Papa... déjà sortie !

Sekali ini aku belum menceritakan bagaimana riwayatnya maka aku menjadi tukang tusuk-jarum. Lebih singkat dan enak didengar, sebagai akupungturis. Dari ratusan mungkin ribuan kasus, ada dua kasus yang hendak kuceritakan.

Awal tahun 80-an kami tinggal di sebuah kota kecil di Prancis bagian Timur, Lure namanya. Kota ini sangat indah, kota bunga. Bila musim semi tiba bermekaranlah segala rupa bunga aneka puspita, terlebih-lebih bunga mawar. Terkadang..bunga mawar menyelimuti gedung indah, rumah-rumah yang bagaikan bungalow. Hanya jendelanya saja tersembul mengintip, lainnya diselimuti bunga. Kalau kita berjalan di dekat atau sekitar situ, akan tercium bau hunga yang semerbak harum. Umur tua dengan semangat remaja, terkadang bertanya pada diri sendiri. Apakah di tengah jendela itu benar-benar wajah seorang gadis? Atau tipuan saja, karena bunga bunga itu membentuk seperti orang? Bunga hidup atau bunga benar-benar bunga? Atau putuskan saja, bunga hidup yang dihiasi bunga tetumbuhan, begitu cantiknya gadis-gadis Lure!

Kami dipusatkan di gedung yang terbagi dua. Penghuni yang berasal dari Asia dan Afrika, dan yang lainnya berasal dari Indocina, termasuk Indonesia. Pekerjaanku sehari-hari, pagi belajar bahasa Prancis, sesudah makan siang, praktek tusukjarum, pijat, pokoknya kesehatan. Pasienku cukup banyak. Puluhan orang dengan berbagai penyakit. Karena kami itu di tengah orang-orang miskin, dari "orang perahu/boat people" dan kaum pengungsi lainnya, maka rasanya tak manusiawi kalau aku meminta bayaran sesudah mengobati orang. Bukankah semua penghuni asrama itu juga seperti aku, sama-sama penganggur? Sama-lama senasib.

Nah, dari mulut ke mulut pasien yang sembuh atau yang merasa ada kemajuan karena tusuk-jarum dan pijat itu, lalu menyebarlah kabar ini.

"Papa itu orangnya baik, gratis berobat kepadanya."

Yah, semua penghuni asrama itu memanggilku "papa". Baik anak kecil maupun orang dewasa, bahkan nenek-nenek yang sudah tua-renta juga memanggilku "papa". Jadi bila ada orang menanyakan papa dimana, karena ada orang perlu berobat, maka pastilah semua orang tahu, aku dicari pasien.

Sebenarnya dalam hati ini ada suatu harapan. Benar, kalau penghuni asrama di sekitar itu saja,

sama-sama penganggur, sama-sama miskin, oke-lah gratis, tak usah bayar. Tetapi bila hari Sabtu dan Minggu banyak sekali pasien berdatangan dari kota kota lain. Seperti dari Vesoul, Mulhouse, Saint-Louis dekat perbatasan Swiss itu. Mereka kebanyakan orang-orang dari Asia yang sudah menetap, yang sudah mapan, bahkan sudah menjadi warga-negara Perancis. Sudah kaya, sudah mewah hidupnya, tapi juga tidak membayar. Ini gara-gara sebaran dari mulut ke mulut, "Papa itu orangnya baik, gratis berobat kepadanya". Dalam hati ini, ya memang gratis sih gratis, tapi kalau bukan dari golongan kami yang sama-sama pengangguran dan kaum pengungsi ini, yah, kalau bayar sih memang lebih simpatik. Tapi harapan itu hanya dalam hati kecil saja. Kalau ditelusuri, ternyata aku ini, si akupungturis ini tidak sebersih seperti bayangan mereka! Masih juga mengharapkan uang. Maklumlah hidup kaum penganggur, butuh barang tapi tak ada uang.

Ketika kejadian itu, aku sudah berpraktek lebih dari sepuluh tahun. Karena aku mulai praktek tusuk-jarum itu ketika awal tahun 1970.

Malam-malam datang si Savath, kawan sekelas ku. Dia ini anak muda, keluarga muda. Anaknya, seorang putri baru berumur satu tahun. Istrinya buta-huruf, tapi juga sekelas dengan kami, walaupun sangat jarang masuk. Savath berasal dari Laos, tapi lama di Muangthai. Dulu kerjanya sopir truk. Banyak mengelana di Indocina, dan maklumlah sopir truk antara negara. Banyak persinggahan, banyak pelabuhan, bagaikan kelasi. Di mana kapal berlabuh, di sanalah membenamkan diri dengan segala kenikmatan lahir batin. Sama juga, di mana truk berhenti di situlah Savath jadi kelasi yang haus daratan. Maka kedatangannya dapat kupahami.

Dia datang berdua dengan temannya, juga teman sekelas kami. Kami sama-sama baru mulai belajar bahasa Perancis. Jadi kami lebih mengerti bahasa yang sama-sama kami ucapkan, daripada orang Prancis sendiri. Orang Prancis mungkin ketika itu tak 'kan mengerti kalau mendengar kami berbahasa Prancis. Tapi antara kami lancar saja berbahasa Prancis, walaupun orang Prancis saja mungkin tak mengerti.

"Papa, tolonglah saya. Obatilah saya.Betul-betul saya harapkan papa mau mengobati saya."

Ketika kukatakan padanya, bagaimana kalau aku memanggil Yophine, gadis Laos yang bisa berbahasa Inggris itu. Agar Yophine menterjemahkan agak detail agar aku tahu benar riwayat penyakitnya. Tawaranku ini segera saja ditolaknya mentah-mentah dan keras sekali. Akhirnya barulah kutahu, tentu saja dia menolak keras, setelah dia membukakan penyakit yang sebenarnya.

Ketika aku meminta dia memperlihatkan penyakitnya itu, maka dia segera membuka celananya, dan celana dalamnya. Kepala kemaluannya itu dikelilingi bintik-bintik merah. Dan ada sedikit tanda kebasahan. Ini menandakan tahap loncatan, dari tahap satu ke tahap dua, atau selanjutnya. Ini sangat berbahaya bagi dirinya dan juga bagi orang lain, bagi keluarganya.

Lalu aku teringat anaknya yang baru berumur satu tahun itu. Kutanyakan kapan dia mendapat penyakit itu. Katanya sesudah dia punya anak itu. Kalau begitu penyakit ini baru saja, belum setahun ini.

"Savath, kau tahu, tusuk-jarum hanya untuk mengobati yang bersifat syaraf. Penyakit kurang-tidur, lumpuh, sakit kepala, takut-takut, tidak-tenang dan lain-lain. Tidak bisa untuk mengobati yang asalnya karena bakteri. Kau tahu penyakitmu itu penyakit apa?"

"Saya tahu papa. Tapi saya tak berani ke rumah-sakit."

"Saya akan membantumu, Savath,saya pasti menemanimu. Sampai ke rumah-sakit pun kau akan saya temani, percayalah."

Dia menolak untuk ke rumah-sakit. Tetapi ketika itu aku merasa punya keberanian yang berlipat ganda. Demi untuk keselamatan dirinya dan keluarganya, dan juga demi untuk keselamatan orang lain, aku harus segera melaporkan keadaan ini kepada Kepala Barisan Asrama kami. Ini "Vietnamrose'' bukan main-main, sipilis yang sangat berbahaya.

Dua hari sesudah itu Savath diopname di kota kecil kami, Lure. Mula-mula dia marah sekali padaku, dan juga ada beberapa kenalannya yang marah padaku, mengapa membuka rahasia mereka. Padahal tadinya pejabat dan petugas kesehatan pun mereka kibuli demi bisa masuk Prancis. Kini tiba-tiba ketahuan oleh si "Papa", tukang tusuk-jarum itu. Tetapi di balik suara kontra selalu ada suara pro. Lebih banyak yang bersukur, borok sudah tampak. Pembersihan semula akan dimulai, ini tanda baik. Petugas kesehatan pertama kebobolan, kini semua borok akan dibongkar gara-gara si papa.

Tapi dua tahun sesudah itu, aku bertemu kembali dengan Savath. Dia memelukku erat-erat. Dengan gembira dia mengatakan istrinya hamil lagi. Aku terhenyak, tapi dia tahu rupanya.

"Papa jangan kuatir. Dokter bilang, saya betul-betul sudah sembuh. Saya masih bisa punya keturunan lagi."

Sukurlah ketika itu segera dapat kuketahui apa penyakitnya. Kalau tidak, entah apa kejadiannya untuk keluarganya dan untuk orang lain.

Pada waktu bersamaan minggu-minggu ketika Savath datang itu, ada lagi pasien baru. Dia ini seorang wanita muda, juga sudah berkeluarga. Anaknya dua. Satu laki-laki umur 4 tahun, dan adiknya wanita umur 2 tahun, namanya Rani. Kenapa Rani amat kami kenal? Karena Rani ini cantik sekali, dan selalu tertawa. Matanya hitam, bulu matanya tebal. Badannya gempal, lucu sekali. Setiap kami melihatnya selalu saja memancing kami untuk menangkap dan memeluknya, menggendongnya. Dia suka datang ke kamar anak-anakku. Anak-anakku suka sekali pada Rani. Karena anak-anakku ini memanggilku Papa, maka semua orang memanggil papa, termasuk nenek Tuk yang sudah berumur 68 tahun itu, dan kakek Lin yang lumpuh yang sudah berumur 70 tahun.

Ibu Rani datang ditemani anakku. Rupanya dia melalui anakku dulu, barulah datang kepadaku. Aku maklum. Seorang wanita tentulah akan dapat mencurahkan perasaannya kepada wanita lain daripada kepada seorang pria yang belum dikenalnya. Lebih mudah bagiku, karena anakku sendiri membantu menceritakan penyakitnya. Mengapa dia datang ke anakku? Ketika aku berpraktek dan ketika pasien ramai maka anakku membantu mengukur darah, tensi, menghitung denyut jantung dan mencatat sesuatu. Kami punya buku tentang si sakit, penyakit apa, kapan mulai ditusuk, kapan harus berhenti,dan lengkap dengan data penyakitnya. Karena ibu Rani tahu pekerjaan kami, dan pekerjaan anakku, maka dia menceritakan semua penyakit itu kepada Wani, anakku itu.

"Jadi sudah berapa lama tidak mens?"

"Dengan bulan ini sudah bulan ke empat."

"Apa dokter sudah memberi obat?"

"Sudah papa, tapi sampai sekarang tetap saja belum mens, padahal sudah diperiksa betul-betul dan bukannya karena hamil. Agak sakit sebelah kiri."

"Baiklah, tapi hari ini belum saya obati. Dua tiga hari inilah."

Rumah ibu Rani di tingkat empat, kami di tingkat dua. Jadi satu gedung saja, gampang kalau perlu seketika. Hari pertama ibu Rani datang ini, menjadikan aku lama berpikir. Sungguh banyak penyakit yang aku tak tahu, tak paham, tetapi semua orang itu mengharapkan aku mengobatinya. Ini kepercayaan. Kepercayaan itu sungguh mulia dan mahal. Kalau orang sudah percaya kepada kita, maka kita harus dengan sungguh-sungguh membantunya. Tetapi setelah belasan tahun aku berpraktek tusuk-jarum, belum ada kasus seperti ini. Benar, dulu pasien yang aku obati, pada pokoknya lebih 80% sembuh. Tetapi penyakitnya juga tidak banyak yang aneh-aneh. Penyakit yang umum, sulit tidur, migrain, sakit-kepala, beser sering kencing malam, batuk menahun, ayanan (epilepsia), impoten, lumpuh dan lain-lain. Tapi ini berhubungan dengan penyakit wanita. Lalu aku teringat almarhum istriku. Dia dulu ginekolog. Kalau dia masih hidup tentulah dia bisa banyak membantu. Penyakit yang kuhadapi ini adalah urusannya sehari-hari ketika dia masih hidup. Kini aku harus mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada ibu Rani ini. Sungguh-sungguh dia percaya padaku bisa mengobatinya. Belum pernah menemui kasus ini sebelumnya. Tapi itulah tantangan.

Sebenarnya yang kukatakan kepada ibu Rani, tunggu dua-tiga hari ini, hanyalah mencari dan mencuri waktu. Aku harus melihat buku-buku tentang penyakit itu. Mengobatinya secara tusuk-jarum, pijat. Dan mencari bahan dari buku-buku peninggalan istriku. Semua bahan itu memang aku bawa kemana-mana. Tapi harus kubongkar dulu dari koper. Harus kupelajari dulu.

Dua hari itu aku memang banyak menghabiskan waktu untuk mencari bahan-bahan itu. Mencari titik-temu anatomis. Peranakan, kandung telur, vagina yang bergeser akibat banyak gerak tiba-tiba , loncatan dan jatuh yang shock secara mendadak. Semua yang mungkin akibat itu.

Hari yang kujanjikan tiba. Aku minta ditemani anakku dan suaminya. Pengalaman belasan tahun.tusuk-jarum ini, aku sudah biasa menusuk pasien wanita. Tetapi titik-tusuk itu selalu di tangan, kaki, dan paling-paling hingga paha, seperti istri seorang kepala polisi di Saint-Loup itu dulu. Tetapi ini titik-tusuk itu menyangkut yang paling terlarang dan vital. Aku belum punya pengalaman ketika itu.

Dalam hati aku benar-benar berdoa kepada Tuhan. Tolonglah aku, dan lebih-lebih tolonglah ibu Rani itu. Hatiku bersih membantunya. Akan kupejam mataku, akan kututup telingaku, akan kupasung perasaanku dari kobaran vulgaire. Ini tugas kemanusiaan. Seandainya pun perasaan itu kembali lagi, karma aku ini manusia biasa, yang sama sekali tidak suci, maka penjara mata, penjara hati, penjara telinga, hanyalah saat-saat mengabdi kemanusiaan itu. Kukira aku bisa, mengapa tidak.

Ketika aku sama-sekali tidak menyandang tugas tusuk-jarum, dapatkah kau nemenjarakan telinga, mata dan hatimu? Yang padahal ibu Rani itu wanita muda, wanita Thailand lagi! Anaknya Rani begitu cantik, dari mana asalnya? Dari ibunya! Suaminya ganteng.

Sekali dua kali, tiga kali aku minta ditemani suaminya terus. Tapi suaminya ini lama-lama bosan juga, lalu bilang padaku:

"Sudahlah papa. Papa sendirilah. Tokh papa itu dokter."

Titik itu namanya Guan Yuan, ini titik fokus untuk penyakit itu. Titik ini kukenal baik. Tapi pasienku pria semua ketika itu. Titik ini untuk mengobati tidak teratur haidh, impoten, beser sering kencing, atau justru karena tidak bisa kencing. Lalu Guan Yuan ini kupadukan dengan titik lainnya yang merangsang agar darah kotor keluar. Ketika ada suaminya, kukatakan pada ibu Rani, dapatkah selama pengobatan itu tak usah dulu berhubungan badan. Ibu Rani tertawa menghadap suaminya.

"Ya, tentu saja dapat, papa", sambil memandang suaminya.

Masa pertama, atau tahap pertama pengobatan tusuk-jarum, antara lima sampai tujuh hari. Sudah itu berhenti, istirahat dua atau lima hari. Lalu mulai lagi. Tahap pertama selesai. Kutanyakan pada ibu Rani, apakah ada perubahan. Katanya ada perubahan, dulu sakit sebelah kiri, kini tidak lagi. Dulu kencing tidak lancar, kini agak lancar.

Aku menanyakan, apakah dia masih bersedia ditusuk dan tambahan pijat. Dia mengatakan sangat gembira, hanya mau berobat kepada papa saja, sudah malas ke dokter.

Kau yang membaca cerita ini tentu ketawa, atau mungkin mentertawakan daku. Tapi kukatakan dengan jujur, aku benar-benar mengharapkan agar Tuhan membantu dan membantu ibu Rani. Aku dibebani kepercayaan yang begitu berat. Beban dan tugas itu harus kupikul. Tanggungjawab kemanusiaan.

Tahap kedua. Suami ibu Rani tak lagi bersedia menemani dan anakku pun kulepas sendiri untuk mengerjakan pekerjaan lain bagi pasien kami yang setiap Sabtu dan Minggu puluhan orang menanti giliran berobat.

Titik-temu Guan Yuan masih tetap kugunakan, dengan perpaduan titik lainnya. Titik-pijat ini tiga jari dari tulang-kemaluan sebelah atas. Kemudian titik-pijat perut peranakan dan kandung-telur kiri dan kanan. Tahap kedua ini menjadikan ibu Rani kelihatan sehat. Mukanya selalu merah dan airmukanya selalu berseri-seri. Banyak senyum seperti anaknya Rani kecil yang lucu itu. Sebenarnya yang paling gembira adalah aku, si papa tua ini. Dan kegembiraan itu melonjak tinggi ketika tahap kedua habis.

Dari tingkat empat kedengaran sandal ibu Rani turun ke bawah, ke tingkat dua kami, bergegas dan memanggilku keras sekali:

"Papa! ...Papa!....Papa!... déjà sortie...!"

Aku mendengar jelas suara itu. Hatiku dag-dig-dug keras sekali. Perkataan sortie hanya diketahui oleh kami saja. Sortie artinya keluar, déjà artinya sudah. Jadi "sudah keluarlah" yang ditunggu-tunggu itu.

Bukan main gembiranya ibu Rani. Aku tak tahu, siapa yang paling gembira, ibu Rani atau aku. Tapi dalam kegembiraanku ada rem yang menahan, agar jangan sombong, agar rendah hati. Siapa tahu bukan karena tusuk-jarumku, bukan karena pijatku. Siapa tahu memang sudah waktunya untuk keluar. Dan kalaupun karena tusuk-jarumku, pijatku, itu berkat doaku yang tulus, berkat permintaanku bagi orang lain. Kata orang, doa untuk orang lain selalu lebih baik daripada untuk diri sendiri. Tetapi baiklah, jeritan kegembiraan ibu Rani sangat berkesan di hati ini. Betapa akan bahagianya aku apa bila dapat lagi menggembirakan dan menyenangkan orang lain, semogalah hendaknya.

Paris, 15 Januari 1990

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.