Bab 2

Ada perbedaan yang sebenarnya cukup menyedihkan bagiku, kalau aku datang dan
jalan-jalan di Cina dan di Indonesia. Kalau di Cina, di mana saja, di kota
mana saja, misalnya di Beijing, di Shanghai, di Kanton dan kota besar dan
kecil lainnya seperti di Wu-xi, Suchow, - aku merasa sangat bebas. Samasekali
tak ada rasa takut dan waswas serta kuatir. Tak ada rasa takut akan
kecopetan, rampok atau diikuti yang oleh banyak orang asing cukup
dikuatirkan. Dan memang selama ini sejak tahun 1963 sampai berulang-ulang
sampai kedatanganku di Cina tahun-tahun belakangan ini, alhamdulillah tak
ada apa-apa, aman-aman saja. Semoga nantinya teruslah begitu, lancar, aman dan
menyenangkan.

Lain lagi kalau aku di Jakarta saja misalnya. Kenapa rasa takut, kuatir, dan
waswas, selalu saja menghantuiku. Ini sangat menyedihkan. Mungkin terlalu
banyak mendengar dan membaca koran atau mendengarkan berita radio-televisi
yang selalu memberitakan kejahatan, perampokan, jambret dsb. Lalu pada
kenyataannya memang ada bayangan yang selalu mengikutiku. Sejarah gelap bagi
para keluarga dan orang-orang seperti kami, memang sangat menyedihkan. Tidak
semua orang dan tidak semua keluarga, serta teman yang dulu dekat, mau dan
bersedia menerima kami. Sangat menyedihkan, setelah hampir 33 tahun aku
berpisah dengan kampunghalamanku di Belitung, di mana di pulau kecil itu aku
dilahirkan, dan sampai tamat SD barulah ke luar Belitung, rasanya sangat jauh
dengan masarakatnya setelah aku datang pada tahun 1996 dulu itu.

Dapatkah Anda bayangkan, aku yang "anak Belitung" yang dulu kami
berkawan-kawan meramaikan setiap tahun kota Tanjungpandan itu dengan segala
pertunjukan drama-sandiwara, malam-gembira, setiappulang berliburan. Kami
anak-anak pelajar dari berbagai penjuru seperti Jawa, Jakarta-Bogor-Bandung
dan Yogyakarta, Sumatra, Palembang dll, setiap menjelang lebaran selalu pulang
bersama-sama dan meramaikan kota kecil kami itu. Ini terjadi setiap tahun
sejak tahun 1952 berturut-turut sampai kami "menurunkan" kepada adik-adik
kami di kelas selanjutnya. Dan tahun 1996 itu aku pertama pulang berliburan
sejak terpisah dengan Belitung sejak tahun 1961. Dan apa yang kulihat dan
kurasakan?
Tak seorangpun keluarga maupun teman yang menawari kami menginap di
rumahnya. Belitung kampunghalaman dan kelahiranku itu, begitu
kurindukan, begitu kubanggakan, tetapi begitu aku datang berdua dengan cucuku
yang baru berumur 10 tahun, tak seorangpun yang mengajak dan menawari
menginap di rumahnya.

Keadaan ini memang sudah dapat kubayangkan sebelumnya. Dan pada akhirnya
akupun harus mengerti dan memahaminya. Keluarga dan teman serta sahabat
bukanlah benci atau tidak suka, tetapi ada rasa kuatir, ada rasa tidak
tenang, tidak merasa aman kalau mereka menerima kami di rumahnya. Karena itu
kami mencari hotel dan menginap di sana selama seminggu itu. Dan ternyata
keluarga dan teman berani datang dan menemui kami di hotel. Sebab hotel
bukankah tempat-umum? Terbuka dan resmi serta sah?

Tapi ya itu tadi, datang ke kampunghalaman dan tempat kelahiran sendiri, dan
menginapnya di hotel tidak di tempat keluarga dan teman?! Ya, sudahlah, kami
memahami keadaan ini semua. Resikonya memang ada pada mereka, kami begitu
selesai kunjungan dan berziarah serta nyekar lalu pulang ke kampung lain, ke
Paris. Mereka pastilah akan ditanya, diinterogasi, siapa itu, darimana
mereka, bagaimana hubungan kekeluargaan dengan kamu, apakah mereka sering dan
surat-menyurat dengan kamu, dan sebagainya.
Sedangkan kami begitu kembali ke Eropa, selesailah sudah. Jadi semua itu bisa
dipahami dan kami mengerti semua keadaan ini. Terlalu berat resikonya bagi
mereka. Bisa kehilangan pekerjaan, pemecatan, bisa tak berasap lagi dapur, bisa
kehilangan pendaringan beras kata kami orang Belitung.

Dan karena selalu takut, kuatir, waswas tadi itu, aku merasa tak enak kalau
sendirian ke rumah Mas Pram tanggal 15 Agustus itu. Hari itu di rumahnya
akan ada peluncuran buku terakhirnya, sebuah epos besar ARUS BALIK, yang
tebalnya hampir 1000 halaman. Dan aku mengajak Ajoeb, dan dia kebetulan
memang mau bersamaku ke rumah Mas Pram. Ke Ajoeb ini hampir setiap hari
kulakukan, dinasnya mulai jam 06.00 sambil jalan-kaki olahraga satu jam, jam
07.00 sampai ke rumah Ajoeb, dan kami biasanya ngobrol. Tanya ini tanya
itu, dan dia akan menjelaskan tentang apa saja yang aku mau tahu. Diam-diam
tentangnya pernah kutulis, Ajoeb itu bagaikan sebuah gunung, timbunan
awan, bagaikan sebuah teluk, timbunan kapal. Tempat orang bertanya. Karena itu
aku ngobrol, berdebat, bertengkar dengannya hanya sampai jam 11.00. Sudah itu
sudah mulai mengalir tamunya dari berbagai tempat, baik dari penjuru
tanahair, maupun dari benua asing, seperti Amerika
Serikat, Australia, Jepang, Eropa dll. Bagaimana dia takkan penuh dan antri
para intel mengikutinya. Dia pernah mengatakan padaku, bahwa semua gerakan
yang ada di sini selalu ada intelnya. Tetapi "untungnya" di dalam intel
selalu ada intel lagi! Nah, pernah aku dongkol mengatakan RI itu bukanlah
Republik Indonesia, tetapi Republik Intel.

Ajoeb menyarankan pada Mas Pram agar kalau akan "kondangan" di rumahnya
jangan lupa "mengundang" yang kusebutkan tadi itu. Tapi katanya, kedua belah
pihak agar diundang, agar saling mengawasi. Kalau hanya dari satu
pihak, dikuatirkan bisa main. Tapi dua-duanya diundang, baik dari militer
maunpun polisinya.

Ketika kami mau memasuki ujung gang menuju rumah Mas Pram, rupanya Ajoeb
agak lupa dari mana harus masuknya. Mungkin juga pura-pura lupa. Lalu
menanyakan kepada seseorang yang sedang duduk ngobrol dekat warung-makanan.

"Maaf ya Pak, yang mana ya rumah Pak Pram itu".
"O yang itu dekat pojokan yang dekat lampu menyala itu", kata orang yang
ditanya.
"Mau kondangan ya Pak? Ada apa sih, ngawinin atau nyunat cucu"; katanya lagi
mau tahu banyak.
"Nah itulah saya juga hanya mau datang atas undangan saja, tapi belum tahu
hajat apanya".
"Akh Bapak, masaksih mau datang kondangan nggak tahu hajatnya?"
"Lha wong dalam surat undangannya nggak ditulis kok", kata Ajoeb.
"Oo gitu"katanya lagi agak kecewa.

Beberapa langkah jauhnya, kutanyakan pada Ajoeb siapa orang itu. Ajoeb
cerita, itulah intel dari bagian kepolisian. Yang di ujung sana bercokol
intel dari bagian militer. Semuanya "berjaga-jaga" atas rumah Pram yang
sedang "kondangan" itu. Dan bahkan sudah tentu ada alat-alat atau
hubungannya dengan siapa tahu yang hadir sendiri di rumah Mas Pram. Semakin
bingung aku memikirkannya.
Lha kok mereka tampak baik-baik, kataku pada Ajoeb. Nah, itulah kau harus
banyak belajar, belajar mengenal, belajar meneliti dan memeriksa, kata
Ajoeb. Tentu saja mereka itu harus baik-baik, ramah-ramah dan penuh senyum
dan sangat komunikatif. Kalau tidak, kalau merengut dan kasar, mahal
senyum, brangasan, lebih baik jangan jadi intel. Bagaimana mau mengorek
rahasia seseorang kalau penampilan saja sangat tidak menarik. Untuk orang
beginian ada jajaran pekerjaannya, misalnya hanya jadi tukanggebuk
saja, atau sekalian tukangjagalnya!

Dan tambah dapat pengertian aku dibuatnya. Di rumah Mas Pram sudah banyak
tamu, kaum intelektuil, aktivis, pakar-pakar asing dan CNN televisi dari
AS, dan pelajar serta teman-teman dan sahabat-sahabat yang sangat bersimpati
kepada kehidupan dan perjuangan Mas Pram. Dan para wartawan-tulis serta
wartawan-foto dan ceramah oleh Mas Pram tentang budaya-sastra. Ini dalam
rangka menyambut
50 Tahun RI, sekalian meluncurkan buku ARUS BALIK itu. Dengan event begitu
baik, sudah pasti tidak akan dibiarkan oleh para intel itu untuk berlalu
begitu saja tanpa ada laporan pekerjaannya sehari-hari untuk diteruskan ke
pusat jawatannya sebagai pekerjaan, sebagai matapencahariannya dengan
profesi ke-intel-annya.

19 Februari 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.