Bab 11 :
Ujian Kecil

Hari itu aku dinas pagi atau siang. Seharusnya masuk pada jam 10.00 sampai
dengan sesudah service siang, biasanya sesudah jam 16.00. Tapi aku selalu
mengambil kebijaksanaan lebih baik masuk jauh lebih awal, agar bekerja tidak
diburu-buru. Biar pelan tapi mendekati baik, kalau bisa apik.
Kerja pertama haruslah menyapu ruangan sal, depan dan bawah, sesudah itu
barulah dipel. Walaupun kami hidup di Paris, jangan mengira pekerjaan kami
itu dilakukan serba mekanis, dengan mesin canggih, samasekali tidak. Malah
mungkin sangat kuno. Kami menyapu ya dengan sapu biasa, seperti rumah di
kampung di Jakarta itu. Kami mengepel ya dengan kain pel biasa itu, seperti
di kampung.

Sedang asik menyapu di bawah-bawah meja dan kursi, terlihat sebuah gundukan
membulat agak tebal dan besar. Kudekati. Ternyata sebuah dompet tebal besar.
Dompet uang, tapi tebal amat. Heran juga, kenapa client, pelanggan tidak
sekali ini selalu lupa. Mungkin terjatuh, lalu lupa dan dianggap hilang saja
entah di mana. Dulu lupa paspor, atau tas besar, atau mantel, atau syal, dan
yang paling sering, lupa payung.

Kubuka dompet itu. Penuh uang, setelah kuhitung lebih 2000 francs. Lalu
kartu kredit dari berbagai bank, tidak kurang dari 3 bank. Lalu
kertas-kertas lainnya. Nah, pikiranku mulai "main", kataku dalam hati, akh
sayang, kenapa tidak menemukan benda berharga seperti ini di jalanan
saja, bukannya di resto begini! Kalau di resto begini, harus
dikembalikan, harus diserahkan pada yang punya! Kalau di jalanan biasa, masih
bisa berulah curang, kalaupun mau dikembalikan ya yang lainnya saja, bukan
uangnya.

Lalu kuperiksa lagi dengan teliti. Nama pemilik adalah Tuan Smith, mungkin
orang Belanda. Bagaimanapun dompet yang begitu banyak uang dan kartu kredit
yang sangat berharga itu harus kembali pada yang punya. Tokh ada nomor
tilpunnya. Tapi walaupun samar-samar, rada-rada menyelinap, nyelempit dalam
kegelapan-hati, masih saja ada pikiran, ya, kok dapat beginian tergolek di
dalam resto kepunyaan sendiri pula! Kenapa tidak menemukan beginian di
tengah jalanan sepi, dan di tempat yang terbuka, misalnya di lapangan bekas
yang tadinya ada keramaian, perayaan, pesta besar. Dan, ini yang
penting, rupanya hati dan nuraniku ini belumlah bersih benar! Masih ada dan
masih punya kekotoran jiwa dan hati. Kenapa mesti bertanya pada diri
sendiri, bagaikan menyesalkan kejadian itu, kenapa kok nemu uang di dalam
resto sendiri. Lalu seandainya di jalanan, mau diambil? Mau dipunyai
sendiri, dengan dalih nemu?! Sampai ke
pertanyaan ini, aku belum tahu jawabnya. Yang bisa kujawab, yalah, ternyata aku
ini masih belum bersih, jauh daripada orang suci.

Ketika sedang asik berpikir begitu selama bekerja membersihkan
sal, terdengar deringan tilpun. Belum jam 10.00.
"Hallo, ya, ya, saya tadi malam dengan suami saya, makan di resto Anda dan
duduk di depan bar. Saya kehilangan dompet uang dan seberkas surat-surat
penting yang hanya berguna bagi saya. Apakah Anda
menemukannya?", kata suara seorang wanita di seberang sana.
"Maaf, siapa nama Anda?"
"Saya nyonya Smith, atas nama Smith".
"Ya, benar, saya menemukannya............"
Belum lagai selesai pembicaraan, dia sudah memotong.
"Akh, baguslah, bagaimana kalau saya datang mengambilnya dalam satu jam
lagi?"
"Baik, tidak ada masalah, saya sudah siapkan"; kataku.
Terdengar suaranya yang gembira dan puas. Dia menyatakan terimakasih
berkali-kali dan memuji, Anda sangat baik, sangat baik, resto Anda memang
bukan resto biasa, baik sekali, katanya. Kataku dalam hati, nah, lho, biar
nyahok, kok ada pikiran yang bukan-bukan sih! Kata-kata ini kutujukan pada
diri sendiri.

Di Perancis khususnya Paris, sangat jarang orang mengantongi uang demikian
banyaknya. Orang Paris biasanya selalu menggunakan kartu kredit, atau
cek, tapi sangat jarang yang membawa uang sampai ribuan francs. Transaksi
apapun bila melebihi ratusan francs, selalu menggunakan kk tadi, atau cek.
Kalau makan di resto, biasanya pakai TR, ticket-restaurant atau
sejenisnya, bukan dengan uang likid. Jadi Tuan Smith dengan ketinggalan uang
begitu banyak dalam dompet tebal itu, tentulah akan ada transaksi yang
membutuhkan uang yang banyak jumlahnya. Tetapi mungkin juga karena mereka
orang Belanda. Sebab di Holland, belum sepopuler Perancis dalam menggunakan
KK, cek dan TR. Di Holland penggunaan uang likid masih sangat luas bila
dibandingakn dengan Perancis.

Maka seperti yang dijanjikan Madame Smith, dia datang bersama suaminya buat
mengambil dompetnya yang kelupaan itu. Kukatakan agar diperiksa kembali dan
dikontrol lagi. Dibukanya satu persatu dan dihitungnya. Dia tertawa gembira
dan terus berkali-kali menyatakan rasa terimakasihnya. Dan dengan
menyerahkan 100 francs buatku dengan berkali-kali, terimalah rasa
terimakasih kami buat Anda dan resto Anda. Kulihat wajah suami-istri itu
yang dengan kegembiraannya karena telah menemukan benda berharga yang
mungkin saja dianggapnya benar-benar bisa hilang entah di mana.

Kemudian suami-istri Smith hampir setiap bulan datang makan di resto kami.
Ketika kami berikan daftar makanan, kartu menu, dia dengan senyum puas
mengatakan :
"Akh, sudah biasa. Kalau makan di sini, tidak lain, nasi goreng, sate
ayam, rendang dan telormatasapi", katanya.
Dan memang kami perhatikan, setiap datang, hanya itu itu saja kegemarannya.
Dan keluarga Smith yang orang Belanda ini selalu berbicara Bahasa Belanda
dengan kami, khususnya denganku. Padahal modalku berbahasa Belanda cuma
cepengen saja.

Dan ketika suatu kali keluarga Smith datang lagi seperti biasa dengan
pesanan biasanya, tiba-tiba saja mereka minta pesanan lain.
"Sekali ini kami minta gado-gado Jakarta", katanya.
"Masih ingat Anda, sepuluh tahun yang lalu, ketika kami kehilangan dompet
uang itu?", katanya.
"Sepuluh tahun yang lalu?", kataku hampir tak percaya.
"Ya, benar. Sepuluh tahun, pada bulan begini juga".
"Jadi sekeluarga Anda sudah sepuluh tahun menjadi pelanggan kami kalau
begitu", kataku.
"Persis", katanya lagi. Dan aku berpikir, apa baiknya buat "menyambut"
peringatan sepuluh tahun menjadi pelanggan kami ini.
"Anda suka atau bisa minum arak?".
"Saya tahu arak, itu alkohol dari beras biasanya, di Indonesia pernah saya
minum arak".
"Bagaimana kalau kita minum bersama?".
"Silahkan, silahkan dengan senang hati".
Dan kuambil tiga seloki arak, kubagikan kepada suami istri Smith. Kami minum
secara toast, saling mendentingkan gelas seloki. Dan kami bersalaman erat
sekali.

Ketika keluarga Smith minta diri, kuantarkan jauh sampai pintu ke luar dan
sampai menuju mobilnya. Dan aku kembali ke ruangan sal. Masih sempat aku
berpikir, alangkah setianya keluarga suami-istri itu. Sepuluh tahun menjadi
pelanggan kami, dan ternyata mereka menghitung lamanya jarak waktu, sedangkan
kami tidak. Apa artinya ini? Tetap pekerjaan kami belum sempurna! Dan yang
paling penting lagi, cobalah aku introspeksi, periksa diri, masihkah punya
pikiran seperti dulu itu?! Merasa sayang kalau menemukan barang berharga di
resto sendiri, dan seperti ada penyesalan mengapa tidak menemukan barang
atau uang di jalanan umum. Jangan-jangan, kata hatiku di dalam sana, karena
masih ada kejujuran itulah, makanya keluarga Smith bersedia dan mau bersetia
menjadi pelanggan yang baik. Cobalah kalau kami atau aku punya pikiran yang
jelek dan lalu dilaksanakan, jangan harap dan tidak mungkin keluarga Smith
mau dan bersedia menjadi pelanggan begitu setia. Kukira, dan
jangan-jangan, peristiwa dulu itu hanyalah cobaan dan ujian kecil saja dalam
kehidupan yang begitu luas ini, yang begitu banyak selukbeluknya.

Paris 8 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.