Bab 4 :
Ada - ada saja Problem

Dua anakku seakan-akan protes, semangatnya bagaikan mau demonstrasi,
unjuk-rasa, semula kepadaku,
karena tidak tahu protes ini akan ditujukan kepada siapa. Apa pasal?
Saudaranya, keluarganya akan menikah dengan orang yang pernah menjadi musuh
bapaknya. Ita, ponakanku, akan melangsungkan per-
nikahannya dengan seorang yang dulu paling berkuasa buat menjalankan
undang-undang militer KOPKAMTIB. Tentu saja seorang militer yang Jenderal.
Jenderal ini sangat tidak populer, disamping sudah
agak tua, yang umurnya sudah berkepala 7, suka kawin-cerai lagi. Yang ini
saja, dengan ponakanku ini,
adalah isteri yang entah keberapa, resminya yang ketiga atau keempat. Di
luar itu kita tidak tahu. Tapi hal
itu bukanlah soal benar. Yang paling soal yalah, mengapa Ita kok mesti
menikah dengan Pak Jen yang dulunya tersangkut-penting sebagai orang yang
membunuh bapaknya sendiri. Bapaknya tahanan-pol ka-
rena dituduh tersangkut langsung dengan Tiga Puluh Sekilo dulu itu. Dan
bapaknya ini meninggal dalam
penjara akibat siksaan yang bukan main kejamnya. Dalam sakitpun, tidak
punya kekuatan, masih juga kakinya diborgol-besi.

Hubungan dua anakku dengan Ita adalah saudara sepupu dari pihak ibunya.
Karena, isteriku alm, ibu dari anak-anakku adalah tantenya Ita yang paling
bungsu. Ibu Ita adalah yang tertua, sedangkan ibu anak-anaku adalah yang
termuda, bungsu. Kekeluargaan ini cukup dekat dengan anakku, tetapi
denganku sendiri sebenarnya tak ada hubungan darah secara langsung. Namun
kedekatan antara kami keluarga
besar ini, sangat tampak dan terasa. Ke mana-mana bila aku sedang di
Jakarta, selalu berdua dengan Ita.
Dan Ita dengan bmw-nya yang masih harum-baru siap-sedia ke mana saja
membawaku. Kami setiap bertemu di Jakarta, selalu di rumah Ita, dan ke
manapun sering berdua. Itulah sebabnya suatu hari temanku, Ajoeb pernah
mengatakan , " hei, Mon, sudahlah kau kawini saja si Ita itu. Gatal mataku
meli-
hat kalian berdua ngintil ke mana-mana. Apalagi lah soalnya, dia janda kau
duda, selesailah soal", demikian katanya. Kujelaskan pada Ajoeb, bahwa kami
benar-benar hanya merasa sangat dekat saja sebagai keluarga. Dan persoalan
berkeluarga, menikahinya, itu soal lain, dan soal cukup besar, tidak begitu
saja adanya.

Anakku dengan keras mengatakan padaku, " Sekarang bagaimana pendapat Papa
sendiri. Tahu tidak kakak Ita bahwa bakal suaminya itulah yang turut
membunuh bapaknya sendiri, dan juga membunuh paman kami, saudara papa
sendiri!", kata anakku. KOPKAMTIB dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965,
khusus untuk menjerat, memerangkap para musuh politik penguasa militer
ketika itu. Semua ini aku mengerti mengapa begitu keras reaksi mereka.
Bahkan cucuku yang tak tahu apa-apa itu, yang tadinya Ita dipanggilnya
Tante Belle, karena cantiknya, sudah berpihak kepada ibu dan tantenya,
menentang putusan Ita. Maka pusing tujuh kelilinglah kepalaku dibuatnya.
Ada surat Ita kepadaku yang menyatakan putusannya ini. Isi surat memang
dengan sangat agar aku bisa mengerti dan memahami keputusannya ini,
dan betapa dia akan merasa bahagianya, seandainya akupun bisa memaafkan
kekeliruan maupun kesalahannya. Bagaimanapun memang sangatlah tidak wajar
adanya keputusan itu, atau paling moderat
katakanlah, kenapa sih kok sampai terjadi hal-hal demikian.

Secara manusiawi, bisa saja terjadi seseorang saling jatuh cinta tanpa
melihat kiri-kanan atau latarbelakang sejarah kekeluargaan dulunya, atau
apa yang pernah terjadi. Namun, rasa manusiawi lainnya, juga adalah wajar
kalau berpendapat, waduh sayang ya, kok begini jadinya! Kenapa sih harus
terjadi hal-hal demikian, atau mbok pikirkanlah lagi baik-baik,
berulang-ulang. Soal pernikahan, orang berumahtangga kalau di kampung kita
di adat kita, bukan saja soal pribadi orang-perorang, tetapi sering-sering
sudah menjadi soal keluarga besar, soal suku dan adat. Barangkali
pendapatku ini terlalu kuno, dan masih adat lama dalam dunia serba moderen
ini. Dan sekarang dihadapkan padaku, bagaimana seharusnya aku dan kami
bersikap. Ini baru dua anakku saja, sedangkan di Indonesia, saudara-saudara

Ita sendiri, cukup banyak yang tidak setuju dengan putusannya. Berhari-hari
aku memikirkan bagaimana
sebaiknya harus bersikap.

Ketika kami di Jakarta tahun lalu, masih sempat kami ketemu Ita, tetapi
sudah tentu suasana sudah sangat berlainan. Sebab kami datang bulan
Agustus, sedangkan mereka akan melangsungkan pernikahannya pada tanggal 1
November, dua bulan lagi sesudah itu. Dan kalau dulu kami selalu menginap
di rumah Ita,
maka kini tentu saja sudah tertutup-pintu untuk itu. Dan cerita serta
gatalnya mata temanku Ajoeb dulu,
sudah tak mungkin lagi terjadi. Sebentar lagi Ita tokh sudah isteri orang,
isteri Pak Jenderal. Dan kita semua harus menghormati norma-norma begini.

Okeylah, bisa saja ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Tetapi
sekarang bagaimana sikap kita secara orang per orang. Bukankah sangat aneh
dan tidak wajar kalau kita yang tidak setuju itu lalu "mengutuk,
menyumpahi" calon penganten, calon mempelai ini? Aku pribadi bersikap,
bagaimanapun aku mengharapkan agar Ita dan suaminya, akan selalu bahagia,
sehat dan sejahtera. Kita bisa berbeda pendapat, tetapi soal pernikahan,
bukankah itu artinya suatu kualitas hidup-baru? Sebaiknya kita harapkan dan
bahkan doakan agar mereka bahagia. Mereka bagaimanapun membutuhkan sokongan
moral secara demikian. Soal besar dulu itu, sudahlah, soal sejarah manusia,
soal generasi. Kalau mau diutak-atik, dipandang dengan kacamata sempit, Pak
Jenderal kita inipun "sangat tidak bersih lingkungan", sebab dia
memperisteri orang-orang keturunan tapol, yang dulunya dia turut menyiksa
dan membunuhnya. Tapi itu kan pandangan dari kacamata mereka sendiri, yang
mereka ciptakan sendiri buat menyiksa dan menganiaya diri kita. Dan sikapku
ini kutuliskan kepada Ita. Buangkanlah perasaan sentimental-lama, atau
kenangan-lama dulu itu, karena keadaan memang menghendaki begitu. Dan kita
mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan itu, kalau tidak mau
jauh ketingalan.

Ita masih sempat berpesan, dan dengan sangat gembira dia membaca
jawabanku,-
"Oom, situasiku rupanya tak dapat aku tentukan sendiri, Tuhan menentukan
lain. Barangkali sudah suratan-nasibku harus begini. Tapi aku sangat yakin,
rasanya putusan inilah yang harus kuambil walaupun akan sangat banyak
tentangan dari keluargaku sendiri. Aku juga merasa yakin, suatu waktu, Oom
dan saudaraku yang lainnya akan memaafkanku yang mereka anggap sangat
keliru dan salah akan keputusanku ini. Izinkalah aku "berkhianat" atas
gurauan kita dulu, bahwa siapa yang duluan mengakhiri ke-janda-an dan
ke-duda-an kita, maka dia kita "pecat" dari perkumpulan "para janda dan
duda" ini!", demikian Ita. Dan aku lagi-lagi memeriksa diri,- memang
sebaiknya Ita sudah seharusnya berkeluarga lagi, bersuami lagi sesudah
belasan tahun menjanda, mungkin sama denganku, yang sudah 18 tahun
men-duda. Disamping itu juga aku menganjurkan kepada dua anakku, biarkanlah
kakak Ita bersuami dengan Pak Jenderal itu, dan berharaplah agar mereka
bahagia dan sejahtera. Rupanya sangat sulit bagi mereka berbuat seperti
pandanganku, karena mereka terlalu banyak tahu juga siapa Pak Jenderal ini,
yang bahkan mereka tahu, "surat-sakti" Pak Jenderal yang akhirnya
mengangkat posisi Edy Tanzil yang raib sampai sekarang sesudah merugikan
negara sebanyak trilyunan rupiah.

Lalu apakah kami sudah bertemu ketika di Jakarta dulu itu dengan "calon
mantu" itu? Sampai kini akupun belum tahu bagaimana sikap Pak Jenderal kita
menghadapi lika-liku kekeluargaan begini. Dan kalau dipikir-pikir,
bagaimana bisa membayangkan Pak Jenderal itu secara aturan
garis-kekeluargaan, dia harus memanggilku dengan kata Oom! Jenderal yang
dulu penguasa utama KOPKAMTIB itu, adalah temasuk "ponakanku",- Rasanya
aneh juga, walaupun Pak Jen sampai kini mungkin tidak tahu begitu banyak
seluk-beluk kehidupan kekeluargaan yang "mengepung" dirinya. Orang bila
saling jatuh cinta mana ada pikiran sejernih pualam, sejernih mata-air
pegunungan!

Paris 19 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.