Kepala Gedung

Menjadi kepala gedung? Pertama,aku tak mau; kedua, aku tak sanggup. Tapi mereka tetap saja menunjukku, dengan sangat, minta agar aku bersedia menerima pengangkatan itu. Mula-mula guru bahasaku mengatakan mungkin direktur asrama akan bertemu denganku. Benar saja. Suatu sore aku dipanggil Madame Barret, direktris asrama kami, lalu oleh Monsieur Sylvain, dan kemudian guru bahasa Prancisku, Madame Marie-Paule.

Ketiganya menang menangani asrama di kawasan itu yang terdiri dari beberapa bangunan. Yaitu gedung migran, mereka yang berasal dari berbagai penjuru semisal Afrika, Asia, Arab dan sebagainya. Semuanya telah pergi dari negerinya masing-masing karena kesulitan ekonomi negeri, masalah politik, dan keamanan hidup sehari-hari yang tak terjamin.

Gedung migran terbagi dua, yang pertama untuk para penghuni asal Asia-Afrika, bangunan lainnya untuk penghuni asal Asia Tenggara, lebih khusus mereka asal Indo-China. Aku, dan dua anakku, termasuk dalam kategori Indo-China tadi, walaupun kami orang Indonesia. Lalu ada lagi gedung lain yang para penghuninya pekerja muda belia asal Perancis sendiri, dengan begitu bangunannya disebut "Foyer des jeunes travailleurs", asrama para pekerja muda. Kompleks bangunan asrama itu cukup luas, ada lapangan bola, tempat bermain voli, dan sebuah lapangan hijau tak terpakai. Sesekali kawanan domba dan sapi diangon dengan rumput hijau yang segar. Kemudian ada pula sebuah kantin yang lebar. Kalau siang menjelang makan, lapangan hijau tadi dipenuhi mobil, sebab banyak pekerja datang ke kantin milik Madame Barret itu untuk makan siang. Ini kuketahui sewaktu kami mengadakan pesta memperkenalkan masakan daerah kami masing-masing, tahun 1983 itu. Saat aku memasak rendang, kusadari betapa luasnya dapur kantin tersebut; bayangkan saja untuk memasak segoni kerupuk cuma diperlukan waktu 10 menit, padahal di kemudian hari ketika aku bekerja di restoran di Paris, aku memerlukan waktu sedikitnya 30 menit untuk memasak sejumlah yang sama.

"Tidak. Saya tak setuju, saya tak mampu…", tampikku pada usul Madame Barret yang menunjukku sebagai kepala gedung.

"Kami sudah perkirakan Tuan tak setuju.Tapi dari pihak kami tak ada nama lain dan calon lain. Keputusan ini pun tidak kami ambil secara tergesa-gesa, namun dengan banyak pertimbangan."

"Tapi mengapa tidak ditunjuk secara demokratis, maksud saya dipilih secara adil, semua orang semua penghuni turut memilih."

"Pikiran Tuan baik, demokratis itu baik.Tapi ini bukan pemilihan umum buat anggota DPR, atau anggota badan politik. Bukan pengangkatan suatu karier, tapi semata-mata lebih banyak kewajibannya. Dan lagi kami tidak dengan sangat memaksa, walaupun adalah benar bahwa kami sangat mengharapkan. Kami mempercayakan," kata Madame Barret lagi.

Ialu Monsieur Sylvain yang kalem dan lebih banyak senyum itu, ikut bicara. Juga guru bahasa Prancisku. Semuanya bersifat membujuk. Bertubi-tubi. Pada akhirnya aku menganggukan kepala juga. Harus kusadari benar, begitu menganggukkan kepala, artinya beban berat harus dipikul di punggung. Sekali menerima tugas, harus erat-erat ditangani secara serius, bertanggung-jawab. Hanya tetap saja ada pertanyaan dalam kepalaku, mengapa mereka menunjukku, apa dasarnya. Lama aku memikirkan hal itu. Boleh jadi, tetapi ini benar-benar hanya dugaan saja.

Suatu kali timbul perselisihan antara penghuni kami, di gedung Indo-China, dengan penghuni gedung sebelahnya, Asia-Afrika. Soalnya cuma sepele. Waktu itu perebutan piala dunia sepak-bola 1982 di Spanyol. Ketika salah satu kesebelasan memasukkan gol ke gawang lawannya, para penonton televisi di gedung Asia-Afrika itu serempak bergendang dan memukuli apa saja, kesenangan. Mulai dari meja kursi, dinding, bahkan perkakas dapur, habis dipukuli mereka nyaris setengah histeris gembira. Suasana gaduh itu menimbulkan kegusaran besar para penonton lain yang ada di gedung kami, Indo-China. Kami yang umunmya tertib, cuma bertepuk tangan saja, lantas merasa tersinggung dengan lagak-lagu penghuni sebelah. Penghuni Indo-China semisal Muangthai, Kamboja, dan Vietnam itu lalu mengomel, boleh jadi pula memaki penghuni sebelah itu, aku tak jelas karena diucapkan dalam bahasa mereka. Tak puas bertengkar mulut, mendadak penonton bubar dan kembali ke kamar masing-masing.

Dan apa yang mereka ambil? Golok, pentung, pisau bahkan kapak. Masing-masing dengan senjata tajamnya menuju gedung Asia-Afrika berniat memberi balasan atas keributan luar biasa yang ditimbulkan penghuninya. Hatiku kala itu, sungguh dag-dig-dug. Bila saja terjadi pertumpahan darah, betapa jadinya asrama yang begini tenteram mulanya. Darah tercurah karena soal sepele, soal bola. Kulihat yang paling depan, Sung, seorang Laos peranakan Muangthai. Ia tinggi, gagah, tampan dan pemberani tampaknya. Kira-kira dialah yang memimpin. Sung kukenal karena pernah istrinya berobat tusuk jarum padaku, sebab sempat tidak haid dua bulan lebih. Aku segera menyusul Sung dan rombongannya yang terdiri dari para pemuda sigap bersenjatakan alat-alat tajam dan pentungan. Setibaku di gedung Asia-Afrika, para pemuda di sana pun telah siaga, diantaranya Goffur yang kukenal pula siap meladeni. Kerusuhan akan segera berlangsung, dan bila ini terjadi betapa buruk nama kedua rombongan yang marah itu.

Beberapa meter lagi bentrokan akan terjadi. Aku segera saja menghampiri Sung dan menangkap lenganya, menghalangi. Ia mengibaskan diri, dan aku terlempar ke sisi. Namun aku berusaha terus menghalangi Sung dan kawan-kawannya. Aku menganggap rombongan Sung adalah yang menyerang, sebab datang "ke wilayah gedung Asia-Afrika". Mereka yang mendatangi, sedangkan penghuni Asia-Afrika adalah pihak yang bertahan dan berlawan. Perang ini harus dicegah.

"Tuan Sung, lihat saya. Lihatlah saya. Ingat anak-anak Tuan, istri Tuan. Lihatlah saya, Tuan Sung. Saya papamu, saya papa!"

Sekelibatan Sung menatapku, entah dia sadar. Sung dan keluarganya, serta pun semua orang di gedung kami, memanggilku papa. Soalnya kedua anakku memanggilku: papa. Tak ada kekuatanku yang lain, aku tak mahir berkelahi apalagi membunuh.Aku tahu benar, tidak sedikit dari mereka itu yang telah pernah menghabisi nyawa orang lain. Pada pokoknya mereka sangat anti-komunis dan banyak membunuh orang komunis. Namun aku tak peduli, kini makin jelas padaku Sung berdiri dengan dada turun-naik menahan marah. Tapi ia benar-benar memandangiku, dan aku balas menatapnya dengan airmuka yang sungguh mengharapkannya mengurungkan niat berkelahi. Batinku berseru: tak boleh berkelahi, tak boleh memukul orang. Beberapa kali kukatakan, lihatlah aku, papamu, Sung! Mari kenbali ke tempat kita segera...

Rombongan Sung kini berhenti. Di hadapannya rombongan Asia-Afrika menanti, siap dengan pedang parang dan pentungan besi. Orang makin ramai berdatangan, menonton. Juga muncul kepala asrama Monsieur Sylvain dan guru bahasa Prancisku, Madame Marie-Paule.

Akhirnya bentrokan dapat dicegah, suhu kemarahan dan semangat perang turun. Rombongan Sung kembali, sementara pimpinan asrama sibuk dengan berbagai upaya pencegahan. Dan beberapa minggu setelah peristiwa itu, aku diminta menjabat sebagai kepala gedung. Apakah ada hubungannya? Boleh jadi aku dituakan di antara mereka, dianggap tua, papa.

Dan setiap pagi aku berolah-raga Taichi-quan, itupun mereka tahu.Tapi ini semua tak ada sangkut-pautnya dengan kejawaraan, kependekaran.Walau pada suatu waktu pernah datang padaku beberapa pemuda Indo-China memohon belajar silat, bela diri. Kukatakan aku tak mengerti bela-diri, tidak paham teknis berkelahi. Semakin kukatakan begitu, mereka makin getol membujukku agar bersedia menurunkan ilmuku kepada mereka. Ini sungguh lucu. Memang dulu pernah kubaca tentang seorang guru silat yang tersohor; karena sukarnya ia memperoleh ilmu itu, ia menjadi sangat rendah hati, dan sangat tak gampang mengajari orang lain. Barangkali dengan dasar inilah, para pemuda tersebut datang padaku. Padahal Taichi-quan sama sekali hanya untuk kesehatan, untuk peredaran darah. Ada ratusan jurus banyaknya, mungkin ribuan, namun Taichi-quan yang kukuasai hanyalah 22 - 44 dan 88 gerakan saja,itu ke itu saja. Dan mungkin pula, para pengurus asrama kami terpengaruh akan hal-hal begini, ditambah dengan upayaku mencegah bentrokan tersebut.

Begitulah semuanya, aku menjadi kepala gedung. Pekerjaan yang justru kubenci dan kutakuti.

Madame Barret dan Monsieur Sylvain memperkenalkan aku kepada semua penghuni setiap gedung di asrama itu. Madame Barret juga mengajariku bagaimana memecahkan kotak kaca berisi tanda alarm, kalau kebakaran terjadi. Dia akan membangunkan seluruh penghuni.

Bila terjadi perkelahian, aku wajib melapor segera kepada Monsieur Sylvain yang tinggal di seberang gedung kami. Atau menelepon polisi. Hal sama harus kulakukan, bila terjadi perampokan. Namun bangunan lain di seberang, tempat tinggal para pekerja muda Prancis tersebut, bukan menjadi tanggung-jawabku. Mereka punya administrasi dan bagian keamanan sendiri.

Dari hari ke hari, jantungku berdebar saja. Berharap selalu, agar janganlah ada perkelahian. Atau bentuk kekerasan apapun. Heeh.... kepala gedung! Cuma punya kewajiban semata, lainnya zero besar. Tak ada tambahan material, tapi punya segudang kerja dan tanggung-jawab moril. Belum lagi beberapa penuda dari berbagai kota lainnya di Perancis ini, yang bukannya aku tak tahu, menaksir kedua putriku. Bila ada yang bertamu lebih dari pukul 24.00, segera kuminta ia kembali ke kamarnya. Walau ia cuma duduk mengobrol di rungan umum bersama putriku. Kutahu pula, tak seorang dua yang kesal padaku. Namun aku tak peduli, apa yang tak pantas, tak baik, harus kucegah sebelum terlanjur. Orang pun dapat berkelahi karena soal cewek...

Akibat jabatan baru ini, tak ada lagi ketentraman di hatiku. Senantiasa dihantui kecemasan. Takut kalau-kalau ada orang berkelahi, kuatir bila ada pertengkaran antar kelompok. Bila ada orang berbicara dengan suara sedikit keras saja, atau melengking, aku sudah bergegas melihat apa yang terjadi. Aku siap apa yang harus kulakukan sebaiknya, termasuk bila ada orang-tua ikut campur karena anak-anak mereka bertengkar. Karena itu mendengar anak kecil menjerit saja, aku sudah berdebar, ada apa lagi. Hidupku sesehari kini menjadi tak nyaman, selalu was-was. Ibarat syaraf awak dibuatnya. Terkadang aku mengumpat dalam hati: Sialan Madame Barret dan Monsieur Sylvain itu! Ini juga karena pengaruh guru bahasa Prancisku, Madame Marie-Paule.

Suatu senja musim panas. Hari masih terang kendati jam telah berdentang 9 kali. Aku duduk di kamarku, melamun bagaimana masa depanku nanti. Hendak ke mana dan akan bekerja apa? Daftar isian mencari kerja sudah lengkap kuisi, juga pertanyaan hendak bekerja di manakah, bila tak ada lowongan di Prancis. Ada pula lampiran riwayat hidup yang mesti kusertakan. Riwayat hidup pulak...! Untuk apa gerangan? Sekarang dan pada detik inipun aku sedang menjalani riwayat hidup. Sebagai kepala gedung! Yang acap senewen, gelisah, resah. Aku tengah asyik, manakala mendadak terdengar jertan keras dan hebat. Sangat menyakitkan, terasa. Suara wanita. Bergegas aku melompat, menerobos pintu kamarku, di lantai dua. Orang-orang mulai menongolkan kepalanya mencari arah suara jeritan itu, tapi tak satupun beringsut keluar kamarnya. Jeritan itu makin memilukan, ditingkahi pula dengan tangis an anak-anak. Nah, itulah dia. Kamar Tuan Lin, asal Laos, teman sekelasku. Kuketuk pintu, namun tak dibuka. Kugedor keras, juga tak bersambut. Dikunci dari dalam.

Kukerahkan semua tenagaku. Kuundurkan badan, lalu dengan sekuatnya aku menerpa dan menubruk daun pintu. Papan daun pintu terdengar patah. Lalu terbuka. Dan apa yang kulihat? Tuan Lin tengah mencekik istrinya persis di bawah urat nadi besarnya. Seperti kilat aku cepat menangkap tangan Tuan Lin, lalu mengibaskannya sekuat-kuatnya. Mungkin lebih dahsyat dibanding ketika Tuan Sung mengibaskanku dulu. Sebab kulihat Tuan Lin terlempar ke dekat lemari pakaiannya. Kuhela istrinya ke tempat tidur, sementara kedua anaknya Tia berumur sembilan, dan Keong yang masih enam tahun itu, terus saja menangis melihati ibunya.

"Apa yang Anda lakukan ini, Tuan Lin?" sergahku marah. Dia diam saja.

"Ingat, Anda kan sudah hidup di negeri lain bukan seperti dulu lagi. Ingatlah anak-anak Tuan. Dia kan juga istri Tuan...", kataku sambil menunjuk ke tempat tidur mereka. "Sekali-kali tak boleh menyakiti orang, istri sendiri lagi! Tinggalkan cara hidup lama itu! Lihat saya! Ini papamu, Tuan Lin!"

Lelaki itu memandang padaku. Kesempatan itu kugunakan sambil menatap tajam di tentang kedua matanya, di atas alur hidungnya. Kubagi fokus kedua mata itu, agar is melihat satu fokus mataku. Agar ia paham, aku marah besar atas polahnya. Tak ada rasa takutku sekarang. Yang ada cuma rasa tanggung-jawab. Cekikan Tuan Lin bukan biasa, itu bisa membunuh. Betapa pilunya kedua bocah anaknya harus menyaksikan penganiayaan sang bapak terhadap ibu mereka. Tersiksanya jiwa anak-anak itu.

Kuingat ketika Tuan Lin berkisah padaku tentang ketakutannya waktu dikejar keluarga orang-orang komunis yang telah dibunuhnya.

"Kalau mereka mencari hingga Prancis, apa harus kubuat?" begitu keluh Tuan Lin dalam bahasa Prancis kami yang masih seperti tusukan sate.

Malam itu juga,Tuan Lin kubawa ke ruman Monsieur Sylvain dan ia menginap sementara di sana. Namun menjelang pukul 5.00 pagi, Tia anaknya yang sulung mengetuk pintu kamarku; ia menangis mengatakan ibunya sakit keras. Aku cepat datang.

Ya, Allah, Istri Tuan Lin muntah darah. Ia pucat pasi. Sigap kuhubungi ambulans, dan Nyonya Lin dirawat di rumah sakit. Sekarang aku kembali ketakutan. Sekiranya Nyonya Lin... seandainya... mati, lantas bagaimana? Betapa tragisnya. Dua anak mereka? Oh nasibku, ketika menjabat kepala gedung, ada istri mati dicekik suaminya. Buruknya riwayat hidupku! Ah, persetanlah dengan semua perasaan tersebut. Aku ingin dan berdoa sesungguh hati agar wanita malang itu segera sembuh, dan dapat berkumpul sejahtera bersama suami dan anak-anaknya. Tiap siang dan petang aku datang menjenguk nyonya Lin, kedua anaknya kubawa serta. Juga beberapa kawan mereka sekampung yang ada di gedung Indo-China, ikut menilik nyonya Lin. Tapi Tuan Lin sendiri masih belum tampak juga. Ia sudah menjadi urusan direktris dan Badan Sosial, termasuk bagian keagamaan. Pihak kepolisian pun sudah diberi tahu.

Lure, tempat kami tinggal ini, adalah kota kecil. Kendaraan umum tak ada, sehingga hampir semua penduduk kota tersebut meniliki kendaraan pribadi. Bagi kami para pelarian politik atau pelarian ekonomi tersebut, tak ada pilihan lain kecuali jalan kaki ke mana pun dalam kota itu, termasuk ke numah sakit tentunya. Namun aku rasa senang, karena ada olahraga sembari menikmati pemandangan hijau dan bunga-bunga mekar indah.

Nyonya Lin mulai pulih, dan aku tidak sekuatir seperti dulu lagi. Wanita itu sudah bisa duduk, dan sedikit berjalan-jalan di dalam sal. Setelah sepuluh hari, ia diperkenankan pulang, dan meneruskan rawatannya dengan berobat jalan. Sebab disamping kerusakan syaraf dan nadi-besarnya, Nyonya Lin masih merasa mentalnya tertekan akibat peristiwa tersebut.

Saat Nyonya Lin pulang, para keluarga di ge dung Indo-China menyambutnya hangat, ada dari Muangthai, Laos, Vietnam dan Indonesia. Tuan Lin juga ada, namun ia menjauh saja dari istrinya. Sesekali ia kuhampiri, kuajak bicara agar is tak merasa kami musuhi, yang tak suka tatacara hidupnya yang lama.

Malam lalu menjelang, aku kembali merenung di kamarku. Berapa lama lagikah hidupku secara begini? Ingin benar aku bebas dari semua beban tak keruan tadi, rasa was-was, tegang dan siaga terus-menerus.

Aku tak mau tersiksa begini.. Tetapi wahai nasib, esok harinya sebuah telegram sampai untukku. Dari Paris, dari kawanku Markam. Ia memintaku segera ke Paris, karena sebuah tugas penting telah menantiku. Sebuah restoran Indonesia yang kami rancang sejak lama, akan segera jadi kenyataan. Duh, suka-citanya aku!

Dengan telegram berbahasa Prancis itu, aku menghadap direktris Madame Barret, hendak memohon diri. Ia nyata berat melepaskanku, tapi iapun tak dapat memberi kerja padaku. Sebelum kutinggalkan kota Lure, kusempatkan pamit pada keluarga Lin. Lelaki itu sudah berkumpul kembali dengan istri dan kedua anaknya, dan ini melegakan hatiku benar.

Syukurlah, semoga sejahtera mereka, dan Tuan Lin bertobat, begitu nasihat agama. Beserta kedua putriku, aku menuju ke Paris.

Paris Juni 1982

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.