Puisi-puisi dalam kumpulan ini telah mengalami proses penciptaan selama tiga
belas tahun, yaitu sejak tahun 1987 sampai 2000. Di dalam proses kreatif penulisan
puisi, saya telah memasuki berbagai tahapan pencarian bentuk untuk menemukan
gaya pengucapan puisi yang orisinal. Saya menjelajahi konvensi-konvensi puitika
yang ada beserta segala ideologismenya: mulai dari romatisme, ekspresionisme,
simbolisme, imajisme, sufisme, surealisme, konkritisme, hingga realisme kritis.
Dan saya tidak menemukan bentuk tunggal pengucapan puisi saya. Apa boleh buat,
puisi saya memang tidak orisinal secara bentuk.
Bertahun-tahun saya merasa gagal dalam menemukan bentuk pengucapan atau gaya
yang orisinal bagi puisi-puisi saya. Dan saya sempat frustasi menulis puisi.
Lantas apa yang membuat saya bangkit kembali menulis puisi dan mengumpulkannya
dalam satu kumpulan ini? Jawabnya: realitas sehari-hari bangsa saya, bangsa
Indonesia, bangsa dari ras melayu, ras yang terus-menerus terjajah, bahkan hingga
pada awal milenium ketiga.
Hampir tiga tahun lamanya saya berhenti menulis puisi. Bahkan, saya hampir-hampir
benci kepada puisi. Lantas, saya pun terjun ke dunia politik praktis: saya menjadi
seorang aktivis. Bersama beberapa orang kawan, saya membentuk Komite Anti Korupsi
(KoAK) Lampung. Suatu lembaga pemantau dan investigasi korupsi yang berbasiskan
masyarakat kecil: petani-petani di desa, buruh-buruh pabrik di kota, serta pelajar
dan mahasiswa.
Di dalam dunia aktivis yang pahit itu, diselang-selingi dengan berbagai intimidasi
hingga ancaman pembunuhan, saya bertemu dengan berbagai realitas puitis: dari
yang ekspresionistik hingga surealistik, dari yang profan hingga khaostik. Saya
berada — benar-benar mengada — dalam realitas di luar teks.
Saya mendengar dan melihat masyarakat adat Lampung yang kehilangan tanah serta
hak-hak adatnya karena dirampas oleh aparat negara. Saya mendengar dan melihat
kepala desa yang menjual beras OPK dan akhirnya "dikudeta" oleh rakyatnya.
Saya mendengar dan melihat hutan-hutan yang dihancurkan oleh segelintir elit
penguasa, kemudian dengan licik mereka berbalik menunding para petani miskin
sebagai biang perambah yang menghancurkan hutan-hutan. Saya mendengar dan melihat
polisi serta tentara menembaki, menggebuki, memenjarakan petani-petani jelata
dengan dalih menjaga situasi dan keamanan negara. Saya mendengar dan melihat
korupsi merajalela di kalangan para penyelenggara negara. Saya mendengar dan
melihat imprealisme budaya yang berabad mencengkram pustaka-pustaka dan wacana
pemikiran bangsa-bangsa melayu. Saya mendengar dan melihat penjajahan oleh bangsa
sendiri terjadi hingga ke polosok desa.
Saya menggeram! Saya berteriak! Saya melawan! Saya melakukan aksi! Dan: saya
meneteskan airmata! Inilah realitas di luar teks itu: penderitaan rakyat jelata
yang terus merajam punggung-punggung kurus mereka sepanjang sejarah bangsa Indonesia.
Inilah realitas di luar teks itu: realitas mandor dan kuli! Dan tiba-tiba saya
ingin kembali menulis puisi. Semua realitas itu, semua kesaksian itu, harus
dituliskan. Tidak sekedar untuk menjadi berita di koran-koran, yang toh tidak
selalu bersih dari tarik-menarik kepentingan antara modal dan kekuasaan, tetapi
juga harus coba diabadikan: ke dalam karya sastra, ke dalam puisi.
Lalu, saya kembali menulis puisi. Juga kembali mengumpulkan, menyeleksi dan
merevisi kembali puisi-puisi lama yang bertahun-tahun tertumpuk di dalam kardus
bekas di samping lemari buku saya. Dan, saya tersentak kaget, karena ternyata
puisi-puisi saya memiliki satu persoalan yang sama: perlawanan!
Bandar Lampung, 27 Mei 2000
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.