Bab 19 :
Cinta - datang - pergi dan hilang

Ada segi-segi yang lain resto kami ini dengan resto lainnya. Terkadang
benar-benar mirip kantor-jawatan-sosial. Bagaimana tidak, kalau suatu kali
ada saja "pengaduan" yang sifatnya agar kami turut menyele-
saikan persoalan perseorangan. Seorang wanita yang umurnya sekira di bawah
30-an, datang kepada kami, menceritakan persoalan dan pengaduannya kepada
kami. Wanita ini katakan sajalah bernama Sumi.
Dia bersama keluarga majikannya, dari Arab datang ke Paris buat berlibur,
datang berempat, tuannya Sultan Zaki, isterinya dan anaknya yang berumur
dua tahun, dan Sumi sebagai pengasuh anak itu, baby-sitter, merangkap
pekerjaan segala. Maksudnya apa saja asal masih ada waktu kerja, mencuci
pakaian, seterika, membersihkan rumah, masak dan lainnya.

Mereka datang ke Paris menginap di sebuah hotel berbintang-empat. Suatu
hari Sumi ini sakit, dan sakitnya agak keras, muntah-berak dan badannya
panas. Tidak hanya satu hari, hari kedua Sumi tak dapat lagi mengikuti
acara tuan dan nyonyanya, dan sakitnya kian keras. Akhirnya oleh pihak
hotel dipanggilkan dokter-darurat-urgence. Dan pada akhirnya Sumi harus
masuk rumahsakit, diopname. Tentu saja Tuan Zaki dan nyonya tidak bersenang
hati. Tetapi apa boleh buat, mau apa. Tidak mungkin menunggui Sumi
diopname. Entah kapan akan sembuh dan bisa pulangnya. Tuan Zaki beserta
keluarganya bertekad pulang duluan ke Ryadh. Dan Sumi ditinggalkan di
rumahsakit. Kepada Sumi tidak ditinggalkan pesan apa-apa, dan lagi Sumi
ketika itu belum siuman benar, karena sakitnya masih belum sembuh dan belum
sedar betul. Tetapi memang semua barang Sumi ditinggalkan di hospital itu,
termasuk paspor dan uang dollar buat jaminan ala kadarnya, hanya beberapa
ratus dollar saja, yang tidak mungkin hidup sebulan di Paris, belum lagi
buat beli tiket pesawat baik ke Arab, apalagi ke Jakarta.

"Jadi kamu sudah lapor belum ke Ambassade Paris" kata kami.
"Sudah pak, dan juga sudah ada yang mau bantu. Tetapi bukan hanya itu, yang
saya mau, lalu bagaimana nasib saya ini jadinya. Saya mau pulang ke mana?!
Mau ke Ryadh mana ada uang buat beli tiket lagi, mau pulang ke kampung saya
di Klaten, lebih-lebih lagi tak punya uang. Saya maunya kerja di Paris ini
dulu, kumpulkan uang lalu beli tiket pesawat lalu pulang", katanya.
Mendengarkan ceritanya kami geleng-geleng kepala. Sampai hati benar
keluarga Tuan atau Sultan Zaki itu! Nah, ini persoalan kami, bagaimana kami
bersikap buat menolongnya. Yang kami agak senang dan agak lega, Sumi sudah
melapor ke Ambassade. Bukankah pekerjaan beginian seharusnya memang
Ambassade yang menanganinya?! Namun menurut Sumi ada orang-orang di sana
yang sedia membantunya, tetapi tentu saja tidak seperti yang diharapkan.
Kami segera menghubungi keluarga Perancis yang kami kenal dan lalu keluarga
ini menghubungi lagi sebuah organisasi sosial yang pekerjaannya menangani
nasib para wanita dan anak-anak yang terpinggirkan oleh orang-orang tuanya
atau suaminya atau keluarganya. Di Perancis
selalu ada badan-organisasi yang menangani pekerjaan akibat kekerasan yang
dilakukan oleh para suami, orangtua, dan keluarganya sendiri, dan kukira
tidak hanya Perancis, tetapi di Eropa ini.

Pendek cerita kira-kira dua bulan sesudah kejadian itu, Sumi dengan
keluarga Perancis yang mengurusnya datang makan di resto kami. Dan betapa
Sumi sudah mau senyum dan tertawa dengan "tuan atau majikan barunya" yang
sebenarnya samasekali bukan tuan dan majikan, tetapi keluarga yang
betul-betul berhati emas. Tuan Gerard sekeluarga, isteri dan dua anaknya
yang masih balita, turut bergembira karena bagaimanapun Sumi akan mereka
pekerjakan sementara di rumahnya sendiri, dan menurut Tuan Gerard kepada
kami, Sumi akan mendapatkan uang buat beli tiket. Dan mereka sudah
berunding, termasuk dengan pihak Ambassade Paris dan Ryadh, akan
mempersoalkan dan menuntut Tuan atau Sultan Zaki itu. Karena katanya ada
gaji Sumi yang belum dibayar, sedangkan Sumi sudah lebih lima tahun bekerja
di Tuan Zaki. Dan lagi menuntut Tuan Zaki, mengapa dan betapa seenaknya
meninggalkan Sumi seorang diri di Paris yang sedang sakit keras. Malam itu
kami dengar tertawa renyah Sumi dan sekeluarga Tuan Gerard. Mereka terutama
Sumi menyatakan rasa terimakasihnya kepada kami, dan kami lebih-lebih
menyatakan rasa terimakasih kami kepada sekeluarga Tuan Gerard yang telah
menolong Sumi.

Tidak sedikit pasangan keluarga campuran, isteri orang Indonesia, suami
orang Perancis. Atau suami orang Indonesia, isterinya orang Perancis. Ada
orang Indonesia namanya Abud, dari Jakarta. Dia ini adalah suami dari
wanita Perancis yang benar-benar menikah secara adat di Indonesia. Karena
Sylvie sudah sangat jatuh-cinta berat dan mendalam. Sehingga baru kenal
beberapa bulan saja sudah siap-sedia mau menikah menjadi suami isteri. Abud
dan orangtua Abud mengizinkan saja asal mau menikah secara Islam. Yang
namanya orang jatuh-cinta berat mana ada pertimbangan lain dan nalar
jernih! Okey sajalah. Ibarat barang dan mau memiliki permata yang indah dan
mahal, seharusnya calon pembeli meneliti secara seksama dan berhati-hati,
membalik-balik muka-belakang kiri-kanan, atas-bawah! Tetapi ini tidak. Sang
Isteri adalah dosen di sebuah universitas, sedangkan Abud tamat SMP-saja
masih diragukan! Dulu mereka ketemu di sebuah pesta di Tanahabang, lalu
berdansa, lalu bicara, lalu saling merasa, lalu cinta, dan lalu ya sekarang
ini! Sang isteri dengan pendapatan yang jauh lebih besar dari kami pegawai
resto digabung empat orang sekaligus, dengan pendapatan Abud yang hanya
"ngamen" dengan gitarnya mengelilingi kota Paris. Ya, bisa dibayangkan,
cinta-mesra bagaimanapun tentulah akan ada akhirnya kalau posisi atau
fungsi sangat tak seimbang, sangat pincang. Maka akhirulkalam, sang isteri
Madame Abud atau Sylvie pada suatu hari meninggalkan Abud, dan kini bersama
seorang pria bule juga yang posisi dan fungsinya sudah seimbang dan tanpa
pincang! Dan mulailah Abud gentayangan pontang-panting cari kerja. "Ngamen"
saja mana cukup, mana tetap! Dan lagi yang menambah soal, Abud belum
menguasai Bahasa Perancis. Bagaiman mau cari kerja di Paris, kalau bahasa
Perancisnya saja masih bermodalkan satu sen dua sen. Pernah melamar
pekerjaan di resto kami, dan kami usahakan bisa kerja. Tetapi dasarnya
memang sangat kurang, maka terlalu banyak pendapat teman-teman kami,
bagaimanalah agar Abud cari kerja lain sajalah agar jangan merusak yang
sudah ada ini. Kami tetap bersabar memberi kesempatan kepada Abud agar bisa
mengubah diri.

Pada suatu kali ada lagi pemuda dari Bali yang datang kepada kami, buat
cari kerja kalau sekiranya ada lowongan. Katanya sih dia sudah ada
pengalaman bekerja di resto di Bali. Dan dia ini punya isteri orang
Perancis yang jadi guru setingkat SMA. Mereka menikah di Denpasar. Sesudah
jatuh-cinta berat lalu segera kawin, berumahtangga. Kini sudah punya dua
anak. Si Putu ini mengaku kepada kami sudah punya pengalaman kerja baik di
Bali maupun di Perancis ini, di Lion katanya. Kami sih berusaha percaya.
Tetapi dalam pekerjaan sehari-hari cukup banyak hal-hal yang agak
mengecewakan kami. Dari segi bahasanya saja, sangat sulit lancar. Sulit
kami mengerti tentang Putu ini. Isterinya orang Perancis, tentulah
seharusnya setiap hari latihan bahasa, punya kamus-hidup di rumahnya
sendiri. Seharusnya kamilah yang harus banyak praktek kepada Putu yang
beristerikan orang Perancis ini. Lagipula katanya sudah tinggal selama 7
tahun di Perancis ini. Maka suatu kali kami tanyakan akan halnya keheranan
kami ini.
"Putu, kenapa sih kamu bahasa Perancisnya agak belepotan padahal isterimu
orang Perancis. Apa kamu
hanya bahasa Indonesia saja di rumah dengan isterimu?!"
"Akh, malah nggak Pak. Bahasa Indonesiapun tidak---"
"Lalu kenapa tidak lancar bahasa Perancisnya?"
"Kami di rumah malah bahasa Bali, Pak".
"Hah, bahasa Bali malah!", kata kami keheranan dan bercampur kejengkelan.
Semua kami pada geleng kepala. Tujuh tahun di Perancis, tidak mengerti
bahasa Perancis, malah berbahasa Bali di Paris, dengan isteri orang
Perancis! Isterinya mendapatkan pengetahuan banyak dari negeri kita, sampai
bahasa dan budaya Balipun dia lebih tahu dari kami orang-orang resto!
Tetapi jauh, jauh sekali dalam hati kami, bertanya-tanya, akan tahan berapa
lama lagikah pasangan ini bisa mempertahankan kehidupan secara begini?
Banyak pasangan yang tadinya begitu lengket-lekat, rapat-padat, hanya
beberapa bulan saja bu-bar dengan sendirinya. Pasal jatuh-cinta, cewek
Perancis atau cowok Perancis, bukan main bisa mengalahkan bangsa lain, -
inilah pendapat kami yang mungkin kasar dan semoga tidak benar! Tetapi
cukup banyak pasangan yang tadinya kami lihat datang ke resto berdua-mesra,
beberapa tahun kemudian atau bahkan beberapa bulan kemudian, bubar dan lalu
dengan pasangan baru lagi.

Maka tertawalah aku ketika membaca berita dari tanahair, ada pasangan yang
nyeleweng dari pasangan-hidupnya, zinah, istilahnya. Lalu pasangan itu
mendapat hukuman diarak-digendang-tabuhkan-dimusikkan sepanjang jalan dan
gang masuk rumahnya itu. Maka ramailah gang dan jalan itu. Hal ini yang aku
tertawa, sebab ingat di Paris dan Perancis. Kalau hukumannya itu sama
dengan yang terjadi di Indonesia, maka setiap gang dan jalan di Paris ini,
harus ada berapa rombongan musiknya! Dan betapa akan ramainya setiap gang
dan jalanan, - meriahlah jadinya.

Karena itu, di Paris dan Perancis sangat jarang dan sangat terasa aneh
kalau ada yang merayakan hari ulangtahun perkawinan-emas, selama 50 tahun.
Untuk perkawinan-perakpun tak pernah dengar. Sudah tentu bukannya tidak
ada, tetapi sangat langka. Dan itupun kalau ada, tentulah dari kaum
tradisional, kaum kuno orang-orang dulu. Di resto kami selalu ada yang
bertanya dan mempercakapkan antara temannya sendiri, -
"Tampaknya Anda awet juga ya dengan pasangan yang ini"?
"Yah, masih bisa bertahanlah".
"Sudah berapa lama?"
"Sudah hampir 6 tahun".
"Wah, hebat juga. Tak ada niat ganti pasangan?", kata temannya dengan nada
gurau.
"Lihat-lihat saja, bagaimana keadaan kongkrit nantinya sajalah", katanya.
"Bagimana Anda sendiri?"
"Selama 6 tahun ini, yah sudah tiga kali ganti pasangan. Tapi itu kan bukan
kemauan saya sendiri, tergantung dua belah pihaklah. Saya bisa bertahan,
tapi dia tidak bisa, dia bisa bertahan tetapi saya tidak bisa, coba
bagaimana mau lama!", katanya enteng saja.

Bagaimanapun kami tetap berharap agar pasangan yang tadinya begitu mesra
dan saling jatuh-mendalam
agar bisa lama bertahan, bahkan bukan main baiknya kalau bisa langgeng
seumur hidup. Tentu saja seperti kata pelanggan kami itu tadi, semua itu
tergantung kepada kedua-belah pihak. Makanya sebelum memilih, memutuskan,
lihatlah, telitilah, pertimbangkanlah baik-baik agar bisa lama dan awet.-

Paris 20 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.