Jumpa Lawan II

Kami cukup sering ke kampung Mempiyuk, 16 kilometer jaraknya dari Tanjungpandan, ibu kota kabupaten kami, Belitung. Di kampung itu kami membeli pisang, ubi kayu, dan penganan lain; di samping untuk kami makan, juga untuk dijual kembali ke kota. Kata orang Medan, mocok-mocoklah. Mengapa itu kami lakukan? Pasalnya saat itu ayah tak bekerja, Belanda baru masuk kembali sekitar tahun 1945-1946. Ayah masuk orang republiken, istilah masa itu; bukan orang ko -- maksudnya kooperatif, sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda.

Karena menganggur inilah, kami terpaksa mencari uang dengan berjual-beli hasil bumi, yang kami peroleh dari Mempiyuk tadi. Berkebetulan ada kenalan yang masih terbilang sanak, sehingga kami mendapat harga agak murah. Kami segera saja menjual kembali di kota kabupaten, biar tak mahal asal lekas habis. Dengan dua sepeda yang masing-masing bagasinya kami gantungi karung yang disebut keranjang pempang, artinya keranjang yang mengangkangi bagasi sepeda tersebut. Keranjang-pempang itu kuat sekali, sanggup memikul berpuluh kilogram barang bawaan. Di dalamnya kami isi dengan pisang dua-tiga tandan, lalu ubi kayu, cabe segar, serai, tebu, dan lain-lain, dan kami siap menuju Tanjung Pandan.

Jalan dari kampung mempiyuk ke Tanjungpandan, sebagian besar jalan merah tak beraspal. Selalu saja ada tanjakan tinggi, sehingga harus turun dari sepeda dan menuntunnya, apalagi membawa beban berat. Saat menuntun sepeda itu, biasanya saat-saat menyenangkan walaupun capai juga. Sebab cukup banyak orang berhal sama dengan kami, dan pa da masa itu sesama orangkampung umumnya saling kenal, saling menyapa, saling memberi perhatian, saling bantu. Jadi sembari mendorong sepeda, kita bisa berkelakar berbincang ke barat ke timur. Mungkin dengan cara begitu, akan terlupa rasa lelah, tahu-tahu saja sudah sampai ke tujuan.

Begitulah, suatu hari ayah dan aku terpaksa turun dari sepeda karena bawaan kami yang amat banyak. Kami mulai menanjak. Tak lama, ada lagi beberapa orang. Salah seorangnya, kami kenal namanya Bujok. Dulu ia seorang supir, awalnya supir mobil pribadinya, artinya ia punya mobil yang ditaksikannya sendiri. Tak lama kemudian ia menjadi supir truk. Sesudah itu kami tak lagi melihatnya menyupiri mobil apa pun. Entah mengapa. Ada yang bilang, ia bangkrut; ada lagi yang mengatakan, ia sudah pernah masuk penjara karena menubruk orang hingga mati. Bujok tergolong serupa Akai, Abubakar yang kuceritakan tadi. Banyak bicara, banyak obrolan. Kita baru satu-dua kalimat, dia sudah satu cerita utuh. Kita satu-dua patah kata, dia sudah beberapa kalimat. Dan kalau orang terlalu banyak bicara, umumnya sulit terkendali. Tak sanggup menguasai diri, lalu cmnganpun banyak tak berfilter, bersaring; bocor saja keluar.

Sambil menuntun sepeda, Bujok berkisah pada kami bagaimana ia sudah membunuh tiga orang.
"Abang tahu, macam apa cara saya menghabisinya?" ucap Bujok seolah minta jawaban. Dan belum ayah berkata, ia sudah mendahului.
"Abang kan paham, saya ini supir truk. Ya, gampang, lindas sajalah, lalu katakan hal itu sebagai kecelakaan. Paling-paling denda, atau dicabut rebewes. Tak sukar, nanti cari lagi. Dan abang tahu, siapa-siapa yang mati itu? Semuanya musuh pribadi saya. Cuma tak seorang pun tahu soal ini, dikira hanya kecelakaan biasa. Begitu caranya selama ini, Bang. Karena itu sekarang saya hampir tak punya musuh pribadi. Semua telah saya kirim ke akhirat. . . ", demikian kisah Bujok dengan suara gagah dan mantap. Ayah mengangguk-angguk saja dengan wajah datar, serupa saat ia mendengar cerita Akai dulu itu.
"Hebat juga kau ini, ya Jok", ujar ayah. Bujok nampak benar senang hati mendapat pujian ayahku.
"Begitulah Bang dalam hidup kita. Terkadang ganas, kadang memelas, sesekali jadi malaikat, tapi bisa pula jadi iblis", sahut Bujok lagi seakan berfilsafat.
"Tapi bagaimana dengan abang sendiri", tambah Bujok ingin mengetahui pengalaman hidup ayahku.
"Pengalaman kita ada yang sama, tapi juga ada yang berbeda. Macam-macamlah. . . . " kata ayah.
"Apa itu, Bang . . . ceritalah. "
"Pasal membunuh orang itu beragam. Misalnya saya, tak serupa dengan kau. Saya pakai pistol saja, bisa pura-pura kecelakaan", urai ayah seperti menirukan gaya Akai. Boleh jadi ayah benar, sebab dulu ayah seorang pegawai kehutanan, boschwezen, yang harus selalu punya pistol. Ini kutahu benar, karena dengan mencuri-curi aku sering memegang bahkan membawanya. Sekali waktu ketahuan ayah, akibatnya aku dipukuli dengan pemukul kasur dari rotan. Bujok juga mengerti bahwa ayah adalah mantri kehutanan yang memiliki senjata api Browning.
"Pernah abang harus menghadap pengadilan, atau ditangkap polisi?" tanya Bujok bersemangat.
"Tak pernah. Harus pintar-pintarlah. Seperti kau tengok sendiri, mana pernah saya masuk penjara", ujar ayah.

Ada orang bercerita hanya sebagai obrolan iseng. Ada pula orang berkisah untuk mengagungkan dirinya, untuk menakuti orang lain, bahkan diam-diam ada nada mengancam. Yang diceritakan Bujok, masuk katagori ini. Namun yang diceritakan ayah, boleh jadi campuran semuanya. Bujok belum merasa puas. Mungkin ia merasa disaingi, ceritanya jadi kurang seram. Karena itu ia bertanya lagi:
"Barangkali ada sekali dua abang melakukan itu?"
"Apa katamu, sekali-dua? Yang kuingat saja ada tiga-empat kali, Jok!" Kali ini Bujok terhenyak. Lama ia tak berkata sepatah pun.
"Kita ini samalah, Jok, barangkali sama juga berdosanya. Masuk neraka sudahlah pasti, sebab semua perbuatan jahat akan mendapat timpalannya juga. . . " tambah ayah.

Aku yang sedari tadi mendengarkan, merasa ragu dan kecewa. Andaikan benar cerita ayah, malang nian nasibku, punya bapak pembunuh! Betapa hina hidup ini. Tapi aku masih sulit untuk percaya cerita tadi. Selagi Bujok membisu, ayah melanjutkan:
"Kita serupa, Jok. Karena ada musuh pribadi saja, kita sanggup mengerjakan hal-hal terlarang dan diharamkan agama. Tapi kita akan menanggung bebannya, sangat berat! Siksaan batin, tidak tenteram karena rasa berdosa, karena sudah berbuat jahat, karena berbohong, karena sirik, dan tamak".
Bujok makin diam, adakah ia merenungkan dosanya atau kata-katanya itu terlanjur saja?
Entahlah.

Namun hampir tiba di Tanjungpandan, Bujok tak juga hendak berpisah dari kami. Padahal kami tahu tujuannya ke kampung lain. Dan menjelang simpang tiga belokan dekat kampung Air Saga, Bujok tiba-tiba menghentikan sepedanya dan meminta kami berhenti pula. Wajahnya penuh tanda tanya dan rasa penasaran.
"Bang, benarkah abang melakukan itu semua?"
"Lalu mengapa, Jok?"
"Saya ingin tahu, apakah abang melaku kan itu semua? Tolonglah saya Bang, lepaskan dari siksaan ini. Benar abang lakukan itu?" tanya Bujok. Ayah tersenyum seakan menyindir Bujok.
"Jok, jangan kau mengira cuma kau seorang yang mau dan bisa berbohong. Aku pun bisa. Walaupun hanya pada orang-orang pembohong saja. Agar kau tahu saja...!"
Tenang ayah menatap raut muka Bujok. Ternyata ayahku adalah pembohong besar terhadap pembohong kecil. Kadar bohongnya lebih besar, lebih tinggi dari pembohong biasa.

Paris, Juni 1991.

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.