Dua anakku seakan-akan protes, semangatnya bagaikan mau demonstrasi,
  unjuk-rasa, semula kepadaku,
  karena tidak tahu protes ini akan ditujukan kepada siapa. Apa pasal?
  Saudaranya, keluarganya akan menikah dengan orang yang pernah menjadi musuh
  bapaknya. Ita, ponakanku, akan melangsungkan per-
  nikahannya dengan seorang yang dulu paling berkuasa buat menjalankan
  undang-undang militer KOPKAMTIB. Tentu saja seorang militer yang Jenderal.
  Jenderal ini sangat tidak populer, disamping sudah 
  agak tua, yang umurnya sudah berkepala 7, suka kawin-cerai lagi. Yang ini
  saja, dengan ponakanku ini, 
  adalah isteri yang entah keberapa, resminya yang ketiga atau keempat. Di
  luar itu kita tidak tahu. Tapi hal
  itu bukanlah soal benar. Yang paling soal yalah, mengapa Ita kok mesti
  menikah dengan Pak Jen yang dulunya tersangkut-penting sebagai orang yang
  membunuh bapaknya sendiri. Bapaknya tahanan-pol ka-
  rena dituduh tersangkut langsung dengan Tiga Puluh Sekilo dulu itu. Dan
  bapaknya ini meninggal dalam
  penjara akibat siksaan yang bukan main kejamnya. Dalam sakitpun, tidak
  punya kekuatan, masih juga kakinya diborgol-besi.
Hubungan dua anakku dengan Ita adalah saudara sepupu dari pihak ibunya.
  Karena, isteriku alm, ibu dari anak-anakku adalah tantenya Ita yang paling
  bungsu. Ibu Ita adalah yang tertua, sedangkan ibu anak-anaku adalah yang
  termuda, bungsu. Kekeluargaan ini cukup dekat dengan anakku, tetapi
  denganku sendiri sebenarnya tak ada hubungan darah secara langsung. Namun
  kedekatan antara kami keluarga
  besar ini, sangat tampak dan terasa. Ke mana-mana bila aku sedang di
  Jakarta, selalu berdua dengan Ita.
  Dan Ita dengan bmw-nya yang masih harum-baru siap-sedia ke mana saja
  membawaku. Kami setiap bertemu di Jakarta, selalu di rumah Ita, dan ke
  manapun sering berdua. Itulah sebabnya suatu hari temanku, Ajoeb pernah
  mengatakan , " hei, Mon, sudahlah kau kawini saja si Ita itu. Gatal mataku
  meli-
  hat kalian berdua ngintil ke mana-mana. Apalagi lah soalnya, dia janda kau
  duda, selesailah soal", demikian katanya. Kujelaskan pada Ajoeb, bahwa 
  kami
  benar-benar hanya merasa sangat dekat saja sebagai keluarga. Dan persoalan
  berkeluarga, menikahinya, itu soal lain, dan soal cukup besar, tidak begitu
  saja adanya.
Anakku dengan keras mengatakan padaku, " Sekarang bagaimana pendapat Papa
  sendiri. Tahu tidak kakak Ita bahwa bakal suaminya itulah yang turut
  membunuh bapaknya sendiri, dan juga membunuh paman kami, saudara papa
  sendiri!", kata anakku. KOPKAMTIB dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965,
  khusus untuk menjerat, memerangkap para musuh politik penguasa militer
  ketika itu. Semua ini aku mengerti mengapa begitu keras reaksi mereka.
  Bahkan cucuku yang tak tahu apa-apa itu, yang tadinya Ita dipanggilnya
  Tante Belle, karena cantiknya, sudah berpihak kepada ibu dan tantenya,
  menentang putusan Ita. Maka pusing tujuh kelilinglah kepalaku dibuatnya.
  Ada surat Ita kepadaku yang menyatakan putusannya ini. Isi surat memang
  dengan sangat agar aku bisa mengerti dan memahami keputusannya ini, 
  dan betapa dia akan merasa bahagianya, seandainya akupun bisa memaafkan
  kekeliruan maupun kesalahannya. Bagaimanapun memang sangatlah tidak wajar
  adanya keputusan itu, atau paling moderat
  katakanlah, kenapa sih kok sampai terjadi hal-hal demikian.
Secara manusiawi, bisa saja terjadi seseorang saling jatuh cinta tanpa
  melihat kiri-kanan atau latarbelakang sejarah kekeluargaan dulunya, atau
  apa yang pernah terjadi. Namun, rasa manusiawi lainnya, juga adalah wajar
  kalau berpendapat, waduh sayang ya, kok begini jadinya! Kenapa sih harus
  terjadi hal-hal demikian, atau mbok pikirkanlah lagi baik-baik,
  berulang-ulang. Soal pernikahan, orang berumahtangga kalau di kampung kita
  di adat kita, bukan saja soal pribadi orang-perorang, tetapi sering-sering
  sudah menjadi soal keluarga besar, soal suku dan adat. Barangkali
  pendapatku ini terlalu kuno, dan masih adat lama dalam dunia serba moderen
  ini. Dan sekarang dihadapkan padaku, bagaimana seharusnya aku dan kami
  bersikap. Ini baru dua anakku saja, sedangkan di Indonesia, saudara-saudara
Ita sendiri, cukup banyak yang tidak setuju dengan putusannya. Berhari-hari
  aku memikirkan bagaimana 
  sebaiknya harus bersikap. 
Ketika kami di Jakarta tahun lalu, masih sempat kami ketemu Ita, tetapi
  sudah tentu suasana sudah sangat berlainan. Sebab kami datang bulan
  Agustus, sedangkan mereka akan melangsungkan pernikahannya pada tanggal 1
  November, dua bulan lagi sesudah itu. Dan kalau dulu kami selalu menginap
  di rumah Ita,
  maka kini tentu saja sudah tertutup-pintu untuk itu. Dan cerita serta
  gatalnya mata temanku Ajoeb dulu,
  sudah tak mungkin lagi terjadi. Sebentar lagi Ita tokh sudah isteri orang,
  isteri Pak Jenderal. Dan kita semua harus menghormati norma-norma begini.
Okeylah, bisa saja ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Tetapi
  sekarang bagaimana sikap kita secara orang per orang. Bukankah sangat aneh
  dan tidak wajar kalau kita yang tidak setuju itu lalu "mengutuk,
  menyumpahi" calon penganten, calon mempelai ini? Aku pribadi bersikap,
  bagaimanapun aku mengharapkan agar Ita dan suaminya, akan selalu bahagia,
  sehat dan sejahtera. Kita bisa berbeda pendapat, tetapi soal pernikahan,
  bukankah itu artinya suatu kualitas hidup-baru? Sebaiknya kita harapkan dan
  bahkan doakan agar mereka bahagia. Mereka bagaimanapun membutuhkan sokongan
  moral secara demikian. Soal besar dulu itu, sudahlah, soal sejarah manusia,
  soal generasi. Kalau mau diutak-atik, dipandang dengan kacamata sempit, Pak
  Jenderal kita inipun "sangat tidak bersih lingkungan", sebab dia
  memperisteri orang-orang keturunan tapol, yang dulunya dia turut menyiksa
  dan membunuhnya. Tapi itu kan pandangan dari kacamata mereka sendiri, yang
  mereka ciptakan sendiri buat menyiksa dan menganiaya diri kita. Dan sikapku
  ini kutuliskan kepada Ita. Buangkanlah perasaan sentimental-lama, atau
  kenangan-lama dulu itu, karena keadaan memang menghendaki begitu. Dan kita
  mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan itu, kalau tidak mau
  jauh ketingalan.
Ita masih sempat berpesan, dan dengan sangat gembira dia membaca
  jawabanku,-
  "Oom, situasiku rupanya tak dapat aku tentukan sendiri, Tuhan menentukan
  lain. Barangkali sudah suratan-nasibku harus begini. Tapi aku sangat yakin,
  rasanya putusan inilah yang harus kuambil walaupun akan sangat banyak
  tentangan dari keluargaku sendiri. Aku juga merasa yakin, suatu waktu, Oom
  dan saudaraku yang lainnya akan memaafkanku yang mereka anggap sangat
  keliru dan salah akan keputusanku ini. Izinkalah aku "berkhianat" 
  atas
  gurauan kita dulu, bahwa siapa yang duluan mengakhiri ke-janda-an dan
  ke-duda-an kita, maka dia kita "pecat" dari perkumpulan "para 
  janda dan
  duda" ini!", demikian Ita. Dan aku lagi-lagi memeriksa diri,- memang
  sebaiknya Ita sudah seharusnya berkeluarga lagi, bersuami lagi sesudah
  belasan tahun menjanda, mungkin sama denganku, yang sudah 18 tahun
  men-duda. Disamping itu juga aku menganjurkan kepada dua anakku, biarkanlah
  kakak Ita bersuami dengan Pak Jenderal itu, dan berharaplah agar mereka
  bahagia dan sejahtera. Rupanya sangat sulit bagi mereka berbuat seperti
  pandanganku, karena mereka terlalu banyak tahu juga siapa Pak Jenderal ini,
  yang bahkan mereka tahu, "surat-sakti" Pak Jenderal yang akhirnya
  mengangkat posisi Edy Tanzil yang raib sampai sekarang sesudah merugikan
  negara sebanyak trilyunan rupiah.
Lalu apakah kami sudah bertemu ketika di Jakarta dulu itu dengan "calon
  mantu" itu? Sampai kini akupun belum tahu bagaimana sikap Pak Jenderal 
  kita
  menghadapi lika-liku kekeluargaan begini. Dan kalau dipikir-pikir,
  bagaimana bisa membayangkan Pak Jenderal itu secara aturan
  garis-kekeluargaan, dia harus memanggilku dengan kata Oom! Jenderal yang
  dulu penguasa utama KOPKAMTIB itu, adalah temasuk "ponakanku",- Rasanya
  aneh juga, walaupun Pak Jen sampai kini mungkin tidak tahu begitu banyak
  seluk-beluk kehidupan kekeluargaan yang "mengepung" dirinya. Orang 
  bila
  saling jatuh cinta mana ada pikiran sejernih pualam, sejernih mata-air
  pegunungan!
Paris 19 April 1999
 
 
  
  © Sobron Aidit. 
  All rights reserved.
  Hak cipta dilindungi Undang-undang.