Bab 23 :
Pesta Musik dan Pak Pendeta------

Banyak sekali orang-orang muda yang ngamen di Paris. Terutama kalau sudah
mulai musimsemi menje-
lang musimpanas di mana hawa sudah mulai hangat. Rombongan atau grup-grup
kecil yang terdiri dari
dua-tiga orang dan grup agak besar yang terdiri dari lebih empat orang.
Mereka main musik di mana saja,
asal ada tempat dan tidak dilarang. Di dekat stasion metro, kereta,
pelataran bis mangkal, atau di depan universitas Sorbonne yang terkenal
itu. Mereka bermusik dengan asiknya, sedangkan penontonnya terkadang makin
lama makin ramai, dan ini tandanya pertunjukan itu laku, dan lagi artinya
akan banyak dapat sumbangan uang. Masarakat di Perancis tampaknya tidak
segan-segan mengeluarkan uang asal apa yang dilihat dan didengarnya itu
memuaskan mereka. Yang penting mereka puas, dan kalau puas mereka
tak segan menyumbangkan uangnya. Ternyata yang berlaku begini, termasuk
aku. Bagiku asal bisa memuaskan diriku, rasanya tak sangat berat buat
mengeluarkan uang. Dulu, suatu kali pernah anakku berdua temannya dari
Holland, turut ngamen, dengan sebuah gitar mereka menyanyi di beberapa
tempat. Tidak lama hanya tiga empat jam saja, tapi mereka bisa mengumpulkan
hampir 400 francs. Tetapi mereka juga tahu, mungkin dapat uang sedemikian
banyak hanya beberapa jam saja, tidak akan selamanya demikian. Mungkin
kebetulan saja hari itu agak beruntung. Karena itu mereka tidak perlu
mengulanginya lagi buat terus-terusan. Dan lagi biasanya para siswa dan
mahasiswa yang berlibur antar
Eropa ini, selalu siap-sedia buat ngamen di mana saja dan kapan saja. Sebab
dengan ngamen mereka sangat yakin akan mendapatkan uang buat beli tiket
kereta, bis, metro bahkan mungkin pesawatterbang, dan termasuk buat
mengongkosi hidupnya selama liburan itu. Dan banyak teman kami melakukan
pekerjaan begini, dan berhasil baik. Bisa liburan, ongkosnya murah, dan
bisa dapat uang dengan ngamen
secara demikian.

Di Paris, ada satu kebiasaan yang sudah begitu terus-menerus. Yaitu Pesta
Musik. Pesta Musik ini biasanya hari pertama mulainya musimpanas. Biasanya
tanggal 20 atau 21 Juni, terkadang disesuaikan dengan keesokan harinya,
agar jatuh pada hari libur, atau keesokan harinya dijadikan hari libur.
Sebab malam orang-orang pesta-musik, semalam suntuk, sampai pagi, tidak
mungkin bisa langsung kerja ke-
esokan harinya. Di mana-mana pesta-musik. Ada yang mendirikan
panggung-darurat, ada yang hanya pasang-meja-kursi sekedarnya saja.
Pertunjukan musik ini tidak bayar, yang nonton tidak bayar, yang menggelar
pertunjukanpun juga tidak bayar. Dan bukan seperti hari biasa ngamen,
mengharapkan sumbangan uang. Betulbetul pesta-musik, saling gembira.
Terkadang antara satu grup dan grup lain hanya berjarak beberapa meter
saja, sehingga bunyinya tidak teratur, seakan-akan kacau. Tetapi
masing-masing orang tidak perduli, asal tidak saling mengganggu secara
sengaja. Orang yang menonton tentu saja bebas mau nonton yang mana saja
yang disukainya. Bisa pindah-pindah dan betapa banyaknya rombongan dan grup
musik itu. Bisa sampai ratusan bahkan ribuan orang di seluruh Paris ini.
Orang-
orang Paris atau Parisien(ne) pada ke luar malam itu, dan berpesta-musik,
menari, berdansa, menyanyi
bersama-sama, dan tidak sedikit yang mabuk-mabuk. Malam itu benar-benar
dengan hangat menyambut musimpanas hari pertama pada tanggal 21 Juni.

Sore itulah aku ditilpun suatu suara yang aku sudah sangat kenal.
"Hallo, Pak Pendeta ini, kan? Malam pesta-musik, kita ketemu di Plaza
Sorbonne, biasa kita main malam ini. Kamu datang ya, aku pakai rambut
ekor-kuda kesenanganmu Pak Pendeta. Jangan tidak ya!"
"Akh kau Rim, mana Mouk, malam ini tentu dengan dia kan?"
"Yang ditanya malah Mouk, padahal aku yang nilpun. Ya, dia datang agak
terlambat, sekitar jam 21.00, sedang aku harus menunggu barang-barang
peralatan musik ini, sekarang ini. Kalau Pak Pendeta datang sekarang, tentu
aku akan sangat senang, kita bisa ngobrol sebentar", kata Sirima.
Sialan Sirima ini, suka sekali dia mengganggu dengan sebutan Pak Pendeta
kepadaku. Dia sengaja ngeledekku dengan anggapan aku ini seorang yang alim,
penakut, tidak berani, kepada dirinya. Terkadang dongkol juga jadinya, dan
mau menunjukkan "keberanian" itu kepadanya.
Dan bagaikan terbanglah aku segera menuju Plaza Sorbonne yang selalu
dipenuhi orang-orang muda dan para mahasiswa.

Tak sulit mencari Sirima, bagiku dia sangat menonjol, lain dari orang lain.
Begitu ketemu, kupeluk hangat
dan erat, sehingga dia keheranan ada apa ini. Tapi dia malah tertawa
renyah. Membekas bau rambutnya yang harum, dan benarlah tampak dia sangat
cantik dengan rambut ekor-kudanya, yang selalu kuminta bila kami akan
bertemu. Sambil menunggu agak malam dan menunggu Mouk, kami menuju cafe
sekitar
situ, agar kelihatan barang-barang peralatan musik ketika sedang minum
kopi.
"Kemana saja kau tak muncul-muncu sudah hampir seminggu ini, Pak Pendeta?",
katanya membuka percakapan. Lagi-lagi dia ucapkan kata-kata itu. Sengaja
dia membakarku, padahal aku sendiri sebenarnya sudah terbakar tanpa api.
Dan kudekatku kursiku, dan kuraih dia sambil kupeluk, tidak lagi dipipi
seperti biasa, tapi sudah lain kali ini, lain. Aku sendiri sudah lama
terbakar dengan api yang lain. Dan kami membiarkan diri kami tenggelam
sebelum Mouk datang, dan dia diam saja dengan keberandalanku yang mungkin
memang dia harapkan. Hari pertama musimpanas, Pesta musik, dan kami
berhari-pertama menanam benih emosi selama ini. Dan sejak itulah Sirima tak
pernah lagi memanggilku Pak Pendeta, yang menurut anggapannya aku ini orang
alim, penakut, tak berani menjawab apa yang dia rasakan. Padahal dia tidak
tahu, mungkin rasa itu akulah yang paling besar merasakannya. Aku selalu
mengunakan pikiran, nalar yang pertama sudah itu barulah perasaan, emosi
dan lainnya.

Aku selalu bertanya pada diriku, mengapa Sirima yang begitu cantik, begittu
menarik, dan punya teman Mouk yang baru berumur berkepala 3, sedangkan
Sirima baru 23 tahun, dan aku sudah berumur berkepala 5, masih juga tak
puas-puasnya dengan Mouk yang sudah satu rumah itu walaupun mereka
baru saja kumpul-kebo. Dan jauh sesudah itu barulah kuketahui, betapa
banyaknya orang-orang lain yang naksir Sirima, sedangkan aku menurut Sirima
samasekali tak termasuk orang yang dicurigai oleh Mouk. Dan orang-orang
lain itu antaranya teman-teman Mouk sendiri, dari Laos, Kamboja dan
termasuk ada orang bulenya. Aku sangat menyedari benar, tidak mungkin aku
akan menang bersaing dengan orang-orang muda ini. Mereka di samping
muda-muda masih punya harapan hari depan yang gemilang. Sedangkan aku
sebentar lagi harus pensiun! Lalu, nah, ini yang selalu menjadi pikiranku,
mengapa selalu saja, dan selalu saja, asal "nyangkut" "kusut-rasa-asmara"
selalu dengan orang yang sangat jauh kemungkinannya untuk bisa terus
langsung sukses. Selalu saja berkencan dengan anak-anak muda yang umurnya
sama atau di bawah umur anakku! Dan ini bukan hanya satu-dua kali, tetapi
sudah berkali-kali.
Dan lagi, coba tanya anakku sendiri, mereka berdua kakak-beradik selalu
menceritakan aku, ayahnya. Yang satu berkata : "saya tahu benar kok, bukan
dari pihak papa yang ngejar-ngejar, itu saya tahu", katanya kepada
kakaknya.

Kepada Sharon stewardess cantik dari MAS ketika kukenal di Beijing dulu,
kukatakan, sudahlah, kau harus segera menikah dengan orang lain. Carilah
yang masukakal dan yang punya haridepan. Dan memang selama kami di Beijing
hanya satu bulan itu, bagaikan anak-anak muda yang sedang mabuk
kasmaran, kami selalu berdua dan berlupa. Selalu kukatakan pada
teman-temanku apabila mereka tanya kapan aku ini jadinya dengan si Anu, si
Anu. Kukatakan aku sudah tutup-buku! Tetapi ketika mereka tahu bahwa aku
juga masih juga "main-main", lalu mereka "tagih", "lho bukunya belum rapat
ditutup, apa?!". Dan aku mesem-mesem saja. Kukatakan sudah, sudah
tutup-buku, tapi terkadang terbuka sendiri tanpa sadar. Dan ternyata
dulunya aku ini menganggap diriku paling pencemburu, ternyata ada lagi yang
melebihi diriku. Dua tahun sesudah kami "mengawali" hapusnya sebutan Pak
Pendeta, Sirima terbunuh
oleh Mouk teman sekamarnya sendiri, karena kecemburuan Mouk yang membuta.
Dan Sirima meninggal, dan Mouk harus membayar selama 7 tahun di penjara.
Ada maksudku, ingin mengajak Mouk menziarahi kuburan Sirima di Paris, yang
sama-sama kami sudah menanamkan rasa cinta dan sayangnya.
Sampai kini aku masih bisa melihat Mouk, tetapi tidak mungkin lagi melihat
Sirima. Padahal mungkin tidak setahu Mouk, segitiga kami, cukup awet, dan
kami termasuk orang-orang yang berdosa, kepada Sirima, aku kepada Sirima
dan aku kepada Mouk. Semoga saja buku itu benar-benar "sudah tutup" tanpa
ada selingan lagi, jangan sampai banyak mengadakan dan menciptakan
berbagai macam kontradiksi lagi, -

Paris 24 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.