I
Tragedi
terbesar dalam kehidupan
bukanlah kematian,
semuanya
akan berlalu,
seperti debu, cahaya lilin padam,
kilat
sesaat, kubus-kubus
cemas: mengigil dalam
demam,
retakan ruang:
dalam jantung segala kegelapan.
Kini,
aku mulai melihat benda,
di depanku, atau bahkan
di
belakangku: kekerasan,
kekasaran, ketajaman,
segalanya
sama seperti hidup:
terasa tanpa dirasakan. Kau,
mungkin
akan kesepian, seperti
daun-daun jambu dan
bayang-bayangnya,
membuka:
dasar! Hakekat dari segala
dasar,
segala yang mendasar
dalam pendasarannya:
barisan
kata-kata, pena
yang berdarah, sebatang
korek
api, rekaman dari
pita kaset: kosong, penggaris
untuk
mengukur gelap,
asbak penuh puntung rokok,
matahari
dalam kalkulator,
untaian tasbih kesepian:
religiusitas
benda-benda kotor!
Begitulah, kita selalu
terjebak
dalam hal-hal besar
yang sesungguhnya remeh,
kita
mungkin lupa:
ada yang tak bisa dibaca.
II
Tragedi
terbesar dalam kehidupan
bukanlah kegagalan, tetapi
ketakutan
yang tak terkendali
pada kegagalan. Lantas
kita
terjerat dalam parade kata:
mengapa, siapa, di mana, ke mana;
tenggelam
dalam barisan koma,
dan kehilangan satu makna,
satu
makna yang akan
menyatukan tanda-tanda,
burung
murai bahasa:
berkicau di luar gramatika.
Struktur
gelap, lebih
gelap dari yang paling gelap,
rahim
kemualan
sekaligus pencerahan, makna
yang
bukan kata: hanya rahasia!
Tapi, aku dilahirkan dalam
bahasa,
bahkan aku
mencecap perih getah maut
lewat
lidah bahasa,
kumparan magnit ragu,
jarum-jarum
senyap
menunjuk waktu: semacam jam,
yang
bukan jam,
tapi: jam-dalam-jam!
Aku
ke luar dari bahasa:
dan memasuki bahasa
dalam
kematian kata.
Lahir dan lahir lagi,
lingkaran
kamasutra,
fana yang bukan fana,
senyap
terkatup, pintu meledak
dalam pecahan-pecahan waktu
yang
menggores jantung
kita: inilah realita
Aku
mulai merasakannya!
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.