Semangat liar, pengembara pelosok dunia,
Pembinasa dan pembangun: wahai dengarlah!
(Kepada Angin Barat, I -- Percy Byssche Shelley)
keheningan
sekarat, kebekuan menjerat, langit
mendekap pantai kekalahan, laut rendah diri,
telaga
busuk kedamaian, padang gelap perbudakan,
rimba liar mekanisme tirani, mawar-mawar mistik
terbakar
dalam kebanggaan narsistik, akal
tercekik, kemiskinan tersenyum, tangan-tangan maut
terayun
dan menyatu dalam pendulum kemuakan,
kami adalah tikus-tikus parit yang bangga
mengunyah
sampah peradaban, nirwana!, kami ingin
melupakan dunia, ("The Will To Power!"), lalu
berjuta
kuli tercipta: mereka bergerak bagai ternak,
bergegas dikejar terget produksi, bergegas
mengejar
paket konsumsi, mereka tak mampu
menggeram, hanya harapan membusuk diam-diam, mereka
tak
bisa menangis, mereka digiring untuk tersenyum,
ya!, mereka menggigit bibirnya untuk selalu tersenyum,
allah!,
di mana takdir kami?, di mana
surga kami?, di mana bumi kami?, tao!,
apakah
kami harus tetap pasrah menerima
ketakutan ini?, apakah kami harus
selalu
hidup dalam lingkaran benci?,
apakah kami telah mati?, ("Ora Et Labora!"),
lalu
kami meniru memacu otot-otot tubuh kami,
tapi jiwa kami makin kering terhimpit delusi,
kemualan
mengental, nilai-nilai terpental, segalanya
jadi terasa semakin gagal, ("Du Contrat Social!"),
begitulah,
lantas situasi mengubah peran kami:
jadi pion-pion kebebasan dan demokrasi, sementara
hati:
kian membusuk dalam fragmentasi materi,
bodhidharma!, lihatlah kami, lihatlah generasi
yang
makin bangga pada dualitas jamannya, lihatlah
jaman yang makin kehilangan manusia, lihatlah
manusia
yang makin membenci dirinya, ("Virtuvius!"),
lalu kami diformat dalam logika malthus, mengejang
dalam
ekstase kalkulus, daging-daging-daging,
asing-asing-asing, matahari meleleh, bulan
meleleh,
kebebasan sesaat, kenikmatan sesaat,
abad nilai guna, milenium ha-ha-ha, tuhan
berdentum
di awal waktu?, tulang-belulang keabadian,
keabadian di mulut anjing, anjing-anjing memenuhi
bumi,
bumi menggelepar di ujung sekaratnya,
heya!, banjir benda-benda, maju-maju-maju, bahasa
tinggal
bentuk, angka-angka terkutuk, manusia
mencincang manusia, yang mencari harus dicari,
yang
dicari memfosil di balik mimpi, wanita-wanita
mencuci kelaminnya, ("Frankenstein!"), kejantanan
mengejang
dalam tarian benci: ambisi-ambisi-ambisi,
aku mau cipta ambisi, siapa mau beli ambisi?,
aku
ini tak ada, kau pun tak ada, hopla!,
tak ada lagi manusia?, mampus!, astaga!, yesus
disalib
pada sistem kartesius?, aku ingin makan,
jangan!, kau harus dimakan, aaaaaaaaaaaaa!,
sri
rama, mana panahmu?, ayo panahlah kami,
bukankah kami kijang-kijangmu yang tolol
dan
kelaparan?, kami ingin mati, tapi: ah!,
bahkan kematian kini tak lagi punya arti,
tapi
jaman ini ingin terus hidup, jaman ini hidup,
kami harus mati agar jaman ini dapat terus hidup?,
tapi
ternyata kami tak mati-mati, ("La Nausée!"),
paganisme turistik, animisme plastik, yaaaooo!,
wahai
arwah leluhur di tanah terjanji, mustikah
kami perabukan setiap simbol dan ritus suci, lantas
membiarkan
tradisi direkam teknik fotografi?,
muhammad, yahya, musa, ibrahim bapak kami perkasa,
mana
jalan kalian?, astaga!, ternyata jalan kalian
kini makin penuh berhala, budha!, lihatlah kami,
kapan
kami musti mengakhiri roda penderitaan ini?,
magnit ketakterhinggaan, matematika kekacauan,
konstanta
airmata, kuantum gravitasi, mesin
evolusi, manunggaling-kawulo-gusti, ssst!,
ruang
negatif, waktu negatif, ah, kami ingin
melihat tuhan terkapar di antara gedung-gedung
tinggi,
kami ingin mengunyah jantung tuhan, kami
ingin menguyah hati tuhan, kami ingin
mengunyah
zat tuhan (kami kelaparan!), tuhan
jawablah, dewa-dewa jawablah, om!,
semua
ini cuma keterasingan yang nyaris sempurna?,
kami ingin mati, hi-hi-hi, proton kekosongan,
nukleon
kebiadaban, alangkah sunyi?, peradaban
retak-retak, otak-otak meledak: banjir
angka-angka,
banjir kata-kata, banjir airmata,
hosanah!, apakah nabi-nabi selalu menangis?,
apakah
dewa-dewa tak pernah menangis?,
kami bosan, aku bosan, kau bosan?,
("The
Invisible Hand!"), nonsens!, ekspor
meditasi, impor teknologi, ada tiket untuk
ke
neraka?, ("Last Few Minutes!"), berapa
luas alam semesta?, ("Unlimited!"), di mana batas
jagad
raya?, ("Abrakadabra!"), pura, candi, pagoda,
sinagoge, masjid, gereja, tak ada
transaksi
untuk ke surga?, ooooooooooooo!,
(metamorfosis!), wahai dengarlah, kini -- kami! --
sepenuhnya
telah menjelma angin selatan,
angin yang berbau bangkai dan kekalahan, ya!,
inilah
kami angin selatan, angin yang terpaksa
akrab dengan kehancuran, kami tak ingin apa-apa,
kami
cuma sebentuk kepahitan tanpa substansi,
kami tak perlu identitas, kami non pribadi,
ya!,
inilah kami angin selatan, angin
yang terbiasa akrab dengan kemiskinan,
angin
yang melintasi tanah-tanah tandus kehilangan
pemiliknya, tanah-tanah yang dijajah dan harus
dilupakan,
tanah-tanah rampasan, tanah-tanah
kuburan, puh!, kami tak perlu bumi untuk
menghembuskan
diri kami, kami adalah
bagian sejarah yang harus dihapuskan, kami
tak
perlu sejarah, kami adalah kebencian yang
diendapkan agar mencapai kedamaian, kami
tak
perlu dendam, kami tak paham apa artinya
dendam (sebab nyeri yang mencatat riwayat kami
sepenuhnya
bermakna: dendam!), kami melintasi siang
dan malam dengan penuh kebahagiaan (?), tak ada
yang
sudi menampung tangis kami, tak ada yang mampu
menjeritkan kepedihan kami, kini?, kami tak berhak
memiliki
diri sendiri, kami ingin mati, tapi!,
kami cuma sehembus ilusi yang tak bisa mati,
Indonesia, Bumi, 3 Jumadil Awal, 1995 Masehi,
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.