Beberapa hari menjelang pembukaan-resmi Resto, kami bersama beberapa teman
  benar-benar bekerja secara gila-gilaan. Tidak mengenal waktu, tidak
  memperhatikan kesehatan, karena mengejar dan berpacu waktu. Badan loyo-lemas
  karena kurang tidur, terlalu letih-lelah. Tetapi diliputi rasa kegembiraan
  dan kepuasan, karena kami sudah memegang-nasib di tangan sendiri, tidak
  tergantung uluran-tangan pemerintah maupun orang lain.
Sebagian teman mengurus ruangan Resto, di lantai-dasar dan lantai-bawah, lalu
  di kantor, lantai-satu. Mengganti dinding, mengecat, memasang dekor. Bagian
  dapur, membersihkan alat-alat dapur seperti piring-mangkuk, kuali-wajan yang
  beratnya sudah lebih 20 kg, dan ada beberapa buah. Lalu membersihkan
  sendok-garpu-pisau, dan berjenis piring-mangkuk yang banyaknya ratusan. Ini
  bagian dapur bagian perlengkapan. Bagian-masak-memasak, sibuk mempersiapkan
  bahan, dan juga mulai persiapan masak buat jualan.
Hari pertama pembukaan untuk para undangan dan media-masa, cetak dan
  elektronik. TF 1, Antenne 2, dan Francesoir 3, semua bagian televisi di Paris.
  Dalam hal ini temanku Pak Markam memang luarbiasa. Dia disamping
  "akhli-lobbying" sudah tentu lebih menguasai bahasa Perancis daripada
  kami, karena termasuk faktor dia memang sudah lama di Paris. Hubungannya
  sangat luas dan amat pandai bergaul. Sudah tentu pada hari-hari minggu
  pertama pembukaan yang jatuhnya tanggal 14 Desember 1982, keadaan agak
  kacau, agak semrawut. Orang yang datang melebihi kapasitas kursi. Kapasitas
  kursi di resto kami sejumlah 66, tetapi yang datang lebih dari 100 orang.
Aku pada mula-pertama begitu resto dibuka ditempatkan di bagian
  dapur, sebagai "barisan tukangmasak". Sudah kuceritakan, setelah belasan
  tahun aku bekerja di resto kami ini, dan meliputi semua bagian, seperti
  bagian service-pelayanan, bagian bar-man, bagian administrasi-keuangan, dan
  bagian perlengkapan-ruangan, maka pekerjaan yang paling berat memang
  pekerjaan di dapur. Masak-memasak, termasuk persiapannya. Inilah sebabnya
  walaupun resto kami hanya buka 2 jam siang, dan 4 jam malam, tetapi kami
  masuk mulai bekerja pada jam 0900 sampai jam 24.00 dengan diselingi
  istirahat paling lama 2 jam. Hal ini karena kami belum
  pengalaman, samasekali baru, bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Setelah kami dididik oleh Ibu mantan dubes yang sangat trampil masak
  itu, hanya dalam sepuluh hari saja, kami harus bisa berdikari. Dan Ibu itu
  harus kembali ke Holland. Kami sangat berterimakasih kepadanya. Dan sesudah
  itu, mulailah kami harus bekerja tanpa pengawasan orang yang sudah mahir dan
  akhli. Dan mulailah pekerjaan gila-gilaan pada puncaknya.
Suara-suara ramai antara bagian sal yang melayani dan bagian dapur yang
  menciptakan makanan, sering ribut, karena berteriak , mungkin
  kelelahan, tegang dan juga karena dongkol dan marah. Seorang teman
  menanyakan dengan suara agak membentak, "mana yang semur, mana yang
  rendang?! Kok sama saja warnanya!", kata seorang. Teman lainnya menjawab 
  :
  "alah, bilang saja salah satu itu semur! Masaksih tahu orang bule, mereka 
  kan
  asal makan saja!". Seorang menjawab "makanya harus selalu diperhatikan, 
  beda
  pokok yalah, rendang itu pakai serai, semur tidak! Rendang pakai
  santan-kelapa, semur tidak, agak kehitaman karena pakai kecap-manis, rendang
  agak coklat", kata seorang teman yang agaknya sedikit tahu akan masakan.
  "Yah, tetapi bagaimana kita tahu kalau bendanya ada di piring dan di atas
  tangan kita, kalian di dapur sih enak, tahu yang mana semur yang mana
  rendang. Kita ini menghadapi client secara langsung, kalian kan
  tersembunyi
  di dapur", kata teman pelayan. Nada suara hampir agak
  mayor, meninggi, ampernya naik!
Lalu cepat-cepat kusuruh berlalu, tak enak di dengar client berdebat-ramai
  di depan mereka. Karena masalah begini, maka kami ketika itu mengambil
  kebijaksanaan. Pada fich, kertas-menu yang di tempelkan
  di dinding dapur selalu akan ada catatan khusus. Misalnya yang makan itu
  orang Indonesia, akan kami tandai M, artinya melayu, termasuk orang Belanda
  kami tandai dengan M. Artinya kita harus hati-hati, sebab yang makan ini
  benar-benar mengerti masakan kita. Orang Belanda sangat mengenal masakan
  Indonesia, karena itu tidak jarang mereka memberikan kritik kepada kami, dan
  kritiknya kebanyakan benar dan tepat.
Dalam pada itu karena oleh peraturan dan undang-undang kami harus punya
  chef-kok, kepala tukang-masak yang betul-betul berdiploma perhotelan dan
  masak-memasak, maka resto menghubungi teman-teman yang ada hubungan atau
  yang sedang membuka resto, mencarikan tukangmasak benaran. Oleh dampak-baik
  siaran berbagai suratkabar, media-cetak dan elektonik, luarnegeri maupun
  dalamnegeri maka gema resto kami sampai ke tanahair. Dan masukakal kalau
  banyak surat-surat berdatangan kepada resto kami buat melamar pekerjaan.
  Surat-surat berdatangan dari Bali, Jakarta, Balikpapan, Bandung, Surabaya dan
  bagian lainnya di Indonesia. Termasuk dari Eropa, Holland, Jerman, Swedia.
  Surat-surat itu sangat mengharukan kami, dan sangat sulit bagi kami
  bagaimana cara menjawabnya. Kami mendirikan resto ini dengan maksud
  menolong dan membantu teman-teman pengangguran yang ada di Paris saja dulu.
  Selain ini belum sampai terpikirkan begitu jauh. Dan lagi tentu saja banyak
  pengirim surat itu tidak mengerti atau belum mengerti status kami, kedudukan
  kami.
Seandainya saja kami ya kan, atau katakan begitu - begini, yang sangat perlu
  diketahui, kami ini adalah masih termasuk kaum-pelarian-politik. Mana
  mungkin kami merekrut tenaga dari Indonesia! Untuk itu harus ada izin
  pemerintah RI dan juga pemerintah Perancis sebagai
  pendatang-pekerja-imigrant. Dan pekerjaan begini sangat sulit-rumit dan
  banyak sangkut-pautnya denga berbagai persyaratan. Dapat dikatakan, tidak
  mungkin kami kerjakan. Sayang. Dan kami dalam hati sangat menyatakan rasa
  terimakasih atas kepercayaan demikian.
Karena kami tidak punya chef-kok yang betul-betul berpengalaman dan yang
  berdilpoma, maka sementara itu aku ditetapkan sebagai tukang-masak utama.
  Tetapi hal ini hanya untuk sementara kami dibebaskan dari pembayaran-pajak
  selama 6 bulan itu. Bagaimanapun resto harus berusaha keras buat mencari
  chef-kok yang sebenarnya. Dalam pada itu kami mengundang seorang yang
  benar-benar chef-kok, dari Holland. Namanya Parmin, dia ini bekerja di Hotel
  Mariyotte, hotel berbintang. Dan Parmin pernah mendapat kejuaraan nomor dua
  dalam perlombaan-masak Internasional di Holland. Kami mengundang Parmin
  selama satu bulan. Sebenarnya kami menghendakinya lebih lama lagi. Tetapi karena
  Parmin ketika itu sedang berlibur, sedangkan dia dalam status bekerja, maka
  kehendak memperlama Parmin tak mungkin. Lebih dari alasan itu, seorang
  chef-kok seperti Parmin untuk sementara kami belum mampu menggajinya, sebab
  seharusnya sangat mahal. Karena Parmin juga tahu, bahwa resto ini
  baru, sedangkan semua pekerja dan pegawainya samasekali belum ada
  pengalaman, maka Parmin sebenarnya banyak menyumbangkan, mendermakan
  tenaganya, pikiran dan ajarannya.
Kami sangat berterimakasih kepada Parmin yang si kumis centil itu, yang bila
  tersenyum menggoda, para cewek Perancis tak mau lekas-lekas pulang dari
  resto kami. Dan kami "anak-anak buah" Parmin sering dibentak dengan
  kata-kata, "sudah dikerjakan apa yang saya suruh tadi?! Harus selesai dan
  persis seperti apa yang saya ajarkan ya, awas saya kontrol nanti". Kata-kata
  ini sangat membekas pada kami hingga kini walaupun sudah hampir 17
  tahun, yaitu "awas saya kontrol nanti ya!" Ini kami ucapkan sesama 
  teman
  kami dengan rasa gurauan. Dan bagaimanapun "kerasnya ajaran" Parmin 
  kepada
  kami, sangat kami sadari bahwa dia benar-benar mengajarkan ilmu masaknya
  kepada kami. Dan kami sayang serta hormat kepada Parmin, dan kami kira dia
  tahu semua itu.
Sebelum aku dipindahkan kepekerjaan di sal dan di
  administrasi-keuangan, pernah terjadi musibah padaku. Begitu capeknya
  bekerja di dapur, yang setiap hari harus memasak belasan macam jenis
  masakan, di dapur yang panas, tegang dan sangat melelahkan itu, terasa badan
  tak kuat lagi. Keringat dingin dan pucat, lalu terasa kepala pusing
  berbintang-bintang, dan badan terasa ringan dan oleng dan lalu bluk - bluk
  terjatuh. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi dan kurasakan. Tahu-tahu aku
  sudah dibawa dengan ambulance ke hospital. Katanya darahku 210/130. Sebelum
  itu aku memang mengidap darah-tinggi.
Aku jatuh pingsan, lalu di bawa teman-teman ke hospital. Dan aku mendapat
  "tugas libur-sakit" selama dua minggu, arret-travailler. Hampir saja 
  lewat
  tanpa bekas, hilang dari peredaran dunia. Semua itu sebenarnya karena belum
  menguasai pekerjaan, dan belum bisa menguasai cara-kerja. Tetapi ada
  hikmahnya, bahwa dari kejadian itu agar dirikita selalu berhati-hati dan
  harus selalu memperhatikan keadaan kongkrit badan dan kesehatan kita dengan
  lingkungan pekerjaan kita. Hanya selalu saja kita terlupa kalau sudah
  keasikan dengan kerja yang harus diselesaikan.
Paris 25 Maret 1999
 
 
  
  © Sobron Aidit. 
  All rights reserved.
  Hak cipta dilindungi Undang-undang.