Bab 9 :
Warna - warni Resto

Pada akhirnya sesudah dengan sedikit bersusah-payah dan makan-waktu, kami
mendapatkan seorang chef-kok yang mau dan bersedia bekerja di resto kami.
Namanya Cong, seorang pemuda. Dia dulunya memang pernah bekerja sebagai koki
di berbagai resto di Holland, lalu di Jerman di Restaurant Bali di
Köln, Cologne sebutan Perancisnya. Setelah melalui perundingan yang
bersahabat, kami diperkenankan merekrut Cong dan bekerja sebagai pekerja
salaire(yang bergaji-tetap) dengan pangkat chef-kok. Sudah tentu gaji Cong
paling besar dari semua kami, tetapi besarnya itu tetap masih bisa diterima
semua teman, dan masih wajar-wajar saja.

Cong adalah seorang muda yang berwatak keras, mudah terbakar, suka
maki-maki, agak kasar, tetapi selalu terusterang dan jujur. Sangat
bertanggungjawab atas pekerjaannya, dan cepat kerjanya. Tak seorangpun di
antara kami yang bisa disejajarkan dengan Cong kalau bekerja di
dapur. Sekali kerja, dia bisa menyelesaikan banyak masakan, dan dia seorang
pembersih. Dapur selalu bersih kalau ada Cong, dan ini sangat penting.
Kekuranga yang sangat menonjol pada Cong yalah karena dia suka marah-marah
dan maki-maki, dan agak kasar. Tadinya kami belum terbiasa dengan cara dan
watak Cong. Terasa ada dua dunia yang sangat berlainan, perwatakan kami pada
umumnya dan perwatakan Cong yang memang dari dunia yang samasekali berbeda
dengan kami. Semula memang sangat sukar menghadapi Cong ini. Sering
bentrokan, bertengkar, dan terkadang memanas. Bukan sekali dua, pernah hampir
terjadi hal-hal yang tak dikehendaki, seperti merencanakan perkelahian dan
lain sebagainya. Tetapi kami selalu memikirkan matang-matang sebelum
berbuat, dan pada akhirnya kami bisa meredam perasaan demi kelanjutan usaha
kami bersama ini. Dan lama-lama kami bisa menerima perwatakan Cong yang
sebenarnya sangat asing di
kalangan kami. Terkadang kami bisa bergaul rapat dengan Cong, dan terkadang
Cong cukup menyenangkan. Karena saling dekat secara wajar dan lama hidup
dan bekerjasama begini, antara kami bisa saling membuka
pikiran-hidup, terutama Cong bisa bercerita banyak mengenai hal-hal yang
agak pribadinya.

Masakan Cong cukup enak. Kecepatan kerjanya kami puji, dan kebersihannya tak
ada yang menandinginya di antara kami. Dan komunikasi, pergaulan Cong dengan
masarakat-luar sangat baik. Yang kumaksudkan sangat baik itu, dia amat
pandai bergaul, peregaulannya luas. Walaupun bahasa Perancisnya agak
tersendat-sendat, tetapi dia berani berbicara, berani ngomong, tak takut
salah, berusaha agar orang lain mengerti, sehingga lama-lama dia terlatih dan
pada akhirnya bisa mengikuti pergaulan luas. Ini modal yang sangat baik buat
seseorang yang mau bergaul luas dan mau cepat bisa berbahasa.

Cong sebenarnya masak jenis makanan apapun bisa. Tetapi lama kelamaan dia
mendapati dirinya dan menemukan dirinya setelah bertahun-tahun hidup di
Paris, bahwa dia sebenarnya sangat suka akan photographi. Semula memang
hanya hobbynya, tetapi lama kelamaan menjadi kegemaran yang menggebu-gebu.
Uang gajinya boleh dikatakan habis karena membeli kamera, dan kameranya ini
sangat canggih. Pernah dia punya tiga kamera yang baik, tetapi satu tercuri
karena kurang hati-hati. Dan selera membeli kameranya tetap menggebu. Orang
yang datang ke resto kami yang profesinya photographer
sangat ngiler melihat aparat kamera Cong.

Setiap hari sesudah kerja di dapur, Cong dengan kameranya menjalani Paris.
Mencari obyek sasaran kamera buat diabadikan. Beberapa fotonya pernah masuk
koran, dimuat di majalah di Paris. Dan bahkan pernah dimuat di beberapa
majalah di Jakarta. Kukatakan padanya bahwa simpan baik-baik itu hasil
jepretanmu, suatu kali malah bisa dijadikan bukti bahwa kau adalah seorang
photographer yang baik. Pernah Cong secara diam-diam dan mencuri beberapa
top-foto-model di Paris. Antaranya Claudia Shiffer dan Cindy
Crawfurd, wanita cantik fotomodel-top kelas dunia, ketika mereka
berpameran-model pakaian di Paris. Dua orang berkebangsaan Jerman dan AS
itu sangat mendapat sambutan di Paris, dan Cong punya hasil jepretannya
sendiri. Tentu saja Cong merasa bangga dan kamipun merasa senang dia dapat
mengembangkan hobbynya dan beruntung dapat sasaran kakapnya.

Kerja di resto sangat melelahkan. Kalau seorang anak muda yang masih
berumur duapuluhan, tigapuluhan
mengatakan capek kerja di resto, maka kami yang sudah berumur kepala lima
bahkan ada yang berkepala enam ini, sangat wajar kalau sering-sering
keletihan dan lelah yang amat sangat.

Suatu kali aku kebagian urusan mengangkat botol minuman dari lantai dasar
ke bawah, ke cave, gudang bawah-tanah. Banyaknya 32 kas. Setiap kasnya berisi
12 botol, ada yang 8 botol tetapi botol besar. Minuman ini ada yang
anggur, ada yang soft-drink, minuman ringan. Kalau hanya belasan kas, adalah
biasa, tidak terlalu banyak. Tetapi ini sekaligus datang sejumlah puluhan
kas. Kas-kas itu pada mulanya bisa diangkat karena tenaga kita masih ada.
Tetapi kalau sudah capek, lalu didorong saja pelan-pelan dan hati-hati.
Karena memburu jam-kerja, maka pekerjaan ini harus selesai dan cepat pada
waktunya. Sebab tak lama lagi akan datang jam-service, menerima
pelanggan, berarti sudah jualan.
Pengalaman mengajarkan, kalau mau memburu waktu tak begitu terasa capeknya.
Tetapi begitu selesai bekerja, lalu pinggang sakit dan tahu-tahu saja tak
bisa jalan. Jalannya bongkok, dan pinggang sakitnya kagak ketulungan kata
orang Jakarta. Untuk keduakalinya aku mengalami harus istirahat karena
sakit, arret travailler, selama 10 hari. Hanya yang kedua ini tidak
pingsan, tetapi tak bisa jalan. Pulangpun harus dengan taksi. Dan setiap hari
mendapat suntikan selama seminggu. Perawatnya datang ke rumahku setiap
pagi. Bukan main melelahkannya kerja di resto begini, tetapi lalu mau apa?!

Setelah resto kami berjalan lebih dari 6 bulan, di mana kami sudah dikenai
peraturan umum dan perundang-undangan umum, maka kami harus menyesuaikan
diri dengan segala peraturan tersebut. Ketika itu kami sudah memberikan gaji
secara SMIC, Salaire Minimum Interprofessionel Conventionne, gaji minimum
yang tak boleh kurang, dan kalau menyalahi peraturan itu akan
didenda, mendapat hukuman, dan bahkan bisa-bisa resto harus tutup-total.
Kalau tak salah ketika itu gaji Smic seharga 23 francs satu jam. Sejak
resto kami berdiri, sampai kini, kami tak pernah menggaji pegawai kami lebih
rendah dari Smic. Dan ini memang keharusan, undang-undang perburuhan yang
tidak boleh dilanggar. Ada saja resto lain yang melanggar atau berani
melanggarnya, tetapi kami berpendapat sebaiknya janganlah kami. Smic, gaji
minimum memang setiap tahun naik, tetapi hanya beberapaa persen saja, hanya
beberapa ketip, puluhan sen saja, atau paling banyak hanya satu dua francs
saja. Hingga tahun ini, 1999, smic sekitar 40 sampai dengan 41 francs satu
jam-kerja, dan itulah gaji kami setiap orangnya.

Sebenarnya smic, gaji minimum ini kalau kita bisa mengatur, dan hemat, hidup
tak berlebihan, pasti akan bisa hidup yang juga minimum. Buktinya kami yang
belasan tahun bekerja di resto ini, yang bergaji smic, sejak kami mendapatkan
paspor Perancis, setiap tahun bisa ke Indonesia, ini contoh konkritnya. Dan
lagi sejak kami hidup punya gaji seperti orang-orang normal itu, tidak
sedikit pegawai - pekerja kami yang punya mobil, kendaraan pribadi.

Dan agak aneh atau kebiasaan "para melayu" ini, kalau makanpun sangat
sederhana. Orang Perancis kalau makan didahului aperitifnya, lalu
antreenya, lalu plat-nya, lalu akan mengakhirinya dengan dessert, lalu bisa
kopi bisa digestif. Banyak cengkune-peraturan dan kebiasaannya. Tapi kami
"para melayu" ini yang juga kami sebut "para kurawa" ini, kalau makan ya
makan saja, abis perkara. Dan makanpun karena sudah bosan makan yang itu-itu
saja, lalu betapa enaknya kalau makan buntut, kaki, kepala, jeroan, yang buat
orang bule hanya sering diberikan kepada binatang peliharaannya. Dan akan
merasa bukan main mewahnya kalau kami dapat makanan goreng-tempe, ikan teri.
Seseorang teman begitu datang dari Holland, bukan menanyakan apa
kabar, bagaimana di sana, ketemu siapa, tetapi menanyakan bawa tempe nggak?!

Kami banyak mendapat kritikan dari mana-mana, teman kami sendiri yang hidup
di Eropa lainnya. Mereka mengatakan kami ini sudah merosot semangat
juangnya, hanya semata-mata cari hidup saja. Pikiran hanya ke soal-soal
hidup dan perut saja. Tidak memperhatikan kehidupan kolektif lainnya, tidak
turut aktif membantu teman-teman di tanahair. Kritikan begini tentu saja
kami perhatikan dan harus periksa diri juga. Tetapi juga berilah kami
kesempatan untuk menjelaskan keadaan sebenarnya, yang mungkin
syarat-syaratnya lain dengan negara Eropa lainnya. Kami ketika itu belum
seorangpun yang berwarganegara Perancis. Artinya kami harus menuruti
peraturan dan perjanjian yang dulu pernah kami tandatangani ketika minta
perlindungan pada pemerintah Perancis menjadi orang asilan, perlindungan
politik. Bahwa tidak akan aktif berpolitik kongkrit, praktis. Seseorang
teman mau aktif berpolitik praktis, bisa-bisa saja tetapi jangan di
resto, harus di luar resto, itulah pedoman kami.

Dan rasanya dan kiranya tidak tepat kalau mengatakan kami hanya tenggelam
dalam kehidupan semata-mata cari makan, dan cari hidup saja. Bahwa apakah
kami turut membantu teman-teman yang sedang susah di tanahair, apakah kami
hanya berdiam-diri saja dengan hirukpikuknya perjuangan yang sedang
hangat-hangatnya, adalah tidak pada tempatnya kalau kami cerita ke mana-mana
bahwa kami sudah mengerjakan ini itu, dan itu adalah hasil kerja kami.
Rasanya tidak etis, dan ya nggak enaklah! Mungkin ada baiknya nanti
kuceritakan sekedar cerita biasa, yang manusiawi, yang sangat normal bukan
bersifat politik-tinggi. Mungkin akan lebih menarik.

Paris 26 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.