Sastrawan dan Sastra yang Terpinggir

Sudah menjadi kenyataan selama kekuasaan Suharto - Orba, lebih 30 tahun, ada suatu bagian dalam kehidupan bangsa ini yang terasa hilang. Yang hilang atau dengan istilah lebih moderatnya, terpinggir, yalah tidak munculnya atau dilarang munculnya sastrawan dan sastra yang dianggap berasal dari Lekra. Semua buku atau tulisan yang berbentuk buku dan siaran, dilarang oleh penguasa Suharto - Orba. Siapa saja dan apa saja hasil sastra yang dilahirkan pada zaman yang dianggap Orla dan yang dianggap Lekra, dilarang beredar, dilarang terbit. Kalaupun terbit dengan "gelap-gelapan", maka sudah dipersiapkan seperangkat undang-undang dan peraturannya buat melarangnya. Kejaksaan Agung akan memanggil sumbernya. Hal ini berkali-kali pernah dialami penerbitan Hasta Mitra karena berani-beraninya menerbitkan karya Pramoedyua Ananta Toer. Tapi sebagaimana Pram, sebagai pengarang dan salah seorang pengurus penerbitan itu tidak pernah menggubris larangan. "Tutup buku" dengan semua aparat penguasa demikian Pram.

Sebenarnya Pram juga banyak menemui pemboikotan, dari sana sini, dari berbagai pihak. Dia pernah tidak diakui sebagai pengarang Indonesia, paling-paling hanya sebagai pengarang Lekra saja. Tetapi Pram terlalu besar, terlalu hebat, terlalu luarbiasa untuk tidak diakui dan untuk dipinggirkan. Tidak diakui dan dilarang terbit di negaranya sendiri,tetapi di negara lain, luarnegeri sudah siap menampung, menerbitkan dan menterjemahkannya. Oleh kalangan kritikus yang berbobot paus dan yang sedang-sedang saja, pernah Pram mendapati pengalaman seakan-akan tidak diperdulikan, tidak dibicarakan, tidak masuk catatan, tidak masuk daftar sebagai pengarang Indonesia,- dia hanyalah pengarang Lekra yang terlarang itu.

Oleh terlalu besarnya, dan terlalu hebatnya Pram, yang karyanya melebihi sastrawan manapun, yang sudah diterjemahkan dalam 28 bahasa asing, dan juga sudah berkali-kali termasuk calon, nominasi penerima Hadiah Nobel Sastra Dunia, maka "mau tak mau, dan terpaksa" kalangan dalam negeripun juga lalu turut membicarakan Pram sebagai sastrawan Indonesia! Dan Pram dengan segala perjuangan yang pahit, tapi ulet, selalu menang! Lalu sampai A. TEEUW-pun turut mau juga membicarakannya. Dulu sebelum adanya kemelut peristiwa-gelap bangsa ini, Pram termasuk sastrawan Indonesia. Tetapi begitu terjadi peristiwa 1965, lalu keberadaan Pram mau dihapuskan sejarah, sejarah mereka! Nyatanya tidak bisa. Pram dengan kehebatan, keluarbiasaan karyanya, adalah orang nomor satu sastrawan Indonesia yang sudah terdaftar di kalangan pemberi Hadiah Nobel Sastra Dunia. Pram terlalu besar buat diremehkan, buat tidak dibicarakan, buat dipinggirkan!

Tetapi sebenarnya masih ada "pram-pram kecil yang berkeliaran dan kelayaban" di tanah rantau atau di dalam negerinya sendiri. Hanya akibat kerusakan dan perusakan dan daya rusak serta daya keterbelakangan rezim Suhartro - Orba, sangat sulit buat mereka bisa memasuki gelanggang dan arena. Masih banyak karya yang terpendam di laci, di lemari dan masih banyak naskah tulisan, yang orang tidak mau, tidak berani menerbitkannya. Banyak "matapencaharian" penulis, sasterawan di dalam negeri yang mengerjakan terjemahan atau tulisan aslinya. Kalaupun ada yang mau dan berani menerbitkannya, ada syarat yang harus dipenuhi penulis atau penterjemahnya, nama harus diubah, harus nama samaran! Kenapa? Penerbit dan toko-buku tidak mau menanggung risiko kerugian material apalagi kerugian moral. Karena takut ketahuan dan lalu dilarang bahkan bisa ditangkap penguasa. Kalau sudah begini artinya tertutuplah semua lubang dan celah-celah kehidupan.

Ada lagi istilah ngenyek buat hasil sastra yang berbau progresif dan maju, yang disebut juga kiri. Termasuk seorang penyair kenamaan-pun pernah terkena ejekan ini, yaitu WS. Rendra. Ada yang mengatakan, kalau hanya begitu saja sih, maka hasil sastra begituan bisa disebut "sastra poster" "sastra pamphlet", "sastra pesanan" dan bermacam sebutan tidak enak demi menolak sastra yang menyatakan, kebenaran tetapi dengan cara-cara baru.

Kalangan tertentu tetap menyebutkan pengarang Lekra atau sastrawan Lekra buat sebutan kepada Agam Wispi, HR Bandaharo, Joebar Ajoeb, dan yang lainnya. Tidak disebutkan bahwa mereka juga adalah pengarang dan sastrawan Indonesia! Kenapa tidak menyebutkan Sitor Situmorang sebagai pengarang dan sastrawan LKN? Kenapa tidak menyebutkan Taufik Ismail sebagai pengarang Manikebu, atau Asrul Sani sebagai pengarang Lesbumi? Mereka disebutkan sebagai pengarang dan sastrawan Indonesia, bukan dari "kandang mereka yang dikotakkan". Sedangkan orang-orang Lekra dikandangkan, disempitkan, dipinggirkan.

Semua mereka yang dituliskan di atas adalah sastrawan Indonesia, bukan sastrawan Lekra, LKN maupun Manikebu ataupun Lesbumi. Mereka mengangkat harkat bangsa dan negara, tidak terdapat pandangan yang begitu sempit dalam karangan mereka. Apa yang selalu diangkat dalam karya Pram? Tidak secuilpun yang "menjelekkan dan menyudutkan kekuasaan yang sekarang ini". Yang ditulisnya adalah sejarah perjalanan bangsa ini, bahkan sejarah budaya dan adat istiadat jauh di belakang kita. Bahwa akhirnya penguasa merasakan itu adalah sindiran, permisalan, adalah soal lain. Kata peribahasa kampung kami " siapa yang terkena dialah yang merasa pedas dan sakit". Dan tulisan Pram adalah secara umum, bukannya dicari-cari, dan memang ada sejarahnya. Lihat misalnya tetralogi tulisan selama di Pulau Buru itu yang memang ada bahan sejarahnya, apalagi Arus Balik dan Arok Dedes.

Akibat semua kekangan, semua dan selama kekuasaan Suharto - Orba, daya rusak dan keterbelakangan perjalanan bangsa ini benar-benar mengalami setback yang luarbiasa. Yang paling dirasakan oleh sastrawan yang dipinggirkan ini, yang masih kelayaban di tanah pengasingan, maupun yang ada dalam negeri, betapa susahnya, betapa sulitnya memasuki "dunia-resmi" dan yang bisa dan biasa tercatat dihadapan masyarakat umum, di depan audience. Karya dan tulisan mereka sangat sulit diorbitkan, sangat sakit buat orang mengumumkannya. Karena berbagai halangan dan pikiran yang masih membelenggu akibat perjalanan sejarah-gelap baru-baru ini. Dan "nasib" sastrawan dan sastra yang terpinggirkan itu, buat memunculkan diri saja bukan main harus menerobos begitu banyak penghalang. Semoga saja dengan keuletan yang juga harus luarbiasa, akan datang kembali "anak yang pernah hilang" selama lebih 30 tahun dulu itu.

Paris 18 Mei 2000

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.