Bab 5 :
Evaluasi - Bedahdiri

Ketika kami masih dalam "satu kandang, satu kampung, satu asrama" dulu itu, di
mana campurbaur yang muda dengan yang berkeluarga, yang tua, yang
penyakitan, yang hampir-hampir kena syaraf, sungguh banyak
soal-soal kecil yang kalau tak diurus secara baik akan menimbulkan soal
besar. Entah bagaimana dan mengapa persisnya ketika itu teman-teman muda
tak boleh pacaran dengan orang setempat, rakyat Tiongkok. Mereka dianjurkan
untuk menunda pernikahan, menunda berkeluarga, agar jangan cari isteri dulu.
Tentu saja pendapat begini ditentang banyak teman. Kita tidak tahu kapan
kita bisa pulang, kita tidak tahu kapan kita bisa berkeluarga, beristeri. Dan
tahu-tahu kini ada larangan, katakanlah ada anjuran agar jangan berkeluarga
dulu, jangan pacaran dulu, terlebih-lebih dengan penduduk setempat, orang
Tiongkok. Barangtentu banyak sekali tentangan, penolakan dan "pemberontakan"
dalam bentuk kecil dan perlawanan keras.

Ketika itu aku sama pendapatnya dengan pendapat yang banyak itu, yalah
cobalah dicarikan jalan bagaimana memecahkan soal ini. Teman-teman muda itu
bukankah umurnya semakin menua saja, tentu tidak akan bisa menunggu yang
waktunya tak berbatas. Lagi pula disamping masaremajanya akan "hilang
percuma" secara biologist, tetapi bukankah secara psychologis-pun tidak
tepat seakan mengekang naluri
alamiah mereka. Karena aku ini bukan kader, bukan pimpinan, maka satu-satunya
jalan ya hanya ngomel, dan menggerundel. Waktu itu akan
berpendapat, bagaimanapun secara hukum-alam, seseorang yang tidak punya dan
belum punya, suatu waktu perspektifnya akan punya. Dan seseorang yang ada
dan punya, suatu waktu perpekstifnya akan hilang. Betul saja, tak sampai
bertahun-tahun, kena pada diriku. Pada tahun 1980 aku kehilangan
isteri, meninggal di Beijing. Dan betul saja, beberapa teman muda yang dulu
itu belum pada kawin, belum berpacaran, beberapa tahun kemudian punya isteri
punya anak. Betapa bahagianya, sudah begitu lama, begitu banyak kehilangan
masa-muda dan umur yang siasia. Inilah hukum alam, berjalan menurut
alamiah, mengalir bagaikan air. Dan aku sendiri menerima keadaan diri
begini, siapapun suatu waktu akan mengalaminya.

Setelah berjalan bertahun-tahun, di mana kami dulu yang "satu kandang, satu
kampung, satu asrama" pada bertebar-biar ke seluruh Eropa Daratan. Sejarah
kami terus berjalan menurut keadaan masing-masing diri dan perorangan. Oleh
nasib orang demi orang, kami adakalanya bisa bertemu, tapi juga terkadang
hanya untuk sementara. Dan tragisnya suatu tempat yang paling banyak orang
Indonesianya, di Holland, sering sekali kalau bertemu di
tempat............kematian. Karenanya ada teman yang mengejek secara sinis
bahkan sarkastis, katanya PKI itu adalah Perkumpulan Kematian Indonesia.
Karena selalu saja bila bertemu secara lengkap dari mana-mana datang
melayat, ziarah, ketika adanya kematian mengantar ke tempat peristirahatan
terakhir. Jadi memang ada alasan mengapa mereka sebutkan kata-kata
itu, sebab
ada rasa dongkol, marah, sedih, tetapi kepada siapa? Semua juga merasakan
kehilangan. Bukan dua-tiga kali kejadian begitu itu, bahkan mungkin sudah
belasan kali. Umur semakin tua, tenaga semakin hilang, kesehatan semakin
merosot, ya tentu saja kemana sih akan berakhirnya?

Tidak dapat kuperkirakan mengapa tahu-tahu kami menancapkan kaki dan
meletakkan pantat di Paris ini, dan tahu-tahu saja hampir duapuluh tahun!
Oleh sejarah lama kami dipersatukan lagi dengan bentuk dan wajah yang
berlainan dari dulu. Oleh masing-masing perjalanan hidup, kami dipersatukan
oleh tarikan nafas yang sama, helaan dan hembusan nafas yang seragam. Ada
kalanya kami "berkumpul sesama bu-jang lapok" atau bujang-tua. Secara
menggelikan di antara kami ada beberapa kategori "pembujangan" dan mengapa
sejarahnya "membujang-lapok" itu. Kategori pertama, menjadi duda-tua karena
ditinggalkan isteri meninggal. Kategori kedua, menjadi duda, karena
ditinggalkan isteri, cerai. Kategori ketiga, menduda karena meninggalkan
isteri, menceraikan. Dan nah ini, yang aslinya, kategori keempat memang
"bujang-tingting" asli, belum pernah berkeluarga, nah sebenarnya inilah
bujang-lapok asli.
Dan aku termasuk kategori pertama, menduda selama belasan tahun. Ada yang
dari kategori pertama seperti diriku dulu itu, tapi kini sudah "mengkhianat"
karena sudah menikah tahun ini juga walaupun umurnya sudah
berkepala--------------tak boleh disebutkan!

Kalau kupikir-pikir sangat lain antara aku dengan banyak teman itu? Tetapi
masing-masing orang sudah tentu ada kekurangannya dan ada kelebihannya.
Kata peribahasa, satu-pecah-dua, bagaikan permukaan
mata-uang, yang istilah mendunianya, bagaikan yang-ying.
Coba lihat itu Mas Silo, orangnya berperuntungan. Sangat sering kalau aku
berjalan dengan Mas Silo, tahu-tahu saja Mas Silo dapat uang, tergeletak di
jalan, dan ada saja yang dilihatnya. Lalu aku meniru dia, juga ketika aku
berjalan sendirian, menunduk jalan siapa tahu akan dapat uang juga. Sampai
sakit leher dan sakit mata, tak pernah dapat uang. Kalau kami beli loto, Mas
Silo sering dapat, dan aku tak pernah dapat. Nah, akan perihalnya Mas Aji, dia
ini perejeki cewek! Bila dia mau, mengedipkan mata saja itu cewek akan
berdatangan di bawah ketiaknya! Bisa-bisa bergandulan!

Nah, lain lagi Mas Bud(alm). Dia ini betul-betul karismatik. Tak ada orang
yang benci, tak ada orang yang tak suka padanya. Semua orang pada senang
kepadanya. Dia murah rezeki. Barang-barang, uang, buku dan majalah pada
berdatangan kepadanya. Banyak teman mengiriminya. Rumahnya penuh dengan
buku, majalah, harian, benda-benda antik-romantik lainnya. Dia orangnya
ringantangan buat membantu orang lain dan sangat baik hati. Aku pernah
berpendapat, kalau Mas Bud ini dilahirkan 2000 tahun yang lalu, niscaya dia
bisa menjadi nabi! Dia pasang dia punya muka dan wajah, lalu cewek bule akan
datang menciumnya. Kalau aku lain lagi, aku datang dan merebutnya, dengan
sedikit kekerasan. Kalau tak begitu mana orang mau, aku tokh bukan arjuna
dan bukan Valentino, jelek tak bertampang pula!

Ada keluargaku, selalu hidup dalam kekurangan katanya. Tetapi kalau
kuhitung-hitung televisinya saja ada dua atau tiga. Makannya dan hidupnya
berkecukupan. Rumahtangganya baik, perabot lengkap dan bagus.Katanya semua
itu diberi dan dihadiahi teman. Banyak teman menyumbangkan kepadanya ketika
dia pindah dulu.Pokoknya semua barang dan benda di rumahnya samasekali
bukan sandingan dengan kepunyaanku. Mana ada orang yang memberi dan
menghadiahi diriku, takkan dan dan pernah. Nah, inilah yang kukatakan nasib
perorangan itu. Jalannya lain-lain, peruntungannya berbeda-beda. Jadi di
manakah letaknya diriku dibandingkan dengan banyak teman itu tadi? Lama
kuperiksa-diri, lama kubedahdiriku.

Ternyata aku selalu dan akan selalu harus kerja-ketras. Kerja-keras dulu
maka barulah mendapatkan. Takkan ada yang namanya orang akan kasi hadiah
atau apalah yang sifatnya gratis. Semua aku harus bayar, semua harus
kukerjakan sendiri. Semakin banyak mengarang semakin banyak aku harus
keluar uang! Dan sudah puluhan tahun aku tak pernah dan tak tahu apa itu
yang namanya royalti atau honorarium?! Siapa yang mau memuat tulisanku
karena tersangkut nama yang belakangnya itu?! Kuberikanpun bukuku kepada
KOMPAS misalnya, mereka bilang tak pernah terima! Padahal aku tahu mereka
takut mengatakan yang sesungguhnya. Namun demikian, lama juga aku berpikir
dan merenung, apakah aku menyesali nasib begini? Kukatakan pelan-pelan dan
jujur kepada diriku sendiri. Tidak, samasekali tidak menyesali diri. Ini
adalah sudah bagianku, dan itulah diriku, bekerja-keras sekali lagi
kerja-keraslah! Kau tak mungkin mendapatkan apapun tanpa kerja-keras.
Inilah diriku. Orang lain
mungkin juga begitu, tetapi kulihat, kubandingkan, terkadang adakalanya tidak
sangat memerlukan kerja-keras dan tokh dia akan mendapatkan, akan punya dan
memiliki. Lain dengan diriku, tanpa kerja-keras, apapun takkan
kumiliki, takkan kudapati. Bedahdiri ini perlu kucamkan pada diriku setelah
aku membanding-sandingkan dengan banyak teman-temanku lainnya.

Namun demikian nasib secara kebersamaan kami masih tetap sama. Sama-sama
tidak bisa pulang, tidak boleh pulang. Datang boleh-boleh saja bagaikan
orang-asing dan turis, pulang tunggu dulu!

Paris 6 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.