Benda baru, barang baru dan sudah lama diimpi-impikan, sepucuk pistol. Waktu
  kecilku dulu bila melihat seorang polisi atau tentara, dengan pistol
  dipinggang, bukan main gagahnya. Menurut penglihatanku ketika itu, hanya
  apabila seseorang polisi atau tentara pakai pistol, barulah dia polisi dan
  tetara tulen, dan hebat.
  Yang lainnya yang tidak pakai pistol, walaupun dengan pedang, apalagi hanya
  pentungan, bahkan dengan senapang sekalipun, juga termasuk mitralyur, senapang
  mesin, akh, itu sih samasekali tidak hebat. Yang hebat itu yang pakai pistol!
  Demikianlah pikirku ketika itu. Dan kini menjelang umurku tak lama lagi
  pensiun, aku bisa memiliki sepucuk pistol. Dan atas nama resto dan direktur
  kami, Pascal, lengkap dengan surat-surat resminya, dan perjanjian yang harus
  ditaati dengan keras.
  
  Tentu saja dalam hari-hari pertama, benda mengkilat kehitaman itu selalu
  saja kugosok-gosok, kuciumi dan baunya yang terasa enak, bau mesin yang
  halus, terus kuelus-elus. Kubungkus dengan saputangan merah, dan alat
  pengelapnya agar terus mengkilat, kubelikan sebuah saputangan beledru dan
  sutra berwarna kemerahan, warna merah mawar-muda. Barangkali kalau ada orang
  melihatku bertingkah-laku demikian, dengan senyum dan rasa
  bahagianya, tentulah akan berpikir, mungkin orang ini rada sinting atau
  gendeng.
Tentu saja kalau malam-malam pulang dengan tas-ransel yang banyak uang
  itu, aku merasa lebih aman dan ada rasa percaya-diri. Sedikit saja ada
  gerak-gerik yang kira-kira mencurigakan, tanganku sudah masuk ke dalam
  sela-sela tas-ransel dan memegang gagang pistolku. Walaupun banyak
  gerak-gerik atau sedikit saja yang kuanggap pertanda, awas hati-hati, siapa
  tahu orang-orang ini mau merampok, maka aku siap-siap mencari gagang
  pistolku. Terkadang pistol itu kusimpan dalam kantong, terkadang kuselipkan
  di pinggang antara ban dan celana pantalon, dan terkadang dalam tas-ransel
  dekat amplop uang dan buku pembukuan resto.
Tetapi bila aku sedang tidak membawa uang, maka pistol itu terkadang
  kutinggalkan di rumah saja. Untuk apa dibawa-bawa, kan keberadaannya hanya
  karena untuk melindungi hartabenda dan uang resto. Sayangnya pikiran
  pendapat begini tidak lama. Kupikir, orang jahat kan tidak tahu apa itu
  isinya yang dalam tas-ransel, apa ada uang atau tidak. Tentu mereka akan
  selalu menyangka pastilah ada benda berharga, uang atau katakanlah
  perhiasan. Maka berkembanglah pikiran dan pendapatku yang saling
  tumpangtindih. Dan lagi bukankah pada periode tertentu, aku pernah selalu
  diikuti intel, informan dan siapa tahu mata-mata dari KBRI atau langsung
  petugas dari Jakarta buat menculikku?! Dalam hatiku, siap-siap sajalah, orang
  jahat itu bukannya sedikit, dan kapan akan melakukan kejahatan, dia kan tidak
  akan mengatakannya. Karena "peperangan" pendapat dan pemikiran yang 
  ada
  dalam kepalaku ini, maka kuputuskan sajalah, selalu bawa pistol, dengan
  tambahan alasan, demi keamanan diri sendiri.
Mungkin dan siapa tahu, semua gerak-gerik yang kuanggap
  mencurigakan, jangan-jangan hanya perasaanku saja. Padahal siapa tahu
  sebenarnya tidak ada apa-apa, biasa-biasa saja. Dan secara tanpa
  sadar, lama-lama terasa, sebenarnya dengan adanya sepucuk pistol ini, apakah
  aku merasa lebih aman atau ada rasa lain tertentu yang justru membuatku
  lebih gelisah. Pertanyaan ini tidak pernah bisa terjawab, tetapi ketika aku
  sedang tenang, jernih, sedang kosong, maka terasa dengan adanya sepucuk pistol
  itu, watakku, tabiatku agak berubah. Berubah bagaimana? Rasanya malah
  sebaliknya dari dulu itu, di mana ketika aku tidak punya senjata itu, malah
  lebih bisa berpikir panjang dan agak jernih. Kini setelah punya
  pistol, malah ada terasa lebih berani, bahkan lebih mau galak, mau lebih
  beringas, dan sepertinya agak mudah terpancing dan terprovokasi. Lalu
  terpikir padaku, pantas saja polisi dan tentara itu pada
  galak-galak, sok-sokan, pada beringas dan beringas itu selalu saja kepada
  orang lemah yang tidak punya daya apa-apa, tidak punya senjata, kongkritnya
  kepada rakyat kecil.
Lama juga aku "berperang" dengan diriku sendiri ini. Menyelidik diri, 
  periksa
  diri. Dan terkadang jauh ke belakang, dan sampailah kepada titik-awal
  kehidupan. Ketika sebelum peristiwa-besar-nasional tahun 1965, aku selalu
  bekerja dan mendapat pekerjaan yang sejajar, paralel dengan kesukaan dan
  kecintaanku pada bidang tersebut. Tetapi sesudah itu, keadaan menjadi
  berubah dan sampai kini. Apakah perkaranya? Bahwa sekarang ini aku bekerja
  karena keharusan, karena kewajiban, karena keterpaksaan dan harus begitu, dan
  bukan karena kesukaan dan kecintaan. Tetapi aku menyadari dan memang
  kujanlankan, bahwa sekali pekerjaan itu terpegang, haruslah berusaha
  mencintainya, paling tidak harus bertanggungjawab penuh, sukur-sukur kalau
  bisa mencintainya secara langgeng.
Pekerjaan resto dan selukbeluknya, walaupun lama-lama kami ini dengan
  sedirinya terangkat menjadi profesional karena belasan tahun dalam kandang
  pengalaman tersebut, tetapi bagaimanapun pekerjaan itu bukanlah pilihan
  kami, bukan pilihanku, karena memang tidak ada yang lain dari itu! Setelah
  jauh lagi melihat ke belakang dan jauh lagi ke depan, lama-lama
  terasa, bagaimana kalau aku mengajukan pensiun-dini, pensiun lebih awal, agar
  aku bisa "membayar hutang" atas cita-cita dan kecintaanku pada satu
  pekerjaan yang sudah sangat lama terpendam. Aku sangat ingin mengerjakan
  apa yang kusukai dan kucintai, dan yang sejak kecilkku lama sudah
  kuidam-idamkan. Pekerjaan apakah itu? Terlalu lama aku telah
  "menyia-nyiakan" cita-citaku, kecintaanku padanya. Kalau aku mengajukan
  pensiun-dini, tentulah banyak waktu buat "membayar hutang" itu tadi. 
  Aku
  akan banyak waktu untuk belajar, untuk banyak membaca dan yang paling
  penting tujuannya, untuk banyak menulis!
Bahwa akan ada kesulitan dan kesukaran baru, itu pasti! Mana ada uang, mana
  ada gaji yang seperti dulu lagi, mana ada pemasukan, selain pensiun yang
  sangat kecil itu. Bekerja sekarang ini memang terjamin pasti
  kehidupan, tetapi adakah ketenteraman hati, adakah rasa aman tenteram? Setiap
  hari bergulat dengan rasa waswas, kuatir, dan sepucuk pistol, yang kalau tak
  berhati-hati akan makan jiwa orang lain atau bahkan jiwa sendiri, karena
  pertempuran misalnya, perkelahian yang tak seimbang. Adanya dan sejak
  kumiliki sepucuk pistol itu, telah banyak membikin diri ini "berperang"
  dengan diri sendiri. Tabiat, perilaku hampir-hampir saja menjadi begitu mudah
  beringas dan galak dan sok jagoan!! Pikiran ini lama dan lama kutimbang dan
  aku banyak konsultasi dengan anak-anakku, bagaimana kalau papa pensiun-dini
  karena semua masalah yang kukemukakan tadi. Dan mereka setuju, asal saja
  benar-benar akan ada rasa bahagia dan tenang, ketenteraman hati dan
  mengerjakan pekerjaan yang benar-benar disukai dan dicintai. Lalu akupun
  mencari teman-teman yang di Holland, yang biasa kerjasama denganku dalam
  bidang sosial-kultural, kegiatan seni-budaya. Mereka semua menyambut gagasan
  ini. Dan aku sudah berketetapan hati buat semua itu, termasuk selukbeluk
  kalau terjadi kesulitan, kesukaran dalam bidang kehidupan dan jaminan
  sosial lainnya.
Maka okeylah. Kuajukan mula pertama kepada banyak teman di resto
  sendiri, lalu kepada Pascal, sebagai direktur kami. Pascal tertawa
  terpingkal-pingkal, "Baru saja punya pistol, tiba-tiba sudah mau mengajukan
  pensiun-dini. Apa kau sudah nembak orang?", kata Pascal.
  "Tidak, pelurunya masih utuh. Dan....."kataku dengan spontan saja.
  "Justru adanya sepucuk pistol itulah yang siapa tahu menjadikan saya lebih
  cepat mengajukan pensiun-dini ini". Mendengar semua ini Pascal lama
  memandangiku, jangan-jangan dia curiga bahwa aku sudah menembak orang.
  Kukatakan padanya, tidak, tidak karena itu, dan aku akan membuktikannya bahwa
  peluru masih utuh dan dari pistol itu dapat diperiksa secara laboratoris
  masih belum digunakan. Lalu ada sedikit kesombonganku, jangan-jangan aku
  lebih mengerti tentang senjata daripada Pascal.
Aku mencari keterangan dan alamat Jawatan Pensiun, karena siapa saja yang
  mau mengajukan pensiun, haruslah berinisiatif sendiri. Dan Jawatan Pensiun
  itu memeriksa semua surat menyurat dan masa-kerja selama belasan tahun
  itu. Aku mendapat jawaban, sebenarnya masa pensiunku barulah tahun
  2000, -katanya. Dan aku merasa "terpukul" sejenak kalau tak segera
  disambungnya.
  "Memang Anda belum waktunya untuk pensiun. Tetapi kalau Anda merasa perlu
  dan betul tidak bisa bekerja lagi, bisa atas petunjuk dokter dan dokter
  Jawatan Pekerja Publik", katanya.
  Keterangannya ini membuka sedikit sela harapan buatku. Dan kutanyakan lebih
  lanjut apa saja yang diperlukan dan diwajibkan buat surat-menyurat
  melengkapi dossier-nya. Orang Jawatan ini menuliskan syarat-syarat dan
  surat-surat yang diperlukan untuk itu.
Setelah kulihat apa saja dan ke mana saja aku harus pergi buat mengurus
  surat-surat itu, betapa banyaknya dan betapa rumitnya. Tapi seperti
  kebiasaanku selama ini, semakin rumit, semakin menggila aku menantangnya. Kita
  beradu dan berlaga adu-ulet, adu militan buat mengurusnya sampai
  tuntas. Begitulah ceritanya bagaimana aku mendapatkan rumah-pemerintah yang
  kuhuni sekarang ini, rumah-murah, tak mungkin diusir, dijamin untuk ditinggali
  seumur hidup kalau mau. Tetapi buat mengurus segala urusan tetekbengeknya
  makan-waktu selama 11 tahun! Nah, buat urusan ini bukankah demi kecintaanku
  pada cita-cita lama yang terpendam selama ini?
Keesokan harinya aku mulai menggarap urusan surat-menyurat itu. Aku harus
  ke dokter-umum, lalu ke dokter-spesialis-jantung, lalu ke dokter spesialis
  prostat, lalu ke urologie, lalu spesialis diabet, sakitgula. Kurencanakan untuk
  ini semua taroklah satu minggu penuh. Dalam pada itu aku ke mana-mana tidak
  lagi membawa pistol. Celaka nanti kalau tiba-tiba pistol itu terlupa di
  hospital atau institut kesehatan, atau tiba-tiba jatuh meluncur
  tengah-tengah dokter sedang memeriksa dirikita.
Tahap pertama urusan dokter ini. Dan pekerjaan pribadiku, harus meyakinkan
  para dokter itu agar mereka mau memberi suratketerangan yang kuperlukan.
  Bahkan pernah aku datang pada dokter itu dengan permulaan kata-kata, saya
  datang minta bantuan dan pertimbangan Anda, dan kuceritakan semua soal dan
  selukbeluk diriku dan cita-citaku. Bagaimanapun kalau mereka mau memberikan
  surat keterangan itu, karena memang penyakitku ada di urusan analisa
  mereka. Dan aku bukankah menjadi pasien mereka di bidangnya? Lalu aku pergi
  ke bagian Securite Social yang menjamin kehidupan bagian kesehatan, dokter
  dan obat-obatan. Lalu banyak lagi entah apa, lalu bolakbalik lagi melengkapi
  surat-menyurat dengan Jawatan Pajak itu.
Dan lebih satu bulan, setelah bolakbalik mengurus berjenis surat yang
  diperlukan, "kemenangan" sudah terlihat-tampak. Dan pada akhirnya 
  setelah
  lebih tiga bulan ada surat-keputusan, bahwa begitu teng pada jam 1 tanggal 1
  bulan 1 tahun 1998, aku resmi pensiun dengan lengkap mendapat sedikit
  tunjangan karena memang dasar uang pensiunnya terlalu minim!
Betapa gembiranya aku. Barangkali lebih atau mungkin sama ketika dulu itu
  aku mendapat peresmian bisa memiliki sepucuk pistol. Dan ketika diri ini
  dalam keadaan tenang dan jernih, ada jawaban dalam hati, tidak, tidak
  sama, malah lebih baik lebih gembira dan lebih senang dengan adanya surat
  keputusan itu. Kalau dipikir dalam-dalam, tenang-tenang, jujur-jujur, justru
  setelah memiliki pistol itulah dapat dikatakan sebagai pemicu atau pelatuk
  terdekat untuk segera melepaskan pistol itu. Adanya pistol itu bisa
  mengubah perwatakanku, menjadi beringas, galak, terlalu mudah terprovokasi. 
  Dan
  ingatlah, begitu terletus dan ke luar satu peluru, itu artinya sebuah jiwa
  hilang. Dan itu artinya akan ada akibat sampingan dan buntutnya. Lalu
  beruntun, rentetan urusannya! Sedang diri ini masih terlalu banyak urusan
  lain yang menunggu dan antri untuk diselesaikan.
Kabar bahwa aku akan pensiun-dini mulai hari pertama tahun 98, sudah
  tersebar di kalangan sendiri dan keluarga. Dan aku secara resmi datang
  menghadap Pascal sambil menyerahkan sepucuk pistol itu lengkap dengan
  surat-resmi dan jumah peluru yang dulu kuterima.
  "Ternyata kau yang dulu begitu ingin memiliki pistol, pada akhirnya dan
  kenyataannya mempercepatmu untuk pensiun-dini, apakah tidak begitu
  pendapatku?!", kata Pascal.
  "Besar kemungkinannya. Yang lebih menggembirakan, pistol ini saya kembalikan
  dengan utuh sebagaimana saya terima dulu. Dan saya tetap bersih dalam
  pengertian belum dan semoga tidak akan membunuh orang. Lebih dari itu
  lagi, sekarang saya jadi orang bebas, bebas beban, bebas dari rasa
  takut, curiga, dan semoga saya bisa menjalani kehidupan ini secara apa yang
  saya maukan dan cita-citakan.", kataku. Sebelum aku meninggalkan
  Pascal, lagi-lagi kupandangi benda hitam-mengkilat itu, yang dulu begitu
  kudambakan, yang ternyata samasekali tidak menjadikanku bahagia dan
  aman-tenteram.
Paris 10 Maret 1999
 
 
  
  © Sobron Aidit. 
  All rights reserved.
  Hak cipta dilindungi Undang-undang.