60
detik, 60 menit, 60 jam: berputar
dalam aku. Siang dan malam, tak henti
memuntahkan
spermanya ke rahim
kekosongan. Bocah waktu -- tanpa kelamin,
tanpa
ras, tanpa kepercayaan -- berteriak
seperti Mowgly: "Aku putra rimba!"
Rimba
hitam, akar kegelapan,
daun kesuraman, badai magnit kemayaan:
kau,
aku, kita adalah kata ganti yang tak
menggantikan realitas, makna di dalam
dan
di luar realitas: tak terjangkau!
Hmmmmmm! Aku meraba kicauan pipit,
aku
mendengar bentuk kesunyian,
aku melihat suara-suara hujan,
di
sini: dalam kekinian dari berjuta
saat, aku menyaksikan kelahiran fenomena.
Zen-Satu-Jari-Dari-Juzhi:
jari
yang melahirkan berjuta tanda, kilasan saat
yang
paling Saat! Aku tak melihat
kebajikan, yang terpandang oleh rasaku,
hanya:
kebencian, darah, darah-kebencian,
kebencian darah; siklus hidup dan mati,
kenyerian
yang tak terpahami, Kesejatian.
Tapi, memang, kenyataan tak seluruhnya
bisa
dipahami, seperti sepasang mata kucing:
bersinar kehijauan, kehijauan dari
semacam
ruang: ruang yang tak terbatas.
Kata-kata meluncur tidak dari lidahku,
tidak
dari pikir atau hatiku, kata-kata
terlahir dari rahim waktu (yang menjelma)
di
ujung tajam mata pena. Mungkin
aku tak mampu menangkap rahasia
sepatah
kata, seperti aku gagal menangkap
sekilas gema dari raungan waktu; tapi
dalam
kegagalanku: aku mendapat
kelepasan, ringan seperti udara,
melayang
dan menyentuh bentuk benda-benda.
Akulah waktu: hud-hud Sulaiman,
funiks
keheningan, Hmmmmmm!, kebeningan dari
setetes embun menyatukan beribu abad.
Gerak
kekinian menembus tirai kelampauan,
gerak kelampauan meranum indah
pada
bibir merah masa depan, apakah
kau ingin mengecupnya? Romantisme kebalauan,
sepektrum
setetes airmata, doa-doa berang,
ruang yang meruangkan Ruang! Kita
tak
mampu menyentuh kesatuan,
kita cuma terjerat sebatas deduksi;
konstanta
keheningan: lihatlah, berjuta
detik meresapi Om, berjuta Om menggelinding
dalam
dadu kemungkinan, relativitas kemualan,
aritmatika kedamaian, lihatlah, berjuta diri
meledak
dalam sigma keabadian.
Aku terjebak dalam konsepsi? Tidak!
Aku
cuma berputar sebatas substansi.
Yiiipppeee! Aku terdampar di pulau Sinbad,
tersuruk
antara bungkahan permata,
tapi aku tak tahu bagaimana memilihnya,
inilah
arus jaman dari jamanku.
Madonna, simbol nilai guna itu, menari
ekstase
dalam tarian Rumi: "Emas, emas,
ada emas di lipatan pahaku!" Abad 21,
abad
tanpa pilihan, orakel pemusnahan,
religiusitas benda mati, stabilitas konsumsi,
Ya
Hu, Ya Hu, Ya Hu, (apa lagi makna-Mu?).
Jalan-Mulia-Beruas-Delapan: terpantul
pada
cermin papan iklan, sunyata!,
kesunyataan dalam kemayaan. Informasi
adalah
kebebasan, kebebasan adalah
kutukan yang ditimpakan pada kedua
sayap
Icarus. Jaman bukanlah waktu,
waktu adalah penafian yang tiada hentinya,
ujung
dari labirin Ariadne. Hmmmmmm!
Aku membayangkan janggut hitam Bodhidharma
terjuntai
pada ketiak pelacur tua,
ya!, inilah dualisme yang mencekik kita:
secebis
kenangan dalam pembelahan
yang tiada habisnya. Kami terjebak,
terlempar,
dan terdampar: eksistensi
yang paling nonsens, absurditas
dari
kepala yang pecah: berhamburan,
hari-hari berhamburan, hari-hari
tanpa
penantian. Aku, kau, kita
adalah ke-dia-an dari aku-mu: ya, itulah
Godot
yang telah lama kautunggu.
Tapi, di sini, antara kelenaan santai
nyiur
melambai, antara hembusan hangat
angin tropika, aku menemukan kembali
ambisi
Gajah Mada: bersumpah
hendak menyatukan nusantara, kepahlawanan
yang
membusuk di balik topeng kerakusan,
pretensi benda-benda yang melekat
di
kening para tiran sepanjang jaman.
Kalian tahu, wahai mata-mata tajam
dari
cermin waktu, kalian lihatlah,
di sini, di kepulauanku yang berabad-abad
terjajah:
di sini, kami tak punya
pilihan, kami telah mayat sebelum mati.
Krishnamurti,
akankah terbebas hakekat diri?,
ketakpastian yang murni, keagungan
tanpa
pegangan, mengalir di luar sistem
busuk pembendaan, jiwa-jiwa hidup
yang
membadani sunyi, aku ingin
tak ada lagi yang kuingin, selain:
Keinginan!
Shidharta, aku mendengar
suara, suara yang paling suara, suara
yang
tak bersuara: sungai deras dalam
kesunyian batinku, pecahan detik, retakan
menit,
abu jam dihembus topan, bulan terbelah
dan meledak pada kedua bola mataku:
kehadiran
tanpa penghadiran, kebebasan
tanpa pembebasan, kebenaran tanpa pembenaran,
nilai
segala nilai, Kesejatian.
Kupejam mataku, kubuka sukmaku: Waktu-Kini-Aku!
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.