Bab 3 :
Sekedar Pelurusan

Dulu nama jalannya, Citadelweg, dekatnya ada hotel yang namanya Hotel
Centraal. Lalu berubah menjadi Jalan Nusantara sekian, dan nama hotelnya
juga berubah menjadi Hotel Sriwijaya. Ini terjadi pada tahun 1949 menjelang
tahun 50-an awal. Ke hotel itulah saya sering datang buat melihat ayah yang menginap
sementara belum dapat rumah. Ayah menjadi anggota DPR( Sementara ) mewakili
suara ( Rakyat ) Belitung bersama tiga temannya lagi, semuanya guru, guru Saat, guru Abubakar
dan guru Djohar. Mereka mewakili daerah dan sekaligus ayah mewakili
golongan Angkatan 45. Ayah salah seorang yang turut memimpin gerakan pemuda
di Belitung angkat senjata melawan kekuasaan kolonial Belanda. Dan akhirnya
melarikan diri ke daerah Yogyakarta, daerah RI, sedangkan kami berada di
daerah Federal, di Belitung.

Yang lucunya dan anehnya, Ayah satu kamar berdua dengan orang yang namanya
sama dengan ayah, hanya beda tulisan satu huruf saja! Dan dua-duanya
sama-sama anggota DPR. Yang satu namanya Abdullah Aidit, ayah saya,
sedangkan seorang lagi namanya Abdullah Aidid,
dari partai Masyumi, saudagar batik dan seorang philatelis dari Solo,
turunan Arab. Ayah saya pakai huruf t ujungnya, sedangkan yang lainnya lagi
pakai huruf d ujungnya. Saya sangat senang kalau mendengarkan Pak Aidid
memanggil teman sekamarnya itu, suaranya sangat dalam dan dialeknya
diucapkan sangat kental bahasa Arabnya.
"Abdullah-------Abdullah" katanya memanggil ayah buat sama-sama makan,
dengan suaranya yang sangat kental huruf l nya dan dialeknya ke
Arab-araban. Dan waktu itulah aku turut diajak makan. Yah,
tentu saja aku sangat senang, biasanya makan apalah di rumah, kini makan di
hotel, makanan enak, maklumlah makanan anggota DPR.

"Hei, Abdullah junior, coba sini lihat, dekat sini", kata Pak Abdullah
memanggilku, dan dia memberikan sejenis kaca pembesar bagaikan teropong,
lalu kulihat ke arah yang ditunjukkannya.
"Lihat itu baik-baik, geriginya atau giginya itu yang penting. Kalau sudah
tumpul dan datar, maka sudah sangat berkurang harga-nilainya", katanya
padaku. Sebuah perangko zaman Napoleon. Akan dijual seharga 5000 dollar AS,
dan kemaren sudah ditawar 3000 dollar, tapi Pak Abdullah belum mau
melepaskannya dan masih bertahan.
Pak Abdullah adalah seorang saudagar batik dari Solo dan juga pengumpul
perangko, seorang philatelis yang trampil dan banyak diandalkan orang-orang
sehobbynya.

Di luaran beredar suara-suara yang bahkan sudah masuk koran, dan tanpa
dibantah bahwa Abdullah Aidit yang ayahnya DN Aidit itu adalah seorang
anggota Masyumi. Ini samasekali tidak benar. Ayah saya adalah salah seorang
pendiri perkumpulan keagamaan yang namanya Nurul Islam di Belitung, pada
tahun 40-an. Nurul Islam lebih banyak berorientasi kepada Muhammadyah.
Ketika itu Masyumi belum lahir. Masyumi lahir sesudah zaman Jepang. Beda
nama kedua orang yang sama-sama anggota DPR dan kebetulan sama-sama satu
kamar di hotel Centraal itu hanyalah tulisan dengan t atau d, hanya satu
huruf saja adanya. Sekali lagi, jadi tidak benar ayah saya atau ayahnya DN
Aidit itu pernah atau dari anggota Partai Masyumi. Ayah saya non-partai,
wakil daerah Belitung, mewakili golongan Angkatan 45.

Lalu pernah terjadi "pemboman - pelemparan granat" di Malang ketika DN
Aidit sedang berkampanye
di Malang. Kebetulan yang jadi biangkeladinya bernama Hasan Aidid, katanya
DN Aidit dibom dan dilempari granat dari adiknya sendiri. Ini tidak benar,
adik dari DN Aidit adalah bukannya Hasan tetapi Asahan. Dan Asahan ketika
itu baru saja menjelang dewasa, umur 17 tahun, dan masih aktive bersekolah,
samasekali tak ada bau-bau politiknya.

Lalu banyak sekali dalam literatur, bacaan, baik majalah maupun suratkabar,
bahwa DN Aidit itu lahirnya di Medan. Ini tidak benar. Dia lahir di
Belitung, Sumatera Selatan. Nama dulunya adalah Achmad, dengan tulisan
Achmad Aidit. Lalu menjelang usia dewasa dia mengubah namanya setelah
memberitahukan kepada ayahnya, Abdullah Aidit, dengan nama Dipo Nusantara
Aidit, dan ayah menjetujui gagasannya. Banyak literatur membelokkan
kepanjangan nama DN ini, ada yang menuliskan Djamil Nawawi, dan DN Aidit
ini sebenarnya orang Riau. Semua ini tidak benar!

Achmad Aidit dulunya pendiri perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi
Senen, tahun 1940.-
Teman-teman sepergerakannya yang pada akhirnya bermusuhan secara ideologi
setelah mereka masing-
masing memilih jalannya sendiri-sendiri, adalah Adam Malik, Chairul Saleh,
bahkan Insya Anshari dan Amelz, tokoh Masyumi itu. Mula pertama gerakan di
sekolahnya, DN A memimpin pemogokan karena meninggalnya Husni Thamrin tokoh
pergerakan Nasional ketika itu. Dia Sekolah Dagang, Handels School. Di
Menteng 31 dengan API-nya, DN A turut aktive belajar dengan guru-gurunya
tokoh-utama Nasional, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, juga prof Muhammad
Yamin. Menurut banyak temannya,
Hatta tadinya banyak menaruh kepercayaan dan harapan pada DN A, tetapi pada
akhirnya sangat keras bermusuhan secara ideologi politiknya dengan Hatta.

Semua bahan-bahan ini pada tahun 1994 sudah saya berikan kepada dua akhli
sejarah kita, secara resmi,
buat diungkap atau diapakanlah menurut sebaiknya. Pertama kepada Pak
Onghokham, kedua kepada Pak Abdurrachman Suryo----------alm. Maksud
pengungkapan, semua bahan ini, agar ada keterangan dan kejelasan serta
sekedar pelurusan sejarah dalam menuliskannya. Karena apa yang dulu
"dituduhkan dan dituliskan" belum dibantah, belum diralat. Sehingga kalau
dibiarkan terus-menerus tanpa bantahan dan ralat, lama-lama oleh orang
banyak dianggap benar. Inilah maksud pengungkapan tulisan ini. Semoga
bermanfaat.-

Paris 18 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.