Jarak resto - rumahku, kira-kira 15 km. Dua kali pindah metro(RER). Aku
  tinggal di pinggiran kota Paris sebelah Timur. Perjalanan begitu turun dari
  tangga rumah sampai tangga resto, kira-kira 45 sampai dengan 50 menit. Kalau
  dinas malam, sampai di rumah menjelang jam 24.00 terkadang menjelang jam
  01.00. Sebenarnya kalau soal pulang malam bukanlah persoalan benar. Tetapi
  aku bepergian selalu dengan tas-sandang sejenis ransel. Dan isinya bermacam
  keperluan pekerjaan, seperti clips, jepitan
  surat, celotape, penghapus, karet, berjenis potlod, conte, gunting, buku dan
  pembukuan resto dan, ini yang penting, uang! Uang ini adalah penghasilan
  resto selama satu - dua atau tiga hari itu. Terkadang aku membawa uang
  sampai 5000 francs. Uang ini buat disetorkan ke bank. Tetapi kalau tak
  keburu waktu, karena bank sudah tutup, maka kubawa pulang. Kalau sudah lewat
  pertengahan bulan, misalnya tanggal 17 setiap bulan, aku sudah mulai
  mengumpulkannya buat keperluan membayar gaji teman-teman. Tidak boleh lagi
  disetorkan ke bank, sebab uang buat keperluan itu paling sedikit harus
  mencapai jumlah 30.000 francs, bahkan terkadang belum cukup. Sebab tergantung
  berapa banyak jam-kerja seseorang pegawai dalam bulan itu. Setiap bulan
  tidak selalu sama. Dan uang ini karena keperluan itu terpaksalah
  mondar-mandir antara resto dan rumahku. Dan uang itu pada masa-masa
  menjelang pembayaran gaji harus selalu dibawa, di dalam ranselku itu.
  
  Kalau siang hari aku samasekali tidak merasa takut, tetapi tetap harus
  waspada. Di Paris, pencopeten, rampok, jambret, dan tindak kekerasan tidak
  kalah dengan Jakarta. Maka aku benar-benar harus waspada, harus selalu
  berhati-hati. Kalau tasku ini dirampok, dijambret, dan aku ditodong, maka gaji
  teman-teman tidak bisa dibayar. Dan aku tidak mungkin mampu
  menggantinya. Jadi bagaimana? Isi dalam tas ini adalah jiwa kami bersama.
  Jiwa bulan perbulan dari kehidupan kami. Dan pernah terjadi pada beberapa
  teman kami yang kena rampok, kena jambret dan kena pukulan, dikeroyok ketika
  pulang malam dari resto. Dan tasnya dirampas. "Untung" saja tak banyak
  barang berharga, yang hilang berupa surat keterangan, KTP, atau
  kartu-kredit. Tetapi tetap saja menyusahkan, karena harus berhubungan dengan
  kantor-polisi buat melaporkannya dan mengurus penggantian yang baru. Ada
  juga uang, tetapi tidak banyak. Sudah kuceritakan, mana ada kebiasaan orang
  Paris membawa uang likid dalam jumlah banyak. Tetapi aku? Ini adalah uang
  resto, dan uang kami bersama, uang gaji pendapatan hasil
  kerjakeras, bantingtulang kami bersama. Dan kalau hilang, kalau
  dijambret, dirampok? Mau apa aku?
Pertanyaan ini selalu bergalau dalam kepalaku. Dan hidupku ketika sedang
  mondar-mandir membawa uang itu, selalu gelisah, tidak tenang, kuatir, dan
  selalu harus hati-hati. Bila pulang malam hari, banyak menemui anak-anak
  muda yang kelihatannya mencurigakan, selalu saja hati ini kuatir, gelisah dan
  harus selalu siap. Sebenarnya siap itu sendiri akupun tak tahu, tak
  jelas, akan bagaimana jadinya. Apakah aku akan melawan, akan
  berteriak, membalas pukulan anak-anak muda yang kuat dan gagah itu? Inipun
  belum jelas jawabannya. Tapi yang sudah pasti, orang jahat itu tentu saja
  tidak akan begitu mudah merebut tas ini, dan aku tentu saja tidak akan
  menyerahkan-diri dan menyerahkan tas itu. Artinya bagaimanapun tua dan
  ringseknya tulang ini, ya, berlawanlah sedapatnya dulu.
Tetapi hal inipun bukannya gampang, dan mudah direka-reka. Orang jahat itu
  tipu-daya dan gerak-tipunya tidak dapat diperhitungkan secara tepat.
  Bukankah perkelahian dan peperangan itu adalah tumpuan gerak-pukul dalam
  segala jurus tipuan demi melemahkan dan membasmi musuh?! Dan inipun masih
  dalam teori di kertas. Sedangkan dalam kenyataannya samasekali tergantung
  dari diri perorangan yang berperang dan bertempur, artinya juga dalam
  perkelahian itu.
Selama aku menjabat penanggungjawab keuangan dan membawa uang ke mana-mana
  itu, rasa kuatir, takut, cemas dan tidak tenang selalu membalut diriku. Kalau
  kebetulan dalam tas memang sedang tidak membawa uang, ada rasa sedikit
  tenang. Tetapi orang jahat tidak akan tahu apakah dalam tas itu sudah pasti
  ada uang atau tidak ada uang. Jadi tetap saja harus berhati-hati, paling
  tidak jangan sampai dipukul orang, jangan sampai dijambret orang, walaupun
  jelas uangnya kebetulan tidak dibawa.
Setiap aku pulang malam, dan ada orang-orang yang patut dicurigai , apalagi
  anak-anak muda yang tampangnya tampak beringasan, sangar, maka diri ini sudah
  mulai curiga dan sudah pasang kuda-kuda. Kira-kira bagaimana cara
  melawannya, cara mempertahankan tas ini, dan akhirnya sebuah perkelahian yang
  tak seimbang, antara anak-anak muda yang kuat-gagah dengan orang tua yang
  hampir pensiun.
Lama sekali aku berpikir tentang keamanan diri selama selalu membawa uang
  ini. Ada beberapa teman yang sudah kena jambret, pukulan, dirampok. Dan
  bukannya mustahil siapa tahu akan tiba juga giliranku
  pada suatu kali. Akh, jangan sampailah! Sehingga tibalah pada satu keputusan
  dalam hati. Aku harus menemui direktur kami, Pascal. Aku minta dipersenjatai
  demi keamanan keuangan resto. Sungguh aku tidak merasa aman selalu membawa
  uang begini. Aku minta dipersenjatai dengan sepucuk pistol demi menjaga
  diri, dan demi menjaga keuangan resto.
Aku datang pada Pascal, dan kukemukakan pendapatku ini. Dia tertawa
  terbahak-bahak mendengar penjelasanku ini.
  "Akh kau ada saja Simon. Aku saja yang hidup di tengah ratusan kaum
  imigrant di beberapa asrama itu, yang penghuninya selalu saja berkelahi, tokh
  tidak memerlukan pistol".
  "Ya, Anda masih muda dan kuat, dan banyak pembela dan pengawalnya. Saya?
  Sudah tua, selalu sendiri dan selalu membawa uang. Dan uang ini uang semua
  teman, uang resto. Sekali dirampok, habislah gaji satu bulan, darimana
  mendapatkan penggantinya. Saya tidak sanggup mengganti, kan Anda tahu
  sendiri, darimana sumber saya kalau tidak ada resto ini", kataku bertahan.
  Dan banyak lagi kukemukakan pada Pascal, betapa aku memerlukan pistol itu
  buat mempertahankan diri dan mempetahankan harta-benda resto yang selalu
  kubawa-bawa.
Pascal tidak meng ya kan dan juga tidak membantah alasan-alasanku. Tetapi
  kulihat dia juga banyak dan lama berpikir tentang alasan yang kukemukakan.
  Dalam pada itu waktu terus saja berjalan, dan aku terus saja selalu gelisah
  dan tidak tenang, terutama kalau menjelang pengumpulan uang buat persiapan
  terima-gaji buat kami seluruh pegawai resto.
Suatu hari mendadak ada tilpun dari Pascal buatku. Dia minta aku datang ke
  asrama orang-orang dari Afrika yang dia jadi direkturnya. Segera aku
  memenuhi panggilannya.
  "Jadi betul dan tetap saja kau berpendirian mau punya pistol itu?", 
  kata
  Pascal begitu aku duduk di hadapannya.
  "Ya, dan tetap begitu pendapat saya", kataku.
  "Apa kau bisa menggunakannya, pernah, dan tahu gunanya kapan harus
  digunakan?!", agak keras dia mengatakan ini. Dan kuceritakan apa adanya 
  yang
  pernah aku tahu dan alami. Termasuk terpaksa aku menceritakan bahwa aku
  sudah pernah dan lama menggunakan pistol ini. Dulu ketika kecil bahkan
  ketika di SD, aku sudah tahu dan pernah menggunakan pistol kepunyaan ayahku.
  Ayahku seorang mantri kehutanan, -boschwezan, di zaman Belanda. Dia punya
  browning, lalu lee enfield, dan aku pernah belajar menembak, dan ayah yang
  mengajarkan. Ayahku seorang pemburu, jelas suka berburu rusa, kijang bukannya
  orang. Di rumah kami penuh dengan sangkutan pakaian dan baju yang terdiri
  dari tanduk rusa dan kijang. Ayahku mencatat selama hidupnya dia sudah
  menembak rusa sejumah 56 ekor, rusa besar-besar, dan puluhan kijang serta
  ratusan kancil, pelanduk. Ayah punya senapang double-loup, senapang berlaras
  dua, lalu beberapa senapang dan jenis pistol lainnya. Dan sesudah aku
  dewasa, lagi-lagi aku bertemu dengan berjenis pistol dan senapang ini.
  Sebenarnya aku sangat tertarik dengan berjenis senjata beginian. Tak
  usahlah kuceritakan hal-hal yang bikin rumit orang lain!
Pokoknya Pascal dengan keras seperti mengadakan ujian kepada seseorang yang
  akan ditentukan lulus tidaknya.
  "Untuk apa kau mau punya pistol?".
  "Buat berjaga-diri, bertahan dan mempertahankan harta-benda resto dari
  perampokan dan perampasan".
  "Kapan tepatnya kau akan menggunakan dan meletikkan pemicunya?".
  "Ketika tidak ada lagi jalan lain, terpaksa dan dalam keadaan bertahan 
  diri
  dan membela diri, di mana harta dan nyawa kita sangat terancam dan sangat
  kritis".
  "Kau tahu apa arti harga sebuah peluru?!"
  "Adalah jiwa seseorang", kataku mantap.
  "Betul kau mengerti menggunakannya, dan kapan kau terpaksa menggunakannya?".
  "Saya akan menggunakannya kalau betul-betul terpaksa dan tak ada jalan
  lain, di mana harta-benda dan jiwa saya harus dilindungi dengan pistol
  itu", kataku lagi.
  "Kau harus bertanggungjawab penuh dengan pistol itu. Kau tahu kalau terjadi
  di luar semua yang kau katakan, tidak hanya kamu yang masuk penjara tetapi
  aku juga masuk penjara akibat perbuatan kamu, mengerti kamu?!".
  "Ya saya mengerti sepenuhnya, dan saya akan menjaganya dengan
  memperhitungkan semua akibat yang Anda katakan tadi", kataku mantap.
Dalam hatiku, semoga saja pistol itu tidak akan sampai diletuskan. Sebab
  kalau sebuah saja peluru ke luar, artinya ada sebuah jiwa yang
  hilang, seseorang lain atau aku sendiri. Dan terasa dalam diri ini, sudah
  lama benar aku ingin punya pistol begitu.
Paris 9 Maret 1999
 
 
  
  © Sobron Aidit. 
  All rights reserved.
  Hak cipta dilindungi Undang-undang.