Bab 20 :
Pendapat dari Luar

Ada kelainan antara resto kami dengan resto pada umumnya. Kelainan itu
menurut banyak pendapat dari luar dan setelah kami sendiri mengamatinya
dengan cermat, ada persamaan pendapat antara kami dengan pendapat
luar. Terutama tentu saja resto kami berbentuk koperasi. Resto dengan sistim
koperasi hanya ada tiga di seluruh Paris ketika itu. Koperasi artinya
kerjasama antara anggotanya, diatur bersama. Terbuka dan transparan antara
anggota. Tidak ada majikan, tidak taokenya. Pembagian tugas-kerja, ada yang
menjadi penanggungjawab-umum, ada yang menjadi penanggungjawab bagian, dan
ada tugas-tugas tertentu setiap teman. Sehingga semua teman mendapat tugas
yang saling berhubungan.

Ketika kami sangat capek, lelah-letih, loyo karena kebanyakan kerja, lalu mau
marah, mau maki. Tetapi marah kepada siapa, maki kepada siapa? Semua juga
adalah pekerjaan bersama. Tak ada majikan atau taoke yang harus kami maki
dan marahi. Semua juga sama tugasnya, hanyalah pembagian kerja saja. Mau
minta tambahan gaji, mau naik gaji, mau mengadakan pemogokan, lalu kepada
siapa ditujukan? Wong semua pekerjaan dan pendapatan dibagi adil, sama rata
dan sesuai dengan jam-kerja yang ada. Karena itu kami semua merasakan bahwa
pekerjaan ini adalah pekerjaan demi kepentingan bersama. Bukan buat si
A, bukan buat Pak Markam secara pribadi, bukan buat keluarganya. Tetapi demi
semua teman yang tergabung dalam kesatuan koperasi ini.

Karena itu ketika kami ditimpa krisis dan sangat kritis selama dan sebanyak
dua kali itu, semua teman dengan rela menyerahkan pinjaman uangnya demi
suntikan dana buat resto. Dan rela tak menerima gaji sekian bulan. Kami
sering berkata saling menghibur-diri, selagi kita punya resto ini, jangan
kuatir, minimum kita tidak akan mati kelaparan! Dan memang benar. Selama
kami tidak menerima gaji, adanya resto sangat membantu "pertahanan-dapur"
masing-masing, sehingga kami dapat makan kenyang walapun tak ada uang di
kantong. Pekerjaan resto selalu terbuka-transparan, ada rapat-rapat secara
demokratis, pemeriksaan bersama keuangan, perbelanjaan dan perhitungan
lainnya. Kami sebut hari "kemisan" karena selalu pada hari Kemis kami
adakan rapat. Memang pernah tak dapat memenuhi jadwal secara teratur
ketat, karena ada soal-soal dan kegiatan lain yang lebih mendesak. Tapi satu
hal, paling lambat, sebulan sekali harus ada rapat pegawai-pekerja.

Apa lagi lainnya kami ini dengan resto lain? Kami bukan dan tidak hanya
cari makan tok, cari uang dan nafkah ansich. Di resto kami selalu mengadakan
kegiatan kulutral. Misalnya selalu ada pameran
lukisan, foto, kerajinan-tangan, yang semuanya bersifat memperkenalkan
budaya-adat-istiadat ke-Indonesia-an. Pameran foto tentang budaya dan
adat-istiadat Toraja, Irian Barat dengan suku asmatnya sudah beberapa kali
kami adakan. Seorang fotographer Le Thomas banyak memperkenalkan tentang
jenis perahu sepanjang pantura, pantai utara - Jawa. Berjenis perahu
nelayan. Sebelum itu Thomas banyak mengabadikan kehidupan anak-anak di Jawa
dan Bali.
Setiap Jumat malam, kami adakan pertunjukan tari-bali. Kami serahkan kepada
mereka, para penari itu sendiri untuk mengatur dirinya, siapa yang akan
menari pada Jumat ini atau Jumat depannya, bergilir. Para seniman Bali ini
punya organisasi semacam "banjar"nya seperti di Bali, mungkin. Sehingga
mereka sangat teratur dalam memenuhi jadwal yang kami serahkan pada mereka.
Saling pengertian kerjasama demikian sangat membantu antara kami.

Para pelanggan selalu banyak bertanya yang sifatnya ke-Indonesia-an, berapa
luas Indonesia itu, berapa banyak pulau-pulaunya, sukubangsanya, dan bagaimana
adat-istiadat setempatnya, dan berbagai persoalan yang mereka mau tahu.
Selagi kami sendiri tahu dan mengerti persoalannya, selalu kami berikan
jawabannya. Dan mereka puas. Jadi antara mereka dan kami tidak semata-mata
hubungan makan dan minum saja, tetapi menyangkut urusan sosial-kultural.
Sudah tentu resto kami tidak mengadakan kegiatan politik apapun. Mau
berpolitik silahkan di luaran, jangan di resto! Resto adalah tempat
pertahanan kehidupan banyak teman, sedangkan teman-teman itu belum tentu
satu dalam pandangan politiknya! Karena itu biarkanlah resto dengan
tugasnya sendiri, dan tidak memasukkan kegiatan politik. Kegiatan
sosial-kultural-, yes! Kegiatan politik praktis -, no! Pada pokoknya
demikianlah isi resto kami.

Di mata banyak pelanggan kami yang benar-benar dekat dan mengenal
kami, mereka mengatakan dan berpendapat, seakan-akan kami ini juga bagaikan
misi kedutaan, misi persahabatan. Mereka tahu dan saling cerita
sesamanya, bahwa di resto Indonesia itu, bukan resto biasa. Kebanyakan
pendiri, pagawai dan pekerjanya adalah kaum intelektuil, kebanyakan sarjana.
Dan memang, kebanyakan teman-teman banyak yang sudah bergelar sarjana. Ada
sarjana, insinyur permesinan, pertanian, listrik-elektronik, dan bahkan
profesor-mahaguru bahasa dan sastra. Tetapi semua ini tidak mungkin
menuruti jelujur jalannya profesi dengan yang ada di Perancis. Perancis
tidak mengakui semua diploma yang berasal dari negeri sosialis! Ada teman
kami yang sudah lama praktek kedokteran di sebuah negeri sosialis, dan punya
tiga jenis diploma, juga sebagai akhli percangkokan. Tetapi sampai kini
sudah bertahun-tahun bekerja di sebuah hospital dengan pangkat jururawat!
Padahal pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan dokter. Ini
menguntungkan pihak hospital, apanya? Gajinya! Dengan pangkat jururawat
artinya gajinya juga dengan pangkat sesuai jururawat. Pekerjaannya sebagai
dokter, tetapi pangkatnya jururawat, bukankah dapat juga dikatakan sebagai
bentuk penghisapan yang terselubung?

Lagipula ketika itu kebanyakan dari kami belum secara baik berbahasa
Perancis. Mana ada yang mau menerima teman-teman tersebut untuk dapat
bekerja di kantoran dan perusahaan. Dan ketika itu "pangkat" kami masih
sebagai refugee, kaum pengungsi politik. Mana ada jawatan Perancis yang mau
menerima kaum pelarian politik untuk bekerja! Takkan pernah ada. Dan kami
sudah mencobanya.

Ada lagi keistimewaan lain yang dilihat pandangan dari luar. Di resto kami
- secara kebetulan -, banyak sekali yang tahu bahasa asing. Yang sudah
pasti, kami banyak yang mengerti bahasa Inggeris, Perancis, Belanda, Tionghoa
dan Jerman. Lalu pernah ada pelanggan yang hanya bisa berbahasa Spanyol dan
ada yang hanya bisa bahasa Ceko(ketika itu) dan bahasa Hongaria. Dan
kebetulan, ketika itu sedang bertugas teman-teman yang dari negeri tersebut.
Kami katakan, nah ini ada teman kami yang bisa bahasa itu. Dan mereka
mulailah berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Juga kalau hanya bahasa
Russia, cukup banyak teman yang mengerti dan memahaminya. Perkara ini bagi
banyak pelanggan menjadi buahbibir untuk mereka saling bercerita bahwa
resto Indonesia itu benar-benar dikelola oleh banyak kaum intelektuil. Dan
pada kenyataannya kami banyak juga berdiskusi mengenai banyak hal yang
sifatnya penegetahuan-umum-dunia, sehingga banyak antara mereka yang merasa
"nyambung" kalau datang dan omong-omong dengan "teman-teman Indonesia" di
resto Indonesia.

Dari hal-hal kecil begini bertambah tersiarlah "keunikan" "ketipikalan"
resto kami. Dan buat kami, tentu saja suatu publisite gratisan! Ada suatu
periode kebanyakan pelanggan kami minta agar mereka diajarkan Bahasa
Indonesia. Ini pada tahun 1983 sampai dengan 1985. Karena banyak desakan
begini, kami membuka kursus Bahasa Indonesia di resto setiap hari Senen
malam, karena ketika itu hanya pada Senen malam resto kami tutup. Aku
ditugaskan mengajar Bahasa Indonesia. Murid-muridnya tentu saja orang
dewasa yang sudah bekerja dan mempunyai jabatan tertentu di instansinya.
Tetapi pada umumnya mereka punya hubungan dengan Indonesia. Ada yang
insinyur perminyakan di Total, dan ada yang bekerja di pertambangan
Cilegon, dan bahkan di perminyakan Balikpapan. Aku sangat menyukai semangat
mereka dalam belajar ini. Sangat giat, antusias, banyak pertanyaan, dan
benar-benar ingin tahu.

Aku mengajar dengan sistim yang dulu kami trapkan di Tiongkok. Selalu dalam
bahasa yang diajarkan, hantam dengan bahasa Indonesia terus, kecuali sudah
tak ada jalan lain barulah dengan bahasa Perancis. Begitu masuk
kelas, langsung berbahasa Indonesia. Seorang siswa kutanya, "berapa orang
siswa dalam kelas ini sekarang?" Lama tak berjawab. Seorang siswa lainnya
agak tidak sabaran, lalu nyeletuk dengan agak pelan agar tidak
menyolok, dalam bahasa Perancis "sebut saja ibukota Peru", katanya. Lalu
siswa itu segera menjawab, "lima" katanya. Dan kami berenam orang itu dengan
gurunya ini, aku, tertawa girang dan lucu.

Kejadian begini selalu meninggalkan kenangan indah. Pelanggan terkadang
menjadi teman dan siswa. Resto bagaikan tempat "rendez-vous" appointment
buat hal-hal yang sifatnya persahabatan antara bangsa dan rakyat. Dan
mereka merasakan akan kebutuhan untuk datang ke resto kami bukan
semata-mata mau makan dan minum, tetapi mau sekedar ngobrol dan bertanya
banyak hal. Mungkin semua perkara beginilah yang unik dan tipikalnya resto
kami dengan yang lainnya. Dalam keramahtamahan dan kehangatan banyak yang
ditulis dalam buku-tamu, livre d'or yang sudah 19 jilid, termasuk kritik dan
sindiran.

Paris 31 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.