Bab 13 :
Kisah Sepucuk Pistol

Jarak resto - rumahku, kira-kira 15 km. Dua kali pindah metro(RER). Aku
tinggal di pinggiran kota Paris sebelah Timur. Perjalanan begitu turun dari
tangga rumah sampai tangga resto, kira-kira 45 sampai dengan 50 menit. Kalau
dinas malam, sampai di rumah menjelang jam 24.00 terkadang menjelang jam
01.00. Sebenarnya kalau soal pulang malam bukanlah persoalan benar. Tetapi
aku bepergian selalu dengan tas-sandang sejenis ransel. Dan isinya bermacam
keperluan pekerjaan, seperti clips, jepitan
surat, celotape, penghapus, karet, berjenis potlod, conte, gunting, buku dan
pembukuan resto dan, ini yang penting, uang! Uang ini adalah penghasilan
resto selama satu - dua atau tiga hari itu. Terkadang aku membawa uang
sampai 5000 francs. Uang ini buat disetorkan ke bank. Tetapi kalau tak
keburu waktu, karena bank sudah tutup, maka kubawa pulang. Kalau sudah lewat
pertengahan bulan, misalnya tanggal 17 setiap bulan, aku sudah mulai
mengumpulkannya buat keperluan membayar gaji teman-teman. Tidak boleh lagi
disetorkan ke bank, sebab uang buat keperluan itu paling sedikit harus
mencapai jumlah 30.000 francs, bahkan terkadang belum cukup. Sebab tergantung
berapa banyak jam-kerja seseorang pegawai dalam bulan itu. Setiap bulan
tidak selalu sama. Dan uang ini karena keperluan itu terpaksalah
mondar-mandir antara resto dan rumahku. Dan uang itu pada masa-masa
menjelang pembayaran gaji harus selalu dibawa, di dalam ranselku itu.

Kalau siang hari aku samasekali tidak merasa takut, tetapi tetap harus
waspada. Di Paris, pencopeten, rampok, jambret, dan tindak kekerasan tidak
kalah dengan Jakarta. Maka aku benar-benar harus waspada, harus selalu
berhati-hati. Kalau tasku ini dirampok, dijambret, dan aku ditodong, maka gaji
teman-teman tidak bisa dibayar. Dan aku tidak mungkin mampu
menggantinya. Jadi bagaimana? Isi dalam tas ini adalah jiwa kami bersama.
Jiwa bulan perbulan dari kehidupan kami. Dan pernah terjadi pada beberapa
teman kami yang kena rampok, kena jambret dan kena pukulan, dikeroyok ketika
pulang malam dari resto. Dan tasnya dirampas. "Untung" saja tak banyak
barang berharga, yang hilang berupa surat keterangan, KTP, atau
kartu-kredit. Tetapi tetap saja menyusahkan, karena harus berhubungan dengan
kantor-polisi buat melaporkannya dan mengurus penggantian yang baru. Ada
juga uang, tetapi tidak banyak. Sudah kuceritakan, mana ada kebiasaan orang
Paris membawa uang likid dalam jumlah banyak. Tetapi aku? Ini adalah uang
resto, dan uang kami bersama, uang gaji pendapatan hasil
kerjakeras, bantingtulang kami bersama. Dan kalau hilang, kalau
dijambret, dirampok? Mau apa aku?

Pertanyaan ini selalu bergalau dalam kepalaku. Dan hidupku ketika sedang
mondar-mandir membawa uang itu, selalu gelisah, tidak tenang, kuatir, dan
selalu harus hati-hati. Bila pulang malam hari, banyak menemui anak-anak
muda yang kelihatannya mencurigakan, selalu saja hati ini kuatir, gelisah dan
harus selalu siap. Sebenarnya siap itu sendiri akupun tak tahu, tak
jelas, akan bagaimana jadinya. Apakah aku akan melawan, akan
berteriak, membalas pukulan anak-anak muda yang kuat dan gagah itu? Inipun
belum jelas jawabannya. Tapi yang sudah pasti, orang jahat itu tentu saja
tidak akan begitu mudah merebut tas ini, dan aku tentu saja tidak akan
menyerahkan-diri dan menyerahkan tas itu. Artinya bagaimanapun tua dan
ringseknya tulang ini, ya, berlawanlah sedapatnya dulu.

Tetapi hal inipun bukannya gampang, dan mudah direka-reka. Orang jahat itu
tipu-daya dan gerak-tipunya tidak dapat diperhitungkan secara tepat.
Bukankah perkelahian dan peperangan itu adalah tumpuan gerak-pukul dalam
segala jurus tipuan demi melemahkan dan membasmi musuh?! Dan inipun masih
dalam teori di kertas. Sedangkan dalam kenyataannya samasekali tergantung
dari diri perorangan yang berperang dan bertempur, artinya juga dalam
perkelahian itu.

Selama aku menjabat penanggungjawab keuangan dan membawa uang ke mana-mana
itu, rasa kuatir, takut, cemas dan tidak tenang selalu membalut diriku. Kalau
kebetulan dalam tas memang sedang tidak membawa uang, ada rasa sedikit
tenang. Tetapi orang jahat tidak akan tahu apakah dalam tas itu sudah pasti
ada uang atau tidak ada uang. Jadi tetap saja harus berhati-hati, paling
tidak jangan sampai dipukul orang, jangan sampai dijambret orang, walaupun
jelas uangnya kebetulan tidak dibawa.

Setiap aku pulang malam, dan ada orang-orang yang patut dicurigai , apalagi
anak-anak muda yang tampangnya tampak beringasan, sangar, maka diri ini sudah
mulai curiga dan sudah pasang kuda-kuda. Kira-kira bagaimana cara
melawannya, cara mempertahankan tas ini, dan akhirnya sebuah perkelahian yang
tak seimbang, antara anak-anak muda yang kuat-gagah dengan orang tua yang
hampir pensiun.

Lama sekali aku berpikir tentang keamanan diri selama selalu membawa uang
ini. Ada beberapa teman yang sudah kena jambret, pukulan, dirampok. Dan
bukannya mustahil siapa tahu akan tiba juga giliranku
pada suatu kali. Akh, jangan sampailah! Sehingga tibalah pada satu keputusan
dalam hati. Aku harus menemui direktur kami, Pascal. Aku minta dipersenjatai
demi keamanan keuangan resto. Sungguh aku tidak merasa aman selalu membawa
uang begini. Aku minta dipersenjatai dengan sepucuk pistol demi menjaga
diri, dan demi menjaga keuangan resto.

Aku datang pada Pascal, dan kukemukakan pendapatku ini. Dia tertawa
terbahak-bahak mendengar penjelasanku ini.
"Akh kau ada saja Simon. Aku saja yang hidup di tengah ratusan kaum
imigrant di beberapa asrama itu, yang penghuninya selalu saja berkelahi, tokh
tidak memerlukan pistol".
"Ya, Anda masih muda dan kuat, dan banyak pembela dan pengawalnya. Saya?
Sudah tua, selalu sendiri dan selalu membawa uang. Dan uang ini uang semua
teman, uang resto. Sekali dirampok, habislah gaji satu bulan, darimana
mendapatkan penggantinya. Saya tidak sanggup mengganti, kan Anda tahu
sendiri, darimana sumber saya kalau tidak ada resto ini", kataku bertahan.
Dan banyak lagi kukemukakan pada Pascal, betapa aku memerlukan pistol itu
buat mempertahankan diri dan mempetahankan harta-benda resto yang selalu
kubawa-bawa.

Pascal tidak meng ya kan dan juga tidak membantah alasan-alasanku. Tetapi
kulihat dia juga banyak dan lama berpikir tentang alasan yang kukemukakan.
Dalam pada itu waktu terus saja berjalan, dan aku terus saja selalu gelisah
dan tidak tenang, terutama kalau menjelang pengumpulan uang buat persiapan
terima-gaji buat kami seluruh pegawai resto.

Suatu hari mendadak ada tilpun dari Pascal buatku. Dia minta aku datang ke
asrama orang-orang dari Afrika yang dia jadi direkturnya. Segera aku
memenuhi panggilannya.
"Jadi betul dan tetap saja kau berpendirian mau punya pistol itu?", kata
Pascal begitu aku duduk di hadapannya.
"Ya, dan tetap begitu pendapat saya", kataku.
"Apa kau bisa menggunakannya, pernah, dan tahu gunanya kapan harus
digunakan?!", agak keras dia mengatakan ini. Dan kuceritakan apa adanya yang
pernah aku tahu dan alami. Termasuk terpaksa aku menceritakan bahwa aku
sudah pernah dan lama menggunakan pistol ini. Dulu ketika kecil bahkan
ketika di SD, aku sudah tahu dan pernah menggunakan pistol kepunyaan ayahku.
Ayahku seorang mantri kehutanan, -boschwezan, di zaman Belanda. Dia punya
browning, lalu lee enfield, dan aku pernah belajar menembak, dan ayah yang
mengajarkan. Ayahku seorang pemburu, jelas suka berburu rusa, kijang bukannya
orang. Di rumah kami penuh dengan sangkutan pakaian dan baju yang terdiri
dari tanduk rusa dan kijang. Ayahku mencatat selama hidupnya dia sudah
menembak rusa sejumah 56 ekor, rusa besar-besar, dan puluhan kijang serta
ratusan kancil, pelanduk. Ayah punya senapang double-loup, senapang berlaras
dua, lalu beberapa senapang dan jenis pistol lainnya. Dan sesudah aku
dewasa, lagi-lagi aku bertemu dengan berjenis pistol dan senapang ini.
Sebenarnya aku sangat tertarik dengan berjenis senjata beginian. Tak
usahlah kuceritakan hal-hal yang bikin rumit orang lain!

Pokoknya Pascal dengan keras seperti mengadakan ujian kepada seseorang yang
akan ditentukan lulus tidaknya.
"Untuk apa kau mau punya pistol?".
"Buat berjaga-diri, bertahan dan mempertahankan harta-benda resto dari
perampokan dan perampasan".
"Kapan tepatnya kau akan menggunakan dan meletikkan pemicunya?".
"Ketika tidak ada lagi jalan lain, terpaksa dan dalam keadaan bertahan diri
dan membela diri, di mana harta dan nyawa kita sangat terancam dan sangat
kritis".
"Kau tahu apa arti harga sebuah peluru?!"
"Adalah jiwa seseorang", kataku mantap.
"Betul kau mengerti menggunakannya, dan kapan kau terpaksa menggunakannya?".
"Saya akan menggunakannya kalau betul-betul terpaksa dan tak ada jalan
lain, di mana harta-benda dan jiwa saya harus dilindungi dengan pistol
itu", kataku lagi.
"Kau harus bertanggungjawab penuh dengan pistol itu. Kau tahu kalau terjadi
di luar semua yang kau katakan, tidak hanya kamu yang masuk penjara tetapi
aku juga masuk penjara akibat perbuatan kamu, mengerti kamu?!".
"Ya saya mengerti sepenuhnya, dan saya akan menjaganya dengan
memperhitungkan semua akibat yang Anda katakan tadi", kataku mantap.

Dalam hatiku, semoga saja pistol itu tidak akan sampai diletuskan. Sebab
kalau sebuah saja peluru ke luar, artinya ada sebuah jiwa yang
hilang, seseorang lain atau aku sendiri. Dan terasa dalam diri ini, sudah
lama benar aku ingin punya pistol begitu.

Paris 9 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.