun dia mengeluarkan semacam
almanak yang sangat lengkap sangat bervariasi isinya, dan sangat
dicari-cari orang. Nama majalah itu SINTJUN, artinya Tahun Baru, Imlekan,
penuh dengan pengetahuan populer, sangat menarik. Kwee Kek Beng, juga satu
angkatan dengan Ang Yang Goan, kalaupun masih hidup umurnya mendekati 100
tahun.

Seorang pengarang atau sastrawan yang dapat dikatakan pemerhati sastra
beretnis Tiongkok, dan juga banyak menulis buku yang sifatnya susastra,
yang sangat paham akan sastra kuno-Tiongkok adalah Nio Yu Lan, ini tentunya
nama samaran. Tetapi di antara pengarang lama, yang memperhatikan sastra
etnis Tionghoa, tidak mungkin akan dan dapat melupakan orang tua yang
sangat baik ini. Di Paris, beberapa tahun yang lalu pernah diadakan sebuah
seminar tentang budaya-sastra etnis Tionghoa ini. Hadir banyak pakar
tentang Indonesia-Tionghoa, seperti Claudine Salmon, juga Denys Lombard (
suami Claudine ), Henk Maier, Henri Chambert-Loir, dan datang dari
Indonesia khusus untuk itu adalah Myra Sidharta.
Seminar ini sangat menarik. Ternyata cukup banyak sumbangan sastra-lama
atas sastra Indonesia pada umumnya yang diberikan oleh golongan-etnis
Tionghoa ini.

Dan suatu waktu ketika aku melewati kampus dan laboratorium yang dulu masih
bernama Res Publica dan yang kini bernama Universitas Trisakti, teringatlah
aku, dengan kesederhanaan, kebodohanku, kami ketika itu membicarakan dan
memutuskan buat mendirikan pergedungan ini. Tahun-gelap Indonesia sekitar
65 - 66, semua itu telah disita serdadu Suharto, habis semua! Tetapi
siapapun yang kini menjadi para siswa dan mahasiswanya, dan segenap dewan
gurunya, semua pekerjanyanya, aku mengucapkan, hiduplah Trisakti yang
berpikiran maju, yang memperjuangkan reformasi sejati. Tradisi revolusioner
Res Publica ternyata juga membenam dan tertanam di Trisakti, sangat
membikin gembira hati ini, dan sangat tak sia-sialah rapat kami dulu itu,
yang kebanyakan mahasiswanya mungkin belum lahir ketika itu, masih awal
tahun 60-an, atau akhir tahun 50-an. Ke manakah dan di manakah orang-orang
yang kusebutkan tadi? Aku sangat ingat akan kalian, akan kita semua ketika
itu,-

22 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.