Cabin Boy

Tak banyak yang harus kukemasi untuk persiapan keberangkatan esok. Sebuah koper kecil, isinya pakaian, kamus, buku-buku sekedarnya, dan alat tulis-menulis. Jalan menuju ke sana, ke haven drie, pelabuhan tiga Tanjung Priok, sudah kutahu. Setelah itu naik kapal bernama TAHU LANDANG, menjelajah banyak negeri dan Amerika Serikat. Betapa hebatnya, begitulah pikirku ketika itu. Dan setiba di Amerika Serikat, aku akan berusaha meneruskan pelajaran. Bukan nain, sekolahku lepasan Amerika; dan kalau kembali ke Indonesia tentulah aku mudah menjadi orang yang berpangkat, punya jabatan, terpandang pula di masyarakat. Semoga abangku yang berdiam di Bogor jangan tahu rencana keberangkatan ini. Tapi seandainyapun dia tahu, aku bertekad tetap akan berangkat. Kesempatan yang mahal ini jangan sampai lepas. Sudah pula tertera di kertas-kertas surat keterangan yang besok mesti aku bawa dan kutunjukkan, pangkatku sementara: cabin boy. Indah nian kata itu terdengar di telingaku, apalagi bahasa Inggris pula!

Hari menjelang magrib, sudah mulai gelap. Terasa lama sekali waktu berlalu. Menunggu malam berjalan hingga pagi, rasanya terlalu panjang. Hati telah tak sabar, esok aku akan naik kereta-api dari stasiun Gondangdia. Hanya jalan kaki tiga menit dari pondokanku. Kereta itu menuju stasiun akhir Tanjung Priok, dan dari sana, kalaupun tak ada kenderaan lain; aku akan jalan kaki saja, arah pelabuhan tiga tersebut. Lalu akan kucari kapal TAHU LANDANG itu. Dan aku pun sudah bersama awak kapal lainnya bekerja di kapal. Asyik aku merencanakan, dan mereka-reka perjalanan itu, manakala teman sekamarku, Gandi, memintaku agar menemui seseorang di depan pondokan kami. Katanya orang itu dari Belitung kampung halamanku. Lelaki itu datang bersama perahunya yang berlabuh di Pasar Ikan. Akh... menjelang malam begini, malas betul menemuinya! Tapi Gandi mendesakku agar mendatangi saja, mana tahu ada pesan-pesan atau titipan dari Belitung. Ada juga benarnya pendapat Gandi.

Sudah makin rembang, mungkin pukul 19.00 lewat, aku menuju ke depan rumah pondokan kami. Kulihat seorang lelaki dalam remang-remang. Ia menuntun sepeda dan menolak masuk ke rumahku. Orangnya berpeci, tak jelas raut mukanya, dan memakai sepeda fongers. Tapi terasa ia ramah dan menyenangkan, dia menanyakan kabar keluargaku. Ia berkata, baru dari Belitung dengan perahu yang saat itu tengah sandar-pelabuhan di Pasar Ikan. Ia lantas meminta agar aku ikut ke tempatnya barang agak sebentar. Kujawjab tak bisa, karena esok aku sudah harus menuju Tanjung Priok untuk berlayar jauh dan bekerja di sebuah kapal. Orang itu kemudian berjanji, malam itu juga aku akan diantarkannya kembali, sesudah mengambil titipan ti tempatnya menginap. Ia tidak menginap di perahu, tapi di rumah seorang kawannya di Kemayoran.

Setelah aku yakin benar dia dapat menjaminku bisa pulang malam itu juga, artinya mengantarkanku sebelum pukul 23.00, aku setuju mengikutinya. Dia berpesan juga, agar semua barangku yang penting dibawa saja bersamaku, terutama surat-surat penting. Siapa tahu aku harus berangkat dari Kemayoran kalau sungguh terpaksa. Aku ingat benar, di Kemayoran ada stasiun kereta-api menuju Tanjung Priok; lin ini dari Mesteer Cornelies (Jatinegara) menuju Tanjung Priok, lewat Kramat, Senen dan Kemayoran. Seluruh barangku yang tak seberapa itu, lantas kuangkut membonceng bersamanya naik sepeda.

Lelaki itu mengaku bernama Sadri, dan ia kenal dengan keluargaku di Belitung. Sambil bersepeda berboncengan, Pak Sadri yang terkadang kupanggil Bang Sadri itu, terus mengobrol dan banyak menanyakan tentang kehidupanku, juga perihal keluargaku. Semua kujawab apa adanya. Sebab aku paham, orang perahu, nelayan di kampung kami umumnya baik budi, ramah dan mudah membantu orang. Bang sadri pun banyak mengerti soal-soal yang aku belum tahu, ia kelihatannya ramah dan hangat. Sesekali aku terlupa, bahwa kami ini sedang berboncengan di tengah jalan ramai.
"Jadi ayahmu di mana sekarang ?" tanya Bang Sadri.
"Di Yogya, bang, bergabung dengan para pejuang," ujarku bangga.
"Abangmu yang tertua itu... ?"
"Katanya juga di Yogya, bersama ayah. Ada yang bilang mereka itu selalu berada antara Yogya dan solo."
"Tak ada kabar pasti atau surat dari mereka ?"
"Tak ada. Mana bisa bersurat-suratan. Mereka ada di daerah republik, kami di daerah pendudukan Belanda. Hubungan putus sama-sekali. Namun ada saja orang-orang dari daerah republik masuk ke Jakarta dan membawa kabar tentang ayah dan abangku".
"Sudah berapa lama kau tak jumpa mereka?"
"Dengan ayah ada tiga tahun. Dengan abang malah sudah sembilan tahun."
"Waah... lama betul, ya. Barangkali kalau jumpa pun sudah agak lupa", ucap Bang Sadri.
"Lha iya, abang saya itu dulu yang memasukkan saya ketika sekolah HIS di Tanjungpandan. Sejak tahun 1940 hingga kini, belum lagi kami pernah bersua."
"Oh..., kamu masih ingat saja, ya," ujar Bang Sadri dengan tertawa kecil.

Dan kami terus berboncengan menyusur arah Kemayoran, melewati Senen dan Gunung Sahari yang bukan main banyaknya orang. Bang Sadri bisa-bisa saja mencari bahan pembicaraan, diselang-seling bertanya hal keluargaku. Rupanya ia tertarik dengan kehidupan keluargaku. Memang ayah adalah salah seorang penggerak revolusi bersenjata di Belitung. Saat pemuda ontak melawan Belanda, ayah adalah salah seorang pimpinannya. Sejak waktu itulah ayah dicari-cari Belanda untuk ditahan. Akibatnya ayah jarang-jarang pulang ke rumah, lalu menghilang. Kami tahu, ia telah berlayar ke tanah Jawa dengan perahu Bugis menuju Ceribon dan terus ke Yogya dan bergabung dengan kekuatan Republik Indonesia.

Di Yogya, ayah bertemu dengan anaknya, yaitu abang-sulungku, yang usianya 11 tahun lebih tua dariku. Sejak tahun 1947 kami tak kumpul dengan ayah, sampai sekarang, tahun 1949. Beberapa kali rumah kami digeledah, diperiksa dengan teliti dan diawasi oleh mata-mata yang diantaranya justru kami kenal, masih keluarga sendiri. Tapi mereka tak akan menemukan ayah di Belitung, ia sudah berlayar menuju daerah republik.

Dengan abangku yang biasa kami panggil Bang Amat, sudah sembilan tahun pula aku tak jumpa. Sulit kubayangkan bagaimana rupanya sekarang, mungkin dia pun tak kenal aku lagi. Sebab aku sudah besar. Buktinya walau umurku baru menjelang lima belas, aku berhasil mengibuli Belanda di perusahaan perkapalan KPM dan SMN, saat melamar kerja sebagai cabin boy. Kukatakan usiaku hampir 18 tahun. Akhirnya aku diterima bukan di KPM, tapi di SMN - Stoomvaart Matschappij Nederland, untuk lin internasional. Dan ini memang menjadi cita-citaku agar bisa ke luar negeri, ke Amerika Serikat.

Kami mulai mémasuki kawasan Kemayoran. Mendekati pelabuhan udara, lalu terus lagi menuju jalan sempit, tak beraspal. Lewat Kali Sunter, lantas memotongnya... wah, jauhnya mak! Jalan itu kini benar-benar gelap, kami hanya mengandalkan lampu sepeda berko fongers itu saja.
"Di mana kita ini...?" kataku sedikit mendongkol.
"Menuju tempat saya menginap. Tak jauh lagi, sebentar juga sampai," ujar Bang Sadri ramah.

Ada cahaya dari rumah-rumah penduduk, tapi bukan listrik. Lampu-lampu rumah itu, pelita yang menyeruakkan sinar buram, ke luar. Ini sungguh di kampung, kampung tulen sekitar Jakarta sini, ucap batinku. Jalannya banyak berlobang. Sepeda kami turun naik. Terkadang terjeblos. Kami tak banyak lagi mengobrol. Kudengar dengusan Bang Sadri, rupanya cukup capek dia. Aku sengaja tak banyak tanya lagi, masing-masing kini dengan pikiran sendiri. Aku sibuk merancang, bagaimanapun juga malam itu aku harus pulang untuk persiapan keberangkatan esok paginya. Sebelun pukul 11.00 aku harus sudah di kapal TAHU LANDANG. Semoga Bang Sadri tidak ingkar dengan janjinya. Sepertinya ia bisa dipercaya, begitulah hatiku berkata. Namun aku pun bisa pulang sendiri, dari Kemayoran Gempol berjalan kaki dahulu menuju Gunung Sahari. Lalu dengan trem menuju Tanah Abang lewat Gondangdia. Yang penting jangan terlalu malam, sebab trem habis dinas pukul setengah satu malam. Pokoknya aku harus merebut waktu. Persetan diantar Bang Sadri atau tidak. Ini soal masa depan, bukan sepele. Ini hidup mati idealisme, demikian tekadku.

Dalam senja yang pekat itu, akhirnya kami sampai ke rumah yang dituju. Tak dapat aku membayangkan secara persis, yang kuingat lantainya setengah-ubin-setengah-tanah yang keras dan licin mengkilat. Berdinding kayu, ada lampu teplok, lampu duduk dengan minyak tanah. Tuan rumahnya jangkung, agak kurus, namanya Iskandar. Giginya agak merongos ke depan. Ia ramah dan baik, segera menyilakan kami masuk dan menuju ke kamar Bang Sadri.

Di rumah itu ada empat orang saja, Pak Is, istri dan dua anaknya yang masih kecil, serta seorang wanita agak tua, mungkin masih terbilang keluarganya yang merangkap membantu mereka. Rumah Pak Is agak besar, namun sederhana ; tak ada lemari besar, atau kursi yang bagus. Semuanya bersahaja.

Bang sadri menyilakan aku masuk ke kamarnya. Lampu teplok yang temaram itu, belum cukup terang untuk menyimak Bang Sadri. Mukanya agak bulat, perawakannya tegap, dan matanya amat bersinar. Kalau tertawa renyah, dan suaranya sedap terdengar karena kata-katanya jelas dan tegas, satu-satu.

"Duduklah. Letakkan barang-barangmu di atas balai-balai," kata Bang Sadri.
Balai-balai itu besar, dari kayu juga amat sederhana. Lelaki itu nampak lelah, ia menghela napas panjang, entah apa yang dipikirkannya.
"Naah... sekarang kita bebas omong-omong", tambahnya. Aku agak melongo. Pikirku: apa tadi itu tak bebas omong-omong? Bang Sadri tertawa kembali, lalu memandangiku dalam-dalam dengan penuh rasa. Aku lantas jadi kikuk. Apa sih maunya orang ini, bisik hatiku. Katanya dari Belitung, membawa titipan dari keluargaku. Lalu, mana dong titipan itu? Bang sadri lantas mengambil duduk lebih dekat di hadapanku, katanya:
"Coba perhatikan saya baik-baik. Apakah kamu tidak mengenali aku lagi?" Terkejut, kubalas pandangnya.
"Sembilan tahun, memang bukan sedikit. Cobalah ingat-ingat bagaimana paras abangmu itu," katanya lagi. Lama aku mengingat, kukenang lagi, hingga ingatanku tiba pada seseorang. Mungkinkah ia? Lidahku mendadak rasa kelu, padahal aku amat ingin bertanya. Kurasai mataku mulai basah, dadaku disesaki rindu tak keruan. Mata lelaki yang menatapku itu, makin bersinar. Sinar rindu pula. Tak sadar kami segera berpelukan, ia mendekapku kuat-kuat. Kata-kata sudah tak perlu lagi. Aku menangis bebas, tak tertahankan. Lepas dalam senggugukan dan isakan. Bang Sadri inilah Bang Amat-ku yang sudah sembilan tahun menghilang.

Kemana saja ia pergi? Sungguh tahan ia menyembunyikan perasaan kangen padaku, hingga tiba saat ini. Bukan mustahil lama sudah ia merencanakan hendak "menculikku", berkomplot dengan Gandi, kawanku sekamar, yang juga adalah ipar abangku sendiri.

Segera saja kami saling bercerita tentang hal-hal masa lalu. Tentang kampung halaman, tentang keluarga kami. Ia juga berkisah padaku tentang ayah, dan usaha ayah untuk kembali ke Belitung sesudah selesainya perundingan Indonesia-Belanda melalui KMB - Konperensi Meja Bundar itu.

Dari kejadian semuanya, aku mengerti bahwa Bang Amat masuk Jakarta dengan menyelundup. Di kemudian hari kutahu bahwa ia punya kegiatan ilegal rahasia, bawah-tanah, dan sangat berbahaya. Pertemuan ini sangat mengesankan, kerinduan antara abang dan adik yang terpisah karena keadaan. Lama sesudah itu aku sadar, sesungguhnya abangku itu mengasihiku, manaruh harapan besar padaku, walau sikapnya nampak selalu keras. Tuntutannya tinggi padaku, padahal aku belum sanggup memikulnya. Pada perbincangan selanjutnya, di pertemuan ini, kutahu sifat kerasnya itu. Yaitu saat ia mulai menanyai rencanaku berangkat esok pagi, berlayar.
"Jadi, kudengar tadi bahwa kau akan berangkat besok ke Amerika".
"Ya, karenanya aku mesti cepat pulang, untuk bersiap pagi sebelum berangkat".
"Apa rencanamu dengan pangkat cabin boy itu?" suaranya terdengar menahan sesuatu. Belum lagi kujawab, ia sudah melanjutkan:
"Bagaimana sekolahmu nanti? Apa kau yakin bisa menjadi orang berguna kalau pergi ke Amerika?"
"Yah, tentu aku berusaha keras untuk itu," ujarku kurang senang.
"Sudah lengkap segala suratmu ; jangan ada yang tertinggal. Sini, coba kulihat, lengkap tidaknya," tambahnya lagi.

Aku membuka tas lusuhku, mengambil berkas surat. Abangku memeriksa satu-per-satu, alisnya nampak terangkat dan keningnya berkerut. Nyata benar ia tak gembira. Tentu surat itu ada kurangnya, begitu pikirku. Akan kulengkapi sebelum besok pagi.
"Jadi... dengan surat-surat ini kau akan jadi cabin boy, bekerja di kapal Belanda. Ke Amerika dengan pengetahuan kelas satu es-em-pe?"
Kini suaranya tidak lagi ramah. Aku diam merunduk, apalagi ketika kulirik sebentar raut-mukanya menahan marah dan jengkel. Hatiku mulai kuatir dan takut, alamat buruk ini.
"Kau tahu, aku sangat sayang padamu. Namun kau harus menjadi manusia berguna. Kau mesti sekolah. Harus punya aturan hidup. Ada rencana nyata dalam setiap langkahmu ke depan. Ini maumu jadi cabin boy, gelandangan kapal Belanda, ke Amerika pula. Padahal keluarga kita semua dengan teguh melawan Belanda, berperang melawan penjajahan. Tapi kau bekerja pula sebagai pelayan, jongos di kapal musuh. Betapa ironisnya antara kita. Aku tahu, kau akan marah padaku, tapi kukatakan ini semua demi sayangku padamu, demi hari depanmu yang harus kau genggam erat!"

Dan kulihat. Kulihat Bang Amat merobek-robek semua surat keteranganku itu. Habis lumat. Aku memandangi dengan amat terkejut dan mata terbelalak. Oh, inikah kelanjutan perjumpaan kami itu? Awalnya keramahan, kemudiannya kemarahan! Dan aku kembali menangis, kini dengan rasa marah, benci dan kesal. Tapi malah tasku dibongkar Bang Amat. Ya, Allah, akan ketahuanlah isinya, yang seharusnya tak boleh dilihat, karena itu rahsiaku. Kurasa tubuhku panas dingin, malu betul. Lantas ia menatap ku, suaranya keras bertanya:
"Apa yang dalam botol ini? Dan apa pula ini, segala kemenyan dupa? Apa-apaan ini?"
Aku diam tak berkutik, barangkali mukaku merah padam atau pucat, tak tahulah. Tapi terasa wajahku tebal seperti bergayut, berat karena beban malu. Berulang kali ja mendesak, barang apa itu, obatkah atau apa. Aku terpaksa menyahut juga:
"... Guna-guna. "
"Apa? Guna-guna? Haah, kau pakai guna-guna? Untuk memikat wanita? Pélét, kata orang Jakarta, kan..." Suaranya menghardik.
"Ya. Tapi bukan cuma itu faedahnya. Banyak lagi. Dengan jampi dan doa, ia jadi serba-guna. Termasuk aku dapat kerja sebagai cabin boy ini, ya karena guna-guna itu...", kilahku membeberkan, rahasiaku yang pribadi.
"Juga bisa dipakai untuk ujian sekolah, "tambahku.
"Yah... pokoknya kau masih percaya pada mistik !" tukas Bang Amat dengan cepat.

Dan itu memang benar. Waktu itu aku memang yakin, walau belum sepenuhnya. Pernah satu kali dalam trem kota, aku melihat gadis cantik sekali. Segera kudekati, lalu dengan jampi sedikit yang kubacakan dekat telinga gadis itu, kuhembuskan rokok menyan ke arahnya. Tapi aku malah dimakinya:
"Sialan anak kecil ini, masih ngerangkak udé nakal, ngerokok segala, menyan lagi; kayak ada setannya!"
Aku terkejut malu, lantas menjauhinya. Tadinya masih kukira ia akan mengikuti bak kerbau dicocok hidung. Sedapnya diikuti wanita cantik, puas betul hati ini, benakku berkata. Nyatanya...

"Mulai sekarang kau harus mengubah duniamu, dunia mistik dan gelandangan," abangku tiba-tiba membuyarkan lamunanku. "Aku ingin kau bisa jadi orang. Sekolah yang baik. Hidup menetap tidak gelandangan."
Ia kemudian mengajakku keluar kamar, semua botol keperluan guna-guna tadi dibawanya. Menyan, dupa, rokok, tembakau, dan bacaan jampi-jampi berupa pantun dan syair. Kuingat betapa sukarnya dulu memperoleh perlengkapan mistik itu. Berempat dengan kawanku, kami mendatangi kesultanan Ceribon, jauh di luar kota. Kami duduk lama menunggu antrian untuk menghadap seorang tua di Gunungjati. Beliaulah yang memberi guna-guna itu semua, juga sebilah keris yang karatan. Kami harus membayar mahal untuk itu. Kunjunganku ke Ceribon tersebut, adalah bagian dari pengembaraanku di awal 1949-an di Jawa Barat, mulai dari Bogor, Cimelati, Sukabumi, dan banyak lagi. Aku belum cerita pada Bang Amat, namun kukira ia sudah diberitahu oleh Gandi, adik iparnya; yang sekolah di Taman Madya, Taman Siswa.

Maka tamatlah riwayat bakal pengembaraanku. Semua botol tadi dilemparkan abangku'mengarah ke hutan tali-air Kali Sunter, di Kemayoran Gempol. Tanganku dipegangnya erat saat membuang botol-botol tersebut. Dalam malam gulita itu hanya terdengar suara berdesau, botol-botol mengenai daun bambu, lalu menerbitkan suara "plung, plung" jatuh ke anak sungai Kali Sunter bebrapa Kali. Suara botol-botol kemenyanku, sang guna-guna, alat pélét dari Ceribon, makin jauh menghilang.

Perasaanku masih bercampur antara marah, kesal, dan sakit hati. Keesokan harinya, Bang Amat sudah menjanjikan agar melalui Pak Iskandar, aku disekolahkan di Taman siswa Kemayoran, sebab beliau juga adalah kepala sekolah setempat. Sementara aku, pinadahan dari SMP Pasar Anyar, Bogor.

Sejak hari itu, aku menjadi murid di Taman Siswa, bermula dari Taman Dewasa hingga tamat Taman Madya. Betapa berubah segala kehidupan yang nyaris menjadi gelandangan dulu itu.

Aku sama-sekali tak mengira bahwa cabin boy berarti jongos, hanya karena kekagumanku pada istilah Inggrisnya saja, terutama kekaguman pada Amerika.

Bila kukenang bagaimana jadinya andaikan aku tidak "diculik", tidak "disandera" abangku malam sebelum berlayar ke Amerika. Tentu aku telah berangkat dengan jiwa mudaku, mengembara kemana-mana tak bersekolah. Tak tahu aku, apakah aku jadi manusia, apakah akan jadi orang berguna? Kini, setelah 40 tahun berlalu, terasa nian di hati ini kerinduan akan masa silam bersamanya. Rindu pada perhatian, pada nasihat-nasihatnya yang bernas. Kangen pada cara-caranya yang unik membimbing aku adiknya. Di manakah kini kau, abangku? Di mana kuburmu, Bang Amat? Tak seorang pun tahu. Ia telah gugur, ditembak, dihukum anak sebangsanya tanpa pengadilan. Entah di mana nisanmu. Ingin benar kuletakkan serangkum bunga tanda kasihku padamu. Tanda ingatku atas seluruh kenangan manis kita dulu.

Walau aku jauh di seberang laut, semangat dan kerja kerasmu untuk orang lain, untukku, telah senantiasa menguatkan hatiku menapak hidup ini.

Hidupku.

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.