Bab 4

Hari itu kalau tak salah hari Sabtu pagi. Pagi-pagi buta mungkin pada jam
02.00 Lulu mengerang sakit perut. Lalu muntah. Dan muntahnya itu banyak
sekali. Kentara sekali dalam muntahannya terdapat sisa-sisa daun
singkong. Tadi malam dia dengan lahap makan gulai daun singkong. Mungkin
belum terbiasa, atau mungkin juga karena terlalu banyak. Kamipun turut
menyantap gulai daun singkong itu, tetapi tak ada di antara kami yang sakit
perut.

Kelihatan dia sangat sakit dan menderita. Berkali-kali muntah. Dan aku mulai
sangat kuatir. Tetapi tak berani membangunkan tuanrumah di mana kami
menginap. Seperti biasa kalau cucuku ini sakit, selalu akulah yang paling
duluan sakitsaraf, tegang, takut-kuatir. Sedangkan ibunya sendiri jauh lebih
tenang. Kuuruti punggungnya sambil dia memegang perutnya. Ketika dia agak
berlari mau muntah, aku segera mengejarnya agar dia mendekati tempatcuci
piring di dapur. Tetapi badannya hampir jatuh ketika kutangkap, dan lalu aku
sendiri yang ibujari kakiku terpelintir. Sakitnya bukan main, kukunya hampir
lepas. Dan darah mengaliri lantai ke mana-mana. Segera kuhapus dan kupel, agar
jangan sampai ketahuan tuanrumah. Dan juga membersihkan muntahan
Lulu. Ibujari kaki kubalut sekedarnya, tapi tetap saja masih berdarah.
Keesokannya hari Minggu, tak ada dokter. Baiklah hari Senin saja. Senin aku ke
dokter, dan dokter mengatakan, dia mencoba berusaha agar jangan sampai
infeksi. Sebab besar kemungkinannya kalau sampai infeksi, kukunya itu harus
dicabut. Nah, ngerinya bukan main. Dalam tiga hari itu aku mendapat suntikan
anti-biotik. Ada hasilnya, tidak sampai infeksi.

Mengapa hari itu aku ingat benar? Beberapa hari itu masarakat Jakarta sibuk
membicarakan soal kudatuli, kerusuhan duapuluh tujuh Juli di Jalan
Diponegoro di kantor PDI. Dan sudah mulai adanya penangkapan dan pencarian
orang. Yang paling dituduh adalah PRD, Partai Rakyat Demokratik. Segala
tuduhan ditimpakan pada PRD. Katanya PRD itu berbaju dan berisi paham
komunis. Anak-anak muda yang militan dan para darah-segar yang dengan gigih
memperjuangkan demokrasi dan keadilan, dituduh mau makar, mau
brontak, mengganggu kestabilan-nasional. Dan ini sangat mengganggu
pemerintah, menggoyangkan stabilitas nasional. Karena itu pengurus PRD
dicari-cari, mau ditangkap, dipenjara.

Rupanya kejadian Lulu sakit perut dan aku kena insiden kecil kaki berdarah
itu, adalah pada hari yang sama dengan kudatuli. Dan beberapa hari
kemudian, ada tilpun dari abangku yang di Depok.
"Sudah lihat dan sudah baca Koran Merdeka tanggal 31 Juli? Ada namamu di
sana, kau juga turut menjadi anggota pengurus PRD bagian
luarnegeri", katanya.
Belum sempat menjawab, karena keduluan kuatir dan ngeri.
"Agar kau berhati-hati saja. Sekarang ini justru penguasa sedang mengejar
pimpinan PRD. Dan ada yang sudah ditangkap".
Aku betul-betul terpukul. Sementara tak bisa berpikir secara jernih. Perkara
ini bukan perkara sepele. Ini perkara jiwa, bisa hilang tak
berbekas, sirna. Dan lagi bagaimana bisa terjadi dengan tuduhan yang begitu
kosong dan nihil. Aku sendiri tak tahu tak kenal apa itu PRD yang
sesungguhnya. Aku hanya tahu di koran dan mendengar beritanya dari radio dan
tele. Bahwa perjuangan PRD dengan anak-anak muda yang militan, begitu
bersemangat memperjuangkan keadilan demokrasi, seharusnya disokong. Tetapi
malah ditangkapi, dicari-cari. Dan yang lebih sintingnya lagi, yang
dicari-cari itu termasuk diriku yang tak tahu apa-apa, tak pernah bergaul
dan kenal dengan orang-orang PRD.

Aku berusaha mencari koran MERDEKA yang tanggal 31 Juli. Tetapi koran
tersebut tak pernah kutemukan, karena korannya sudah lewat tanggal. Aku
mencarinya tanggal yang sudah bulan Agustus. Tetapi pada malamnya ketika
penguasa memperingati hari-besar Islam di Istana Negara, aku mengikuti
dengan seksama. Pidato demi pidato lebih 60 % hanya mengutuk PKI dan
marxisme. Dan tak lupa pidato Feisal Tanjung yang menyatakan bahwa gerakan
PRD itu terang-terangan gerakan PKI bergaya baru. Mereka, ABRI, akan dengan
tegas bertindak menangkap orang-orang PRD. Katanya lagi sudah
disebar-luaskan jaringan-jaringan PRD itu, antaranya sudah dimuat di
berbagai koran dan majalah.

Mendengar keterangan Feisal Tanjung yang ketika itu sudah menjadi orang
nomor dua di RI walaupun ada Habibi sebagai wapres, aku segera mencari koran
dan majalah yang dimaksud. Di sebuah kios, lama aku membalik-balik;mana yang
ditunjukkan si kumis Feisal. Dan agak terbelalak, terhenyak tetapi juga agak
gemetar dan mungkin ketika itu aku pucat, terbaca susunan pengurus PRD
lengkap dengan jaringan serta sel-sel organisasinya. Namaku memang ada
walaupun salah tulis, yang mestinya o ditulis a, lalu dikatakan bahwa aku
adalah ponakan bang Amat, padahal bukan ponakannya.
Kubaca lagi tentang tulisan komentarnya, dan kulihat lagi susunan skema
organisasinya, ya tetap saja memang ada namaku, pengurus PRD seksi
luarnegeri. Ini betul-betul keterangan gila, intel sinting, informasi
murahan, cepengan. Aku yang tak tahu menahu tentang PRD, tak kenal orang
PRD, tak pernah bergaul dengan PRD, walapun dalam hati banyak bersimpati pada
mereka, samasekali tak benar kalau aku ditulis sebagai pengurus PRD
luarnegeri.

Dan kubeli majalah SINAR tanggal 3 Agustus 1996 yang memuat semua
keterangan tersebut. Jadi memang benar apa yang dibaca abangku di
Depok. Hanya dia membacanya di Merdeka koran, sedangkan aku di Sinar majalah.

Beberapa hari kemudian kubeli lagi majalah Sinar yang tanggal 10 Agustus
1996, dan tetap saja masih terdapat berita, keterangan tentang PRD, dan namaku
tetap saja terpampang sebagai pengurus PRD luarnegeri. Nah, lengkaplah di
satu koran dan dua majalah memuat tentang PRD dan jaringan organisasinya
dan namaku tetap ada. Ini artinya pengejaran buat pengurus PRD terus
dilanjutkan. Dan sudah tentu pengejaran buatku. Tambah takutlah dan ngerilah
setiap hari. Yang paling kukuatirkan yalah, bagaimana sekiranya aku
ditangkap dan diteror, dibunuh di tengah jalan, teror gelap, dan aku hilang
dari peredaran kehidupan, lalu bagaimana cucuku Lulu. Siapa yang mengurus
dia?Dan seandainya diapun turut menderita karena aku, karena kakeknya, karena
keluarganya kebanyakan memang diburu oleh pemerintah sekarang ini, sangat
menyedihkan. Anak bocah yang baru 10 tahun ini melihat aku, kakeknya yang
gelisah setiap hari, tetapi aku tak pernah ngomong apa-apa dengannya tentang
hal yang kutakutkan itu.

Dia memang pernah bertanya ada apa. Tetapi kujelaskan "nanti kakek cerita
kalau sudah di pesawat pulang ke Paris", kataku. Dalam pada itu aku sudah
berterusterang kepada tuanrumah akan kejadian ini. Dan kuserahkan dua
majalah yang berisi laporan lengkap tentang PRD.
Tuanrumahku, Aty menghela nafas panjang ketika membacanya dan merenung lama.
"Yang ingin Aty tanyakan dan Oom harus jujur, apakah memang benar yang
ditulis majalah ini, bahwa Oom termasuk jajaran pengurus PRD", kata Aty
serius.
"Tidak betul Ty, tak pernah aku kenal orang PRD itu, tak pernah tahu", kataku
meyakinkan.
"Dari segi pengetahuan dan rasa-rokhanimu cobalah lihat, selidiki
aku. Sesungguhnya laporan penulisnya samasekali tak berdasar. Mereka asal
tulis saja, tanpa penyelidikan. Mereka harus membuat laporan demi
pekerjaannya", kataku dengan harapan Aty mau mengerti keteranganku.
Dan Aty memang kulihat berkonsentrasi pada profesi pekerjaannya sebagai
paranormal yang menjadi anutannya.

Ketika itu menurut tiket pesawat kami harus kembali ke Paris pada tanggal
sekian dua hari lagi. Padahal mauku sekarang ini. Jangan sampai keduluan
keciduk. Kalau keciduk, atau tertangkap dengan jelas dan ada
proses hukumnya, memang dapat diusut dan diurus. Tetapi ini negara RI yang
kacaubalau, tak ada hukum, tak ada pengadilan yang jujur dan
benar. Sewaktu-waktu seseorang bisa diteror, dan hilang raib begitu
saja. Walaupun orang asing dan sudah melapor kepada kedutaannya
masing-masing, takkan mungkin kedutaan asing itu dapat melindungi
warganegaranya. Di sini pembunuhan gelap, terorisme sudah tak terkontrol. Ini
sudah dibiasakan oleh penguasa-pemerintah-Abri selama puluhan tahun ini. Dan
perkara inilah yang sebenarnya sangat kukuatirkan.

"Dalam beberapa hari sebelum Oom pulang ini, agar jangan banyak bepergian
terutama kalau sendirian", kata Aty. Dan aku sudah menyatakan banyak
kemungkinan terburuk sekalipun, agar nantinya Aty tolong menguruskan Lulu
dan mengembalikannya kepada orangtuanya di Paris. Sebenarnya soal ini
bukanlah hal sangat jauh, karena ibu Lulu, anakku itu adalah sepupu Aty. Dan
Aty sangat mengerti semua apa yang kukuatirkan. Ayah Aty meninggal di
penjara , dan ketika sakitnyapun borgol di kakinya itu tak
lepas-lepas, walaupun tidak mungkin melarikan diri, karena memang sudah tak
punya tenaga lagi. Tetapi itulah buat melengkapi cerita tentang kekejaman
zaman penguasa Cendana ini. Kami dengan Aty dan sekeluarganya adalah satu
ikatan penderitaan yang sangat lama serta bergenerasi disiksa dan terus
menerima aniaya penguasa Cendana ini.

"Saya akan antarkan Oom dan Lulu sampai naik tangga pesawat", kata Aty
mantap.
"Berhati-hatilah dan berdoalah dengan cara Oom, dan semoga kita
lancar-lancar saja adanya", kata Aty juga sambil meyakinkan dirinya.

Dua hari sebelum berangkat pulang itu bukan main gelisah dan kuatir serta
ngerinya aku. Yang paling kuingat yalah Lulu. Nasib bocah cucu kesayanganku
ini ke mana saja aku ke Indonesia selalu kami berdua dengannya. Dan kini ada
musibah ini. Betapa akan malangnya dia seandainya aku terbunuh karena teror
gelap, dan dia pulang ke Paris tanpa kakeknya.

Di dalam pesawat semua kuceritakan pada Lulu. Dan Lulu merenung lama
sekali. Terdengar tarikan nafasnya.
"Tres dangereux!"
"Bien-sur tres dangereux", kataku menimpalinya. Dan Lulu mendekatkan dirinya
lalu malah dialah yang duluan memelukku dengan sayangnya.

Betul-betul laporan sinting entah dari intel mana yang nyaris saja
menghilangkan diriku dari peredaran kehidupan ini.

23 Februari 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.